AHMADIYAH
DALAM PERSPEKTIF AKIDAH DAN SYARI’AH[1]
Oleh : H.M.
Syaeful Uyun
Ahmadiyah:
Sekilas Tentang Organisasi
Jemaat Ahmadiyah adalah
organisasi dalam Islam bersifat
global, didirikan oleh Hadhrat Mirza
Ghulam Ahmad as, (1835-1908), di
kota Ludhiana, India, pada 23 Maret 1889 M, bertepatan dengan tahun 1306 H.
Jemaat Ahmadiyah
didirikan atas perintah Ilahi melalui Ilham yang diterima Hadhrat Mirza Ghulam
Ahmad as: ﺍﺼﻨﻊﺍﻠﻔﻠﻚﺒﺂﻋﻴﻨﻨﺎﻮﻮﺤﻴﻨﺎﺍﻦﺍﻠﺬﻴﻦﻴﺒﺎﻴﻌﻮﻨﻚﺍﻨﻤﺎﻴﺒﺎﻴﻌﻮﻦﺍﷲﻴﺪﺍﷲﻔﻮﻖﺍﻴﺪﻴﻬﻢ - buatlah bahtera itu dengan pengawasan petunjuk wahyu Kami.
Orang-orang yang bai’at kepada engkau, sesungguhnya mereka bai’at kepada Allah.
Tangan Allah ada diatas tangan mereka. [2]
Jemaat Ahmadiyah adalah organisasi murni
keagamaan, didirikan dengan tujuan: ﻴﺤﻲﺍﻠﺪﻴﻦﻮﻴﻘﻴﻢﺍﻠﺸﺮﻯﻋﺔ - yuhyiddiina wa yuqiimusy-syari’ah – menghidupkan kembali agama dan menegakkan
syari’at Islam, dan ﻠﻴﻈﻬﺮﻩﻋﻠﻰﺍﻠﺪﻴﻦﻜﻠﻪ - liyudhirahu ‘alad-diini kullihi - memenangkan Islam di atas semua agama.
Sebagai organisasi murni keagamaan, Jemaat Ahmadiyah, berlepas
diri dari kancah politik praktis. Jemaat Ahmadiyah hanya fokus pada bidang
agama (dakwah). Missi dakwah Jemaat Ahmadiyah saat ini telah berkembang di 206
negara dengan jumlah pengikut lebih dari 200 juta jiwa.
Sejak berdiri,
1889-1947, Jemaat Ahmadiyah berpusat di
Qadian, India. Sejak 1947-hingga sekarang, Jemaat Ahmadiyah berpusat di Rabwah,
Pakistan. Namun, sejak 1984, organisasi dikendalikan dari London, Inggris,
karena Khalifatul Masih, Imam Jemaat Ahmadiyah, berkedudukan di London,
Inggris, hingga sekarang. []
Ahmadiyah: Profil
Pendiri dan Khilafahnya
Pendiri Jemaat
Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, adalah seorang ahli tasawwuf
modern dan termasuk sufi besar abad 14 H. Pada 1888 beliau
memproklamirkan diri sebagai Mujaddid abad XIV H, dan pada 1889 beliau
mendirikan Jemaat Ahmadiyah. Pada 1890 beliau memproklamirkan diri sebagai
Al-Masih dan Al-Mahdi Yang Dijanjikan kedatangannya oleh Nabi Muhammad Saw.
Sepanjang hayatnya beliau menulis lebih dari 80 judul buku. Beliau wafat pada
26 Mei 1908 di Lahore, dan dikebumikan di Qadian, tempat asal kelahirannya.
Setelah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, wafat
(1908), Jemaat Ahmadiyah di pimpin seorang Khalifah (pengganti), yang dikenal
dengan sebutan: Khalifatul Masih. Diberi nama Khalifatul Masih karena ia
pengganti dari Al-Masih al-Mau’ud -
Al-Masih Yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Nabi Muhammad Saw. Sepanjang 106 tahun terakhir (1908-2014), lima orang Khalifatul
Masih telah dan sedang memimpin Jemaat Ahmadiyah:
- Hadhrat Al-Haj
Maulana Hakim Nuruddin ra. (Khalifatul Masih I – 1908-1914)
- Hadhrat Al-Haj
Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra. (Khalifatul Masih II – 1914-1965)
- Hadhrat Mirza
Nasir Ahmad ra. (Khalifatul Masih III – 1965-1982)
- Hadhrat Mirza Tahir Ahmad rha. (Khalifatul Masih IV – 1982-2003)
- Hadhrat Mirza Masroor Ahmad atba. (Khalifatul Masih V – 2003-Sekarang) []
Ahmadiyah:
Latar Nama Ahmadiyah
Nama Ahmadiyah diberikan bukan karena Sang Pendiri bernama Ahmad. Nama Ahmadiyah diambil dari nama lain Nabi Muhammad Saw, yaitu: Ahmad.
Didalam Al-Quran, Nabi Muhammad Saw disebut bernama Ahmad: “Dan ingatlah ketika Isa ibnu Maryam berkata, “Hai, Bani Israil, sesungguhnya aku Rasul Allah kepadamu membenarkan apa yang ada sebelumku yaitu Taurat, dan memberi khabar suka tentang seorang rasul yang datang sesudahku namanya Ahmad.” Maka tatkala ia datang kepada mereka dengan bukti-bukti jelas, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.” [3]
Didalam
Hadits, Nabi Muhammad Saw mengakui, selain bernama Muhammad, beliau juga bernama Ahmad: “Aku mempunyai lima nama: aku Muhammad, yang terpuji, aku Ahmad, yang memuji, aku al-Mahyi, yang dengan sebabku Allah swt. menghapus
kekafiran, aku al-Hasyir, yang
semua manusia akan dikumpulkan di bawah kakiku (sepeninggalku), dan aku al-‘aqib, [4] nabi yang terakhir datang”.[5]
Hadhrat Mirza Ghulam
Ahmad, Pendiri Jemaat Ahmadiyah, mengambil nama Ahmad Nabi Muhammad Saw,
untuk nama organisasi yang didirikannya, karena menurut beliau, zaman ini adalah zaman kebangkitan kembali Islam
untuk kedua kalinya dan untuk selama-lamanya, yang akan dicapai dengan
penzahiran sifat Ahmad-nya Nabi
Muhammad Saw.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Imam Mahdi-Masih Mau’ud as:
“Mengapa golongan ini diberi nama Ahmadiyah? Sebabnya
karena Nabi Besar Muhammad Saw., memiliki dua nama, yaitu Muhammad dan Ahmad.
Nama Muhammad adalah nama yang bersifat Jalali (gagah) yang didalamnya
mengandung nubuwatan bahwa Beliau Saw, akan menghukum para musuh dengan pedang
karena mereka telah menyerang Islam dengan pedang pula dan telah membunuh
banyak sekali orang Islam. Akan tetapi nama Ahmad adalah nama yang bersifat Jamali
(lemah-lembut) yang memiliki maksud bahwa Yang Mulia Saw, akan menyebarkan
kedamaian dan keindahan (Islam) ke seluruh dunia. Singkatnya Allah Ta’ala telah
memberikan dua nama tersebut dengan tujuan: Pertama, Yang Mulia Rasulullah
Muhammad Saw, menzahirkan nama Ahmad-nya pada masa awal kehidupan Islam di
Makkah, yang mengajarkan keteguhan dan kesabaran. Kedua, kemudian Beliau Saw,
menzahirkan nama Muhammad-nya dalam masa
kehidupan di Madinah dan di sana berdasarkan kebijakan Allah Ta’ala sesuai
kondisinya terpaksa harus membalas, menghukum dan menghancurkan para penentang
Islam. Akan tetapi sudah dinubuwatkan bahwa nanti di Akhir Zaman nama Ahmad
akan dizahirkan kembali melalui seseorang yang dengan perantaraannya sifat
Ahmad (lemah-lembut) dari Rasulullah Muhammad Saw, akan di zahirkan kembali.
Dan beliau akan menghabiskan (menghilangkan) semua peperangan. Maka berdasarkan
hal inilah nama golongan ini sangat tepat diberi nama Jemaat Ahmadiyah supaya
setiap orang begitu mendengar nama ini dapat memahami bahwa golongan ini datang
ke dunia untuk menyebarkan perdamaian dan persaudaraan serta golongan ini
sedikit pun tidak ada hubungannya dengan peperangan, perkelahian, dan tindakan
anarki. Maka, wahai Saudara-saudara! Nama ini penuh berkah bagi anda dan bagi
setiap orang yang mencari aman dan kedamaian. Nama golongan ini memberikan khabar suka tentang
keamanan dan kedamaian. Golongan yang penuh berkah ini sudah banyak ditulis dan
disebut dalam kitab para Nabi terdahulu serta banyak sekali isyarat atau
tanda-tanda akan kemunculannya. Tuhan telah memberkahi nama ini. Wahai Tuhan!
Masukanlah orang-orang Islam di seluruh belahan bumi kedalam golongan yang
berberkah ini supaya racun pertumpahan darah manusia hilang sirna secara total
dari hati mereka dan mereka menjadi abdi-abdi Engkau. Wahai Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana!
Jadikanlah demikian”.[6]
Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul
Masih-Imam Jemaat Ahmadiyah ke-II ra, menjelaskan: Nama Ahmadiyah tidak
menunjukan agama baru. Nama Ahmadiyah dimaksudkan supaya Jemaat ini dapat
ditampilkan kepada dunia, nyata bedanya daripada kalangan lain yang juga menyebut dirinya orang Islam. Dewasa ini tiap-tiap golongan menamai diri
masing-masing menurut daya khayal masing-masing. Nama Ahmadiyah diambil dengan
tujuan untuk membedakan dengan golongan lain yang didirikan menurut daya khayal
mereka masing-masing.[7]
Ciri paling menonjol yang membedakan Ahmadiyah
dengan golongan lain terletak pada namanya: Ahmadiyah,
yang menampilkan kecantikan, keindahan, dan ketinggian akhlaq Nabi Muhammad Saw,
santun, toleran dan damai. Missi perjuangan Ahmadiyah pun: ﻴﺤﻲﺍﻠﺪﻴﻦﻮﻴﻘﻴﻢﺍﻠﺸﺮﻋﺔ dan ﻠﻴﻈﻬﺮﻩﻋﻠﻰﺍﻠﺪﻴﻦﻜﻠﻪ, akan
ditempuh, hanya dengan menampilkan keindahan, kecantikan, dan
ketinggian akhlaq Nabi Muhammad Saw, yakni dengan cara-cara yang santun, toleran dan damai. Jemaat Ahmadiyah mempunyai motto: Islam = Peace (Islam
= Damai). Ahmadiyah = Love for All Hatred
for None. (Ahmadiyah = mencintai semua orang,
tidak membenci siapa pun).
Berlatar nama Ahmadiyah, yang
menampilkan kecantikan, keindahan, dan ketinggian akhlaq Nabi Muhammad Saw, Jemaat Ahmadiyah pun dimana-mana, dan
kemana-mana di seluruh dunia, selalu mengampanyekan:
- Loyalty – Kesetiaan (kepada bangsa
dan negara)
- Freedom – Kemerdekaan (kemerdekaan
dari penjajah, kemerdekaan dari nafsu, kemerdekaan beragama dan beribadah
menurut ajaran agama dan kepercayaan)
- Equality – Kesetaraan (antara satu
suku bangsa dengan bangsa lain, antara bangsa berkulit putih atau hitam,
antara laki-laki dan perempuan)
- Respect – Menghargai, Menghormati
(antara satu suku bangsa dengan bangsa lain, antara satu agama dengan
agama lain, dan antara satu aliran dengan aliran agama yang lain)
- Peace – Damai (antara satu suku
bangsa dengan bangsa lain, antara satu agama dengan agama lain, antara
satu aliran agama dengan aliran agama yang lain)
- Love for all hatred for none – mencintai semua orang, tidak membenci
siapa pun. []
Ahmadiyah:
Sumber Pokok Ajaran
Sebagai
organisasi Islam, Jemaat Ahmadiyah tidak mempunyai sumber lain selain dua
sumber pokok ajaran, yaitu: Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Jemaat Ahmadiyah meyakini, tiada agama kecuali Islam, tiada kitab suci kecuali Al-Quran, dan tiada
panutan kecuali Baginda Nabi Muhammad, Khatamun-Nabiyyin Saw.
Hadhrat Mirza
Ghulam Ahmad as:
“Tidak ada agama bagi kami kecuali agama Islam dan tidak ada Kitab bagi kami kecuali Al-Quran Kitab Allah Yang Maha Tahu. Tidak ada Nabi panutan bagi kami kecuali Nabi Muhammad, Khatamun-Nabiyyin Saw”.[8]
“Tidak ada kitab kami selain Al - Qur’an Syarif
dan tidak ada Rasul kami kecuali Muhammad Musthafa Shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Tidak ada agama kami kecuali Islam
dan kita mengimani bahwa Nabi kita, Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam.
adalah Khaatamul Anbiya, dan Al - Qur’an Syarif adalah Khaatamul Kutub”.[9]
Kepada para pengikutnya beliau juga memberi nasihat:
“Ada pula bagimu suatu ajaran yang penting, yaitu kamu hendaknya jangan meninggalkan Al-Quran sebagai benda yang dilupakan; sebab, justru di dalam Al-Quran-lah terdapat kehidupanmu. Barangsiapa memuliakan Al-Quran ia akan memperoleh kemuliaan di langit. Barangsiapa lebih mengutamakan Al-Quran dari segala Hadits dan dari segala ucapan lain, akan diutamakan di langit. Bagi umat manusia diatas permukaan bumi ini, kini tidak ada Kitab lain kecuali Al-Quran, dan bagi seluruh Bani Adam kini tidak ada seorang Rasul Juru Syafa’at selain Muhammad Musthafa Shalallaahu ’alaihi wasallam. Maka berusahalah untuk menaruh kecintaan yang setulus-tulusnya kepada Nabi Agung itu, dan janganlah meninggikan seseorang selain beliau dalam segi apa pun agar di langit kamu dicatat dalam daftar orang-orang yang memperoleh keselamatan”.[10][]
Ahmadiyah: Aspek Akidah dan Syari’ah
Al-Quran
mengatakan: “Dan janganlah kamu
mengatakan kepada orang yang memberi salam kepadamu, “Engkau bukan mukmin”.[11]
Nabi Muhammad Saw, ketika diminta menjelaskan apakah Iman
itu, beliau menjawab: Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk. Dan, ketika diminta menjelaskan apakah Islam
itu, beliau menjawab: “Islam adalah engkau bersaksi tidak ada Tuhan selain
Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat,
menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu”[12]
Warga
Jemaat Ahmadiyah, tidak hanya suka saling memberi salam: assalamu ‘alaikum warahmatullaahi
wa barakatuhu, baik dengan sesama Ahmadi ataupun dengan bukan Ahmadi. Tetapi,
warga Jemaat Ahmadiyah berakidah dan bersyari’ah sesuai dengan akidah dan syari’ah
yang di definisikan Nabi Muhammad Saw, yakni: beriman kepada Allah, beriman kepada
Malaikat-Malaikat Allah, beriman kepada Kitab-Kitab Allah, beriman
kepada Rasul-Rasul Allah, beriman kepada Hari Qiamat, beriman
kepada Takdir (baik dan buruk), dan bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa
Ramadhan dan menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Tidak sedikit pun akidah dan syari’ah warga Jemaat Ahmadiyah,
keluar/menyimpang dari akidah dan syari’ah yang dalam ahli sunnah wal jamaah dikenal sebagai akidah enam rukun iman dan lima rukun Islam.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as:
“Tidak ada Tuhan kecuali Allah, Muhammad adalah Utusan Allah. Kami beriman kepada Allah, malaikat-Nya, para Rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, Surga, Neraka dan Kebangkitan sesudah mati”.[13]
“Inti
dari kepercayaan kami ialah: Laa
Ilaaha Illallaahu, Muhammadur-Rasulullaahu - Tak ada Tuhan selain Allah,
Muhammad adalah utusan Allah. Kepercayaan kami yang menjadi pergantungan dalam
hidup ini, dan yang pada-Nya kami, dengan rahmat dan karunia Allah, berpegang
sampai saat terakhir dari hayat kami di bumi ini, ialah bahwa junjungan dan
penghulu kami, Nabi Muhammad Saw, adalah Khaatamun-Nabiyyin dan Khairul
Mursalin, yang termulia dari antara nabi-nabi. Di tangan beliau hukum syari’at
telah disempurnakan. Karunia yang sempurna ini pada waktu sekarang adalah
satu-satunya penuntun ke jalan yang lurus dan satu-satunya sarana untuk
mencapai “kesatuan” dengan Tuhan Yang Maha Kuasa”.[14]
“Tidak
ada agama bagi kami kecuali agama Islam dan tidak ada Kitab bagi kami kecuali
Al-Quran, Kitab Allah Yang Maha Tahu. Tidak ada Nabi panutan bagi kami kecuali
Nabi Muhammad, Khatamun-Nabiyyin Saw”. [15]
“Ringkasan dan intisari pendirian kami adalah Laa ilaaha illallahu Muhammadur Rasulullah. Kami beriman, jika sekiranya ada
seseorang yang mengurangi sedikit saja dari syari’at Islam ini atau sedikit saja
merubahnya atau meninggalkan perkara-perkara yang telah diwajibkan-Nya dan mengerjakan
perkara yang dilarang-Nya, mereka itu adalah termasuk kedalam golongan yang
tidak beriman dan sesat dari agama Islam. Kami menasehati Jemaat kami supaya
beriman dengan sepenuh hati terhadap dua kalimah Laa ilaaha illallahu
Muhammadur Rasulullah, dan mati didalam keimanan tersebut.
Walhasil semua akidah atau amalan yang dilaksanakan secara Ijma’ oleh ahli
sunnah adalah kewajiban bagi Jamaah kami untuk menerimanya. Bumi dan langit
akan menjadi saksi bahwa inilah pendirian kami”. [16]
“Tidak masuk kedalam Jamaah kami
kecuali yang telah masuk kedalam agama Islam dan mengikuti Kitab Allah dan
sunnah-sunnah pemimpin kita sebaik-baik manusia – Nabi Muhammad Saw. dan beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya Yang Mulia dan Pengasih, dan beriman kepada Hari Kebangkitan, surga
dan neraka serta berjanji dan berikrar bahwa tidak akan memilih satu agama
selain agama Islam. Dan akan mati di atas agama ini yaitu agama fitrah dengan
berpegang teguh kepada Kitab Allah Yang Maha Tahu dan mengamalkan setiap yang
ditetapkan dari Al-Quran, Sunnah dan Ijma’ sahabat yang mulia. Dan siapa saja
yang mengabaikan tiga hal ini berarti ia membiarkan jiwanya dalam api neraka”.[17] []
Ahmadiyah:
Implementasi Rukun Iman
a. Iman Kepada
Allah
Allah yang diimani Jemaat Ahmadiyah adalah Allah
yang Maha Esa, Yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya, tidak beranak dan
tidak diperanakan, tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia,[18]
Yang Maha Hidup, Maha Berdiri Sendiri, tidak pernah mengantuk juga tidak pernah
tidur.[19]
Pencipta-Pemelihara semesta alam, Maha Pemurah Maha Penyayang, Pemilik Hari
Pembalasan,[20] Maha
Mengetahui yang ghaib dan yang nampak, Maha Berdaulat, Maha Suci, Sumber Segala Kedamaian,
Pelimpah Keamanan, Maha Pelindung, Maha Perkasa, Maha Penakluk, Maha Agung, Maha Pencipta, Pembuat segala
sesuatu, Pemberi bentuk, Pemilik segala nama terindah, kepada-Nya bertasbih segala
yang ada di seluruh langit dan bumi, Maha Perkasa, Maha Bijaksana.[21] Jemaat Ahmadiyah,
tidak bersujud kepada apa dan siapa pun
kecuali Allah Yang Esa dan Tunggal itu. Tidak bersujud kepada kuburan
dan tidak pula kepada sesama manusia. Orang Ahmadiyah hanya mengenal al-Hayyul
Qayyum, Allah Rabbul Alamiin, dalam arti yang
sebenarnya.
Kepada mereka
yang hendak berguru mengikuti ajarannya, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, berkata:
“Untuk mengikuti ajaranku, hendaknya
mereka harus meyakini hal-hal berikut ini, bahwa mereka mempunyai satu Tuhan
Yang Qadir (Maha Kuasa), Qayyum (Berdiri Sendiri dan segala sesuatu bergantung
pada-Nya), dan Khalikul Kul (Pencipta segala sesuatu yang ada), yang
Sifat-sifat-Nya kekal-abadi dan tidak pernah berubah. Dia bukan anak seseorang
dan Dia tidak mempunyai anak. Dia bersih dari penanggungan derita dan dinaikan
ke tiang salib dan dari kematian. Dia adalah demikian rupa keadaan-Nya,
kendatipun jauh namun dekat. Dan, meskipun Dia dekat namun jauh. Walaupun
tunggal namun penampakan-Nya beraneka ragam. Manakala didalam diri manusia terjadi
suatu perubahan baru, maka baginya Dia pun menjadi Tuhan yang baru, dan Dia
memperlakukannya dengan penampakan-Nya yang baru pula. Orang itu melihat suatu
perubahan di dalam wujud Tuhan, menurut kadar atau proporsi perubahan yang
terjadi atas dirinya, tetapi hal itu tidak berarti, ada perubahan terjadi dalam
wujud Tuhan. Kebalikannya, semenjak azali Dia tidak pernah mengalami perubahan,
dan wujud-Nya peripurna. Akan tetapi pada waktu terjadi perubahan-perubahan di
dalam diri manusia yang menuju kebaikan, Tuhan pun menampakan diri-Nya kepada
orang itu dengan penampakan baru. Dan pada setiap kemajuan yang dicapai
manusia, penampakan kekuasaan Tuhan pun terjadi lebih meningkat. Dia
memperlihatkan kekuasaan-Nya yang luar biasa manakala terjadi perubahan luar
biasa. Inilah pangkal keajaiban-keajaiban serta mukjizat-mukjizat. Itulah Tuhan
yang merupakan syarat bagi Jemaat kita.
Berimanlah kepada-Nya, dan hendaklah mengutamakan Dia lebih dari dirimu,
kesenangan-kesenanganmu, dan segala perhubungan-perhubunganmu. Dengan
perbuatan-perbuatan nyata disertai keberanian, perlihatkanlah kesetiaan dengan
sejujur-jujurnya”.[22]
Mereka yang
sepakat dengan tuntunan pelajaran Pendiri Jemaat Ahmadiyah itu, yang kemudian
tergabung dalam Jemaat Ahmadiyah, menyatakan labaik. Mereka, berjanji dengan hati yang jujur: “Di masa yang akan datang hingga masuk kedalam kubur
senantiasa akan menjauhi syirik, dan akan tetap setia terhadap Allah Ta’ala baik dalam segala keadaan susah atau
pun senang, dalam duka atau suka, nikmat atau musibah; pendeknya, akan rela
atas keputusan Allah Ta’ala. Dan senatiasa akan bersedia menerima segala kehinaan dan
kesusahan di jalan Allah. Tidak akan memalingkan mukanya dari Allah Ta’ala
ketika ditimpa suatu musibah, bahkan akan terus melangkah ke muka”.[23]
Dan, sesuai dengan gelora semangat ketauhidan Ilahi yang
dikumandangkan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. itu, warga Jemaat Ahmadiyah pun
menyebar ke seluruh penjuru dunia dan mengibarkan panji-panji Tauhid, yaitu: ﻻﺍﻠﻪﺍﻻﺍﷲ - Laa ilaaha Ilallah, dengan lisan, tulisan dan media elektronik –
diantaranya Muslim Television Ahmadiyah (MTA). MTA mengudara 24 jam non-stop tanpa iklan dan
menjangkau seluruh bulatan bola bumi.[]
b.
Iman Pada Malikat-Malaikat Allah
Malaikat yang diimani Jemaat Ahmadiyah meliputi semua Malaikat-Malaikat Allah. Malaikat adalah makhluk ciptaan Allah yang ma’shum, tidak berdosa. Malaikat sebagai
alat melaksanakan semua perintah Allah. Malaikat tidak dapat berbuat dosa.
Malaikat pengantar Kalam Ilahi, dahulu maupun sekarang, turun kepada
orang-orang (hamba) suci memberikan piagam thumanina
Ilahi.[]
c.
Iman Kepada Kitab-Kitab Allah
Kitab-Kitab Allah yang diimani Jemaat Ahmadiyah meliputi semua
kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada semua nabi: Nabi Ibrahim as - Shuhuf,
[24] Nabi Musa as
– Taurat,[25] Nabi Daud as – Zabur,[26] Nabi Isa as - Injil,[27]
dan yang terakhir dan paling sempurna kepada Baginda Nabi Muhammad Saw - Al-Qur’an.[28]
Jemaat Ahmadiyah mengimani, semua kitab suci tersebut berasal dari Allah. Dan, Jemaat Ahmadiyah mengimani, Al-Qur’an adalah Khâtamul Kutûb – kitab suci terakhir dan tersempurna. Bagi umat manusia diatas permukaan bumi ini, kini tidak ada Kitab lain kecuali Al-Qur’an, dan bagi seluruh Bani Adam kini tidak ada seorang rasul juru syafa’at selain Muhammad Musthafa Saw. Sesudah Al-Quran tidak akan datang kebenaran baru.[29]
Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad as:
“Tidak ada kitab kami selain Al-Qur’an Syarif, dan
tidak ada Rasul kami kecuali Muhammad Musthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada agama kami kecuali Islam dan kita mengimani bahwa Nabi kita, Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah Khaatamul Anbiya’, dan Al-Qur’an Syarif adalah Khaatamul Kutub”.[30]
Kepada para pengikutnya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, berkata:
“Adapula bagimu sekalian ajaran yang penting, yaitu kamu hendaknya jangan meninggalkan Al-Quran sebagai benda yang dilupakan, sebab justru di dalam Al-Quran-lah terdapat kehidupanmu. Barangsiapa memuliakan Al-Quran ia akan memperoleh kemuliaan di langit. Barangsiapa lebih mengutamakan Al-Quran dari segala Hadits dan dari segala ucapan lain, akan diutamakan di langit. Bagi umat manusia diatas permukaan bumi ini, kini tidak ada kitab lain kecuali Al-Quran dan bagi seluruh Bani Adam kini tidak ada seorang rasul juru syafa’at selain Muhammad Musthafa Saw. Maka berusahalah untuk menaruh kecintaan yang setulus-tulusya kepada Nabi Agung itu, dan janganlah meninggikan seseorang selain beliau dalam segi apa pun, agar di langit kamu dicatat di daftar orang-orang yang memperoleh keselamatan”.[31]
“Ada tiga hal yang Tuhan telah berikan kepadamu sebagi petunjuk. Yang pertama-tama adalah Al-Quran, yang didalamnya diutarakan Ketauhidan, Kebesaran, dan Keagungan Ilahi, juga didalamnya perselisihan-perselisihan yang ada diantara kaum Yahudi dan kaum Nasrani diputuskan, seperti perselisihan dan kekeliruan mengenai terbunuhnya Isa ibnu Maryam dengan perantaraan kayu salib dan menjadi seorang terkutuk, dan seperti halnya nabi-nabi yang lain, beliau tidak diangkat (kepada-Nya). Begitu pula didalam Al-Quran terdapat larangan untuk beribadah kepada sesuatu selain Tuhan: terlarang untuk menyembah manusia, hewan, matahari, bulan, dan sesuatu planet lain, begitu pula terlarang untuk memuja sarana-sarana duniawi dan dirimu sendiri. Oleh karena itu, berhati-hatilah dan janganlah melangkahkan kaki biarpun hanya selangkah tetapi bertentangan dengan ajaran Tuhan dan petunjuk Al-Quran. Aku berkata dengan sesungguh-sungguhnya, barangsiapa mengabaikan suatu perintah sekecil-kecilnya di antara sejumlah tujuh ratus buah perintah Al-Quran, ia menutup pintu keselamatan bagi dirinya sendiri. Jalan keselamatan yang sempurna dan hakiki dibuka oleh Al-Quran, sedang semua jalan lainnya adalah bayangan. Maka, bacalah Al-Quran dengan seksama dan hendaklah kamu sangat mencintainya, dan dengan demikian rupa cintanya sehingga kamu belum pernah mencintai sesuatu yang lain dari itu, karena sebagaimana Tuhan berfirman kepadaku: al-khairu kulluhu fil quraani – yakni segala macam kebaikan yang terdapat di dalam Al-Quran, itu sungguh benar!”.[32]
“Alangkah malangnya orang-orang yang lebih mengutamakan sesuatu selain Al-Quran. Sumber segala kebahagiaan dan keselamatan bagimu terdapat didalam Al-Quran. Tiada sebuah pun keperluan agamamu yang tidak terdapat didalam Al-Quran. Saksi yang membenarkan maupun yang mendustakan keimananmu pada hari kiamat adalah Al-Quran. Di bawah kolong langit ini tidak ada sebuah kitab pun yang secara langsung dapat memberi petunjuk kepadamu kecuali Al-Quran. Allah Ta’ala telah berkenan berbuat banyak kebajikan kepadamu dengan menganugerahkan kepadamu sebuah Kitab Suci seperti Al-Quran. …… Al-Quran adalah sebuah Kitab Agung, dan semua petunjuk tandingannya adalah tidak berarti. …… Al-Quran dapat membuat seseorang menjadi insan suci dalam jangka waktu seminggu. Al-Quran dapat membuat dirimu seperti para nabi, asalkan saja kamu sekalian – dari segi lahiriah atau pada dasarnya, tidak berpaling daripada Al-Quran”.[33]
Ajakan dan seruan Pendiri Jemaat Ahmadiyah untuk mencintai, mengutamakan
dan menjunjung tinggi Al-Quran, spontan disambut warga Jemaat Ahmadiyah dengan labaik.
Kehadapan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, mereka berjanji dengan hati
yang jujur: “Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari
menuruti hawa nafsu, dan benar-benar akan menjunjung tinggi perintah Al-Quran
Suci atas dirinya. Firman Allah dan sabda Rasul-Nya, Muhammad Saw. itu akan menjadi pedoman baginya dalam tiap
langkahnya”.[34]
Warga Jemaat Ahmadiyah meyakini, menyimpang sehelai rambut pun dari petunjuk Al-Qur’an adalah sebuah kenistaan. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha menyelaraskan antara keyakinan, ucapan dan amalan sesuai dengan petunjuk Al-Quran, tidak melangkahkan kaki biar hanya selangkah yang bertentangan dengan petunjuk Al-Quran. Semangat menjunjung tinggi perintah Al-Quran Suci atas dirinya, dan semangat membumikan Al-Quran diikuti dengan upaya menerjemahkan Al-Quran kedalam berbagai bahasa besar dunia. Jemaat Ahmadiyah kini telah dan sedang menerjemahkan Al-Quran kedalam seratus bahasa besar dunia, termasuk satu diantaranya adalah bahasa Indonesia.
Isu Ahmadiyah punya kitab suci baru selain Al-Quran, bernama: Tadzkirah, adalah mengada-ada yang latarnya tuna pengetahuan tentang Jemaat Ahmadiyah. Jemaat Ahmadiyah memang punya buku bernama: Tadzkirah. Buku itu berisi kumpulan pengalaman sepiritual, berupa: mimpi, ilham, kasyaf, dan wahyu, berasal dari catatan harian Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Jemaat Ahmadiyah. Tetapi, Jemaat Ahmadiyah tidak pernah meyakini buku Tadzkirah sebagai kitab suci. Tadzkirah bukan kitab suci Ahmadiyah.[]
d.
Iman Kepada Rasul-Rasul Allah
Rasul-Rasul Allah yang diimani Jemaat Ahmadiyah meliputi semua nabi-nabi dan rasul-rasul Allah, baik yang
namanya diceritakan dalam Al-Qur’an – mulai dari Nabi Adam as, Idris as, Nuh
as, Hud as, Ibrahim as, Musa as, Daud as, Sulaiman as, Isa as, hingga yang
terakhir dan yang tersempurna Baginda Nabi Muhammad Saw, [35] maupun nabi-nabi yang namanya tidak
diceritakan dalam Al-Qur’an – seluruhnya berjumlah 124.000 nabi/rasul. [36]
Kepada mereka semua, sebagaimana diajarkan oleh Al-Quran, Jemaat Ahmadiyah
menyatakan: ”Kami
beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa
yang diturunkan kepada Ibrahim dan Ismail dan Ishak dan Ya’kub dan keturunannya
dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa dan sekalian nabi dari Tuhan
mereka. Kami tidak membedakan salah seorang di antara mereka, dan kepada-Nya
kami menyerahkan diri.” [37]
Jemaat Ahmadiyah meyakini semua Nabi itu benar, suci dan
ma’shum, yaitu tidak melanggar, tidak berbuat dosa, dan Nabi Muahmmad Saw,
adalah pemimpin semua Nabi. Beliau Saw, paling mulia dan paling afdhal.
Kedatangan beliau Saw, adalah untuk seluruh umat manusia dan semua masa.
Martabat beliau jauh lebih luhur dan lebih mulia dari semua nabi. Beliau Saw,
selalu hidup, oleh karena itu, beliau
dinamakan Khatamun-Nabiyyin. Semua Nabi memperoleh nikmat rohani karena
beliau Saw, baik dimasa lalu maupun dimasa yang akan datang. Jemaat Ahmadiyah meyakini, orang yang memisahkan diri dari beliau Saw, dan bukan dari
ummatnya, kemudian ia mendakwahkan diri memperoleh nikmat rohaniah, dia adalah
pendusta, lancung dan pembohong. Jemaat Ahmadiyah, meyakini, Nabi
Muhammad Saw, adalah Sayyidul Ma’shumin (Pemimpin dari semua orang suci
tak berdosa). Nabi Muhammad Saw, adalah jalan dan sebab untuk memperoleh hikmah
rohani, kebajikan dan berkat Ilahi.
Tidak hanya itu, kepada Mujaddid yang dijanjikan
Allah akan dibangkitkan pada setiap permulaan abad: “Sesungguhnya Allah akan
membangkitkan kepada umat ini pada setiap permulaan abad seorang Mujaddid yang
akan memperbaharui bagi mereka agama mereka”,[38]
dan kepada Isa ibnu Maryam-Imam Mahdi Yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Nabi
Muhammad Saw: “Demi Allah yang diri saya berada di tangan-Nya, sungguh Isa
bin Maryam benar-benar akan turun diantara kamu sebagai hakim yang adil,
kemudian akan mematahkan salib, membunuh
babi, menghabisi peperangan, dan melimpahlah harta benda,……” [39] “Bagaimana
sikapmu (muslimin), jika Isa ibnu Maryam turun, didalam lingkungan kamu, akan
menjadi imam kamu, dan dari antara kamu,”[40] “Sudah
dekat masanya, siapa yang dipanjangkan umurnya diantara kamu, akan berjumpa
dengan Isa ibnu Maryam-Imam Mahdi Hakim yang adil”, [41] pun Jemaat Ahmadiyah mengimaninya.
Dan, Jemaat Ahmadiyah meyakini, Mujaddid abad
XIV H, Imam Mahdi-Isa ibnu Maryam Yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Nabi
Muhammad Saw. itu, telah datang, dalam pribadi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as,
Pendiri Jemaat Islam Ahmadiyah.
Isa ibnu Maryam yang diyakini Jemaat Ahmadiyah
akan datang, bukan Isa ibnu Maryam yang dahulu yang pernah diutus Allah kepada
Bani Israil. Isa ibnu Maryam yang dahulu - dalam keyakinan Ahmadiyah, tidak
bisa dan tidak boleh datang, sebab Isa
ibnu Maryam yang dahulu hanya diutus Allah kepada Bani Israil, [42] telah wafat dalam usia 120 tahun, [43]
dan jika yang datang adalah Isa ibnu Maryam yang dahulu, maka kedatangannya
akan merusak dan menghancurkan segel khâtamun-Nabiyyîn
Nabi Muhammad Saw.
Isa ibnu Maryam yang diyakini Jemaat Ahmadiyah
akan datang ialah Isa ibnu Maryam yang oleh Nabi Muhammad Saw. dikatakan: fii
kum, wa imaamukum minkum – di dalam lingkungan kamu (umat Islam), akan
menjadi imam kamu (umat Islam), dan dari antara kamu (umat Islam),[44] yakni, Isa ibnu Maryam ummati Nabi Muhammad Saw, yang juga disebut Isa ibnu Maryam matsalan,
[45] yang seutuhnya menjadi hamba dan berpedoman
teguh serta hanya melaksanakan syari’at Nabi Muhammad Saw. (Al-Qur’an). Sebab,
sesudah Nabi Muhammad Saw, hanya ummati Nabi Muhammad Saw-lah, yang bisa
dan boleh tampil mengemban dan membawa risalah Nabi Muhammad Saw.
(Islam-Al-Quran).[46]
Hierarki kepemimpian dalam Islam perspektif Jemaat Ahmadiyah:
NABI MUHAMMAD S.A.W
Khulafa-ur-Rasyidin/Khilafah ‘Alaa Minhajin-Nubuwwah
Khalifah Ar-Rasyidah I : Abu Bakar As-Shiddiq ra
Khalifah Ar-Rasyidah II : ‘Umar Ibnu Khathab ra
Khalifah Ar-Rasyidah III : ‘Usman Ibnu ‘Affan ra
Khalifah Ar-Rasyidah IV : Ali Ibnu Abi Thalib ra
MUJADDID
Abad I : ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, rha.
Abad II : Imam Syafi’i, rha
Abad III : Imam Abu Syarah atau Abu Hasan ‘Asy’ari, rha
Abad IV : Imam Abu Ubaidullah & Qadi Abu Bakar Baqlani, rha
Abad V : Imam Al-Ghazali, rha
Abad VI : Imam Abdul Qadir Al-Jailani, ra
Abad VII : Imam Ibnu Taimiyah dan Chawaja Mu’inuddin Chisti, rha
Abad VIII : Imam Hafiz Ibnu Hajar Asqalani dan Saleh Ibnu ‘Umar, rha
Abad IX : Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, rha
Abad X : Imam Muhammad Tahir Gujrati, rha
Abad XI : Imam Mujaddid Alfi Sarhindi, rha
Abad XII : Imam Syekh Waliyullah Delhi, rha
Abad XIII : Imam Sayyid Ahmad Barelwi, rha
Abad XIV : Imam Mahdi-Masih Mau’ud, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as
KHALIFATUL MASIH
Khalifatul I : Hadhrat Al-Haj Maulana Hakim Nuruddin, ra
Khalifatul Masih II : Hadhrat Al-Haj Mirza Basyiruddin, ra
Khalifatul Masih III : Hadhrat Al-Hafiz Mirza Nashir Ahmad, ra
Khalifatul Masih IV : Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, rha
Khalifatul Masih V : Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, a.t.b.a (sekarang).[]
e. Iman Pada Hari
Qiyamat
Jemaat Ahmadiyah mengimani, Hari Qiyamat adalah hak, kebenaran Hasyar
dan Nasyar tepat dan benar. Surga dan neraka juga hak. Sesudah
mati setiap insan akan memperoleh ganjaran atau siksaan, sesuai amal
perbuatannya. Nikmat surga adalah kekal abadi, tak kenal henti atau putus.
Kebalikannya neraka adalah tempat menghukum orang berdosa, guna memperbaiki dan
meluruskan mereka yang harus dihukum. Allah adalah Ar-Rahmaan Ar-Rahiim,
paling pengasih dan paling penyayang. Jemaat Ahmadiyah mengimani, sesudah
penghuni neraka itu menjalankan hukumannya dan mereka telah menjadi lurus,
mereka juga akan dimasukan kedalam surga. Tuhan Sendiri Berfirman: Rahmani
wasyi’at kulla syai’in,[47]
bahwa rahmat Ilahi itu meliputi segala yang ada, termasuk Neraka. Rahmat Ilahi
itu harus terwujud, nyata terbukti.[]
f.
Iman Pada Takdir
Berkenaan dengan takdir, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad,
Pendiri Jemaat Ahmadiyah berkata: “Kepunyaan Allah-lah segala kemuliaan dan
kebesaran, dan dari-Nya qadar dan qadha’ dan perintah-Nya di dengar oleh bumi
dan langit”. [48]
Sebagai orang Islam yang
beriman dengan teguh kepada enam rukun iman, Jemaat Ahmadiyah meyakini adanya
Takdir Allah. Keyakinan yang dianut Ahmadiyah hanya keyakinan yang diajarkan
oleh Islam. Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jemaat Ahmadiyah berkata: “Ketahuilah, Islam itu
agamaku, dan Tauhid itu keyakinanku”. [49]
Ahmadiyah tidak pernah
menganut suatu keyakinan yang tidak diajarkan oleh Islam. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad,
Pendiri Jemaat Ahmadiyah berkata:
“Kami
berlepas diri dari setiap hakikat yang tidak dibenarkan oleh syari’at Islam”.[50]
Ahmadiyah:
Implementasi Rukun Islam
Rukun Islam: syahadat, shalat, puasa, zakat dan hajji, diimplementasikan Jemaat Ahmadiyah dengan cara diamalkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Pengamalan atas rukun Islam dalam Jemaat Ahmadiyah sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Quran (20:15, 29:46, 2:44,111, 11:115, 17:79, dll), sesuai dengan ikrar dan janji bai’at, dan sesuai dengan pesan Pendiri Jemaat Ahmadiyah.
Ikarar bai’at: mengucapkan dua kalimah syahadat. Janji bai’at, butir ke-1: “Di masa yang akan datang hingga masuk kedalam kubur senantiasa akan menjauhi syirik”, butir ke-3: “Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu semata-mata karena mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, Muhammad Saw, dan dengan sekuat tenaga akan senantiasa mendirikan shalat tahajjud, dan mengirim shalawat kepada Junjungannya Yang Mulia Rasulullah Muhammad Saw, dan memohon ampun dari kesalahan dan memohon perlindungan dari dosa; akan ingat setiap saat kepada nikmat-nikmat Allah, lalu mensyukuri dengan hati tulus, serta memuji dan menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan”.[51]
Pesan Pendiri Jemaat Ahmadiyah: “Maka, wahai sekalian orang yang merasa dirinya tergolong dalam Jemaatku! Kamu sekalian di langit baru akan tergolong dalam warga Jemaatku, setelah kamu sekalian benar-benar melangkahkan kakimu pada jalan ketakwaan. Oleh karena itu dirikanlah sembahyang kelima waktu dengan penuh rasa ketakutan dan pemusatan pikiran, seakan-akan kamu sekalian melihat wajah Ilahi dihadapanmu. Jalanilah hari-hari puasamu karena Allah dengan penuh ketulusan. Setiap orang yang wajib membayar zakat, hendaklah ia melunasi zakat. Barangsiapa telah memenuhi syarat untuk menunaikan ibadah haji, dan tidak ada yang menghalangi, hendaklah ia menunaikan ibadah haji. Kerjakanlah segala amalan baik dengan cermat, dan tinggalkanlah perbuatan buruk disertai perasaan jengkel”.[52]
Jemaat Ahmadiyah mengaplikasikan lima rukun Islam dalam kehidupan nyata sehari-hari, bukan sekedar kewajiban dan rutinitas, tetapi diperagakan sebagai bukti adanya iman pada diri mereka, sebagaimana di definisikan para sahabat nabi, para ulama ahli hadits, dan para ulama salaf: iman adalah pengakuan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan.[]
a. Ikrar
Kalimah Syahadat
Ikrar kalimah syahadat – dalam Islam dikenal dengan istilah bai’at, adalah pengakuan terhadap Allah dan Rasul-Nya, Muhammad Saw, sebagai bukti adanya iman yang diikrarkan dengan lisan. Dalam Islam merupakan syarat sah seseorang menerima dan memeluk Islam. Dimasa Nabi Muhammad Saw, ikrar kalimah syahadat (bai’at), langsung dinyatakan dihadapan Nabi Muhammad Saw. Sunnahnya sambil menjabat tangan beliau Saw. Dimasa para Khalifah Nabi Muhammad Saw: Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra, dan Ali ra, dinyatakan dihadapan para Khalifah beliau Saw, sekaligus mengakui mereka sebagai khalifah yang sah dari Rasulullah Saw.
Karena Nabi Muhammad Saw, sudah tiada, begitu pula para khalifahnya pun sudah tiada, maka dalam Jemaat Ahmadiyah, ikrar kalimah syahadat (bai’at), dinyatakan dihadapan wakil Agung Rasulullah Saw, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Al-Mahdi, Al-Masih al-Mau’ud as. Setelah beliau tiada, ikrar kalimah syahadat (bai’at), dinyatakan dihadapan wakil dari wakil Agung Rasulullah Saw, yaitu Khalifah-khalifah beliau, saat ini Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih V atba. Dalam Jemaat Ahmadiyah, ikrar kalimah syahadat (bai’at), selain sebagai syarat masuk Islam, mengakui Allah dan Rasul-Nya, Muhammad Saw, juga sekalian mengakui Imam Zaman-nya, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Al-Mahdi, Al-Masih al-Mau’ud as, sebagai syarat sah masuk kedalam Jemaat Ahmadiyah.
Berikut teks pernyataan ikrar kalimah syahadat (bai’at), yang diikrarkan saat menyatakan bergabung kedalam Jemaat Ahmadiyah, selengkapnya:
Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim
Khalifatul Masih V atba
ﺍﻠﺴﻼﻡﻋﻠﻴﻜﻡﻭﺭﺤﻤﺔﺍﷲﻭﺒﺭﻜﺎﺘﻪ
Dengan ini saya menyampaikan Pernyataan Bai’at yang telah saya lengkapi dan tanda tangani. Saya mohon diterima kedalam Jemaat Islam Ahmadiyah dan do’akanlah saya.
ﺍﺸﻬﺩﺍﻥﻵﺍﻠﻪﺍﻻﺍﷲﻭﺤﺩﻩﻻﺸﺭﻴﻙﻟﻪﻭﺍﺸﻬﺩﺍﻥﻤﺤﻤﺩﺍﻋﺒﺩﻩﻭﺭﺴﻭﻠﻪ
ﺍﺸﻬﺩﺍﻥﻵﺍﻠﻪﺍﻻﺍﷲﻭﺤﺩﻩﻻﺸﺭﻴﻙﻟﻪﻭﺍﺸﻬﺩﺍﻥﻤﺤﻤﺩﺍﻋﺒﺩﻩﻭﺭﺴﻭﻠﻪ
Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut
disembah kecuali Allah.
Dia Tunggal dan tiada mempunyai sekutu.
Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya
dan Rasul-Nya
Hari ini saya masuk kedalam Jemaat Islam Ahmadiyah, ditangan Masroor.[53]
Saya memiliki keyakinan yang teguh bahwa Hadhrat
Muhammad Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah Khataman-Nabiyyin, cap (yang
mengesahkan), semua nabi. Saya juga percaya bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis-salam
adalah Imam Mahdi dan Al-Masihil Mau’ud (Al-Masih Yang Dijanjikan), yang
kedatangannya telah dikabarghaibkan oleh Hadhrat Muhammad Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam.
Saya berjanji bahwa:
- Saya akan selalu
berusaha sekuat tenaga untuk mematuhi Sepuluh Syarat Bai’at sesuai yang
ditetapkan oleh Hadhrat Al-Masihil Mau’ud ‘alaihis-salam.
- Saya akan
mendahulukan kepentingan agama di atas kepentingan dunia
- Saya akan tetap
setia pada Nizham Khilafah Ahmadiyah, dan akan mentaati Huzur sebagai
Khalifatul Masih dalam setiap kebaikan yang Huzur serukan kepada saya.
Insya Allah.
ﺃﺳﺗﻐﻓﺭﺍﷲﺭﺑﻲﻣﻥﻛﻝﺫﻧﺐﻮﺃﺗﻭﺏﺇﻟﻳﻪ
ﺃﺳﺗﻐﻓﺭﺍﷲﺭﺑﻲﻣﻥﻛﻝﺫﻧﺐﻮﺃﺗﻭﺏﺇﻟﻳﻪ
ﺃﺳﺗﻐﻓﺭﺍﷲﺭﺑﻲﻣﻥﻛﻝﺫﻧﺐﻮﺃﺗﻭﺏﺇﻟﻳﻪ
Saya
mohon ampun kepada Allah, Tuhan-ku, dari semua dosaku, dan hamba bertobat
kepada-Nya.
ﺭﺏﺇﻧﻲﻅﻟﻣﺕﻧﻓﺳﻰﻭﺍﻋﺗﺭﻓﺕﺑﺫﻧﺑﻲﻓﻐﻔﺭﻟﻲﺫﻧﻭﺑﻲﻓﺈﻧﻪﻻﻳﻐﻔﺮﺍﻟﺫﻨﻭﺏﺇﻵﺃﻧﺖ
Ya Allah, Tuhanku, saya telah menganiaya jiwaku
dan saya akui seluruh dosaku, ampunilah dosa-dosaku, sebab tiada yang
mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Amin!
Bersamaan dengan ikrar kalimah syahadat (bai’at), mereka yang menyatakan ikrar bai’at, juga diminta agar berjanji dengan hati yang jujur, bahwa:
- Di masa yang
akan datang hingga masuk kedalam kubur senantiasa akan menjauhi syirik.
- Akan senantiasa
menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi
terhadap bukan muhrim, perbuatan fasik, kejahatan, aniaya, khianat,
mengadakan huru-hara, dan memberontak serta tidak akan dikalahkan oleh
hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya.
- Akan senantiasa
mendirikan shalat lima waktu semata-mata karena mengikuti perintah Allah
dan Rasul-Nya, Muhammad Saw, dan dengan sekuat tenaga akan senantiasa
mendirikan shalat tahajjud, dan mengirim shalawat kepada Junjungannya Yang
Mulia Rasulullah Muhammad Saw, dan memohon ampun dari kesalahan dan
memohon perlindungan dari dosa; akan ingat setiap saat kepada
nikmat-nikmat Allah, lalu mensyukuri dengan hati tulus, serta memuji dan
menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan.
- Tidak akan
mendatangkan kesusahan apapun yang tidak pada tempatnya terhadap makhluk
Allah umumnya dan kaum Muslimin khususnya karena dorongan hawa nafsunya,
biar dengan lisan atau dengan tangan atau dengan cara apapun juga.
- Akan tetap setia
terhadap Allah Ta’ala baik dalam segala keadaan susah atau pun senang,
dalam duka atau suka, nikmat atau musibah; pendeknya, akan rela atas
keputusan Allah Ta’ala. Dan senatiasa akan bersedia menerima segala kehinaan dan kesusahan di
jalan Allah. Tidak akan memalingkan mukanya dari Allah Ta’ala ketika
ditimpa suatu musibah, bahkan akan terus melangkah ke muka.
- Akan
berhenti dari adat yang buruk dan dari menuruti hawa nafsu, dan
benar-benar akan menjunjung tinggi perintah Al-Quran Suci atas dirinya.
Firman Allah dan sabda Rasul-Nya, Muhammad Saw. itu akan menjadi pedoman baginya dalam
tiap langkahnya.
- Meninggalkan
takabur dan sombong; akan hidup dengan merendahkan diri, beradat lemah
lembut, berbudi pekerti halus, dan sopan santun.
- Akan
menghargai agama, kehormatan agama dan mencintai Islam lebih dari pada
jiwanya, hartanya, anak-anaknya, dan dari segala yang dicintainya.
- Akan
selamanya menaruh belas kasih terhadap makhluk Allah umumnya, dan akan
sejauh mungkin mendatangkan faedah kepada umat manusia dengan kekuatan dan
nikmat yang dianugerahkan Allah Taala kepadanya.
- Akan
mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini "Imam Mahdi dan al-Masih
Mau'ud", semata-mata karena Allah dengan pengakuan taat dalam hal
ma'ruf (segala hal yang baik) dan akan berdiri di atas perjanjian ini
hingga mautnya, dan menjunjung tinggi ikatan perjanjian ini melebihi
ikatan duniawi, baik ikatan keluarga, ikatan persahabatan, atau pun ikatan
kerja.[54]
Teks ikrar bai’at masuk kedalam Jemaat Ahmadiyah, merupakan
bukti otentik:
1)
Kalimah syahadat yang diikrarkan Jemaat Ahmadiyah
saat setiap orang hendak menyatakan bergabung kedalam Jemaat Ahmadiyah, sama
dengan kalimah syahadat yang diikrarkan umat Islam lain umumnya, dua kalimah,
yakni: ﺍﺸﻬﺩﺍﻥﻵﺍﻠﻪﺍﻻﺍﷲﻭﺤﺩﻩﻻﺸﺭﻴﻙﻟﻪﻭﺍﺸﻬﺩﺍﻥﻤﺤﻤﺩﺍﻋﺒﺩﻩﻭﺭﺴﻭﻠﻪ,
berisi pengakuan kepada Allah Yang Esa, dan pengakuan kepada Nabi Muhammad Saw,
sebagai hamba dan Rasul-Nya.
2)
Jemaat Ahmadiyah meyakini dengan teguh, Nabi
Muhammad, Rasulullah Saw, adalah Khaatamun-Nabiyyin, cap (yang mengesahkan), semua nabi.
3)
Jemaat Ahmadiyah meyakini, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as,
Pendiri Jemaat Ahmadiyah, sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih al-Mau’ud (Al-Masih Yang Dijanjikan), yang kedatangannya telah dikabarghaibkan
oleh Nabi Muhammad, Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam, bukan sebagai nabi baru yang membawa agama baru dan
kitab suci baru, seperti yang diisukan dan disangkakan.
Sepuluh syarat bai’at masuk kedalam Jemaat Ahmadiyah juga memberikan
petunjuk yang terang benderang:
1)
Apa yang dibawa, diajarkan, dan ditekankan Pendiri Jemaat Ahmadiyah,
sebagaimana terangkum dalam sepuluh butir syarat-syarat bai’at masuk kedalam Jemaat
Ahmadiyah, seutuhnya adalah ajaran Islam, ajaran Nabi Muhammad Saw.
2)
Butir ke-10: “akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini "Imam
Mahdi dan al-Masih Mau'ud", semata-mata karena Allah dengan pengakuan taat
dalam hal ma'ruf (segala hal yang baik) dan akan berdiri di atas perjanjian ini
hingga mautnya.....”, bukan pengkultusan terhadap Pendiri Jemaat Ahmadiyah,
tetapi itu merupakan bentuk ketaatan yang seharusnya ditunjukan seorang mukmin
terhadap seorang Amir/Imam/Pemimpin, sepeninggal Nabi Muhammad Saw, sebagaimana
Sabda Nabi Saw: “Aku berwasiat kepada kamu sekalian agar tetap bertaqwa kepada
Allah, mendengar dan tha’at, sekalipun yang memimpinmu seorang budak
Habsyi....”[55].[]
b. Shalat
Sebagaimana janji mereka saat menyatakan ikrar bai’at: “Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu semata-mata karena
mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, Muhammad Saw, dan dengan sekuat tenaga
akan senantiasa mendirikan shalat tahajjud, dan mengirim shalawat kepada
Junjungannya Yang Mulia Rasulullah Muhammad Saw, dan memohon ampun dari
kesalahan dan memohon perlindungan dari dosa; akan ingat setiap saat kepada
nikmat-nikmat Allah, lalu mensyukuri dengan hati tulus, serta memuji dan
menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan”, [56]
seperti itulah warga Jemaat Ahmadiyah mengaplikasikan shalat, rukun Islam ke-2.
Shalat
adalah media komunikasi harian dengan Allah swt. Melalui shalat segala keluh
kesah, harapan dan doa disampaikan kepada Allah swt. Shalat, seperti kata para
sufi, dapat mengakibatkan Tazkiya-e-Nafs
(pensucian jiwa). Karena itu Jemaat Ahmadiyah menjalankan shalat dengan penuh khusyuk dan tawaddu’. Shalat bukan hanya menjadi kewajiban, tetapi menjadi
keperluan harian.
Dalam
Jemaat Ahmadiyah ada empat macam shalat: 1) shalat fardhu (shalat lima waktu), 2)
shalat wajib (shalat Jumat dan shalat Iedul Fitri-Iedul Adha), 3) shalat sunnah
(shalat tahiyatul masjid, shalat qabla-ba’da shalat fardhu), dan 4) shalat
nafal (shalat tahajud, shalat dhuha, shalat tarawih, shalat tasbih, dll).
Shalat
Jumat didalam Jemaat Ahmadiyah tidak hanya wajib bagi kaum pria tapi juga wajib
bagi kaum wanita yang sedang tidak berhalangan. Karena itu, pada hari Jumat,
masjid-masjid Jemaat Ahmadiyah, selalu dipadati kaum wanita untuk mengikuti dan
mendirikan shalat jumat.
Dikalangan
masyarakat non-Ahmadi berkembang anggapan, shalat sunnah dikerjakan dapat
pahala, tidak dikerjakan tidak apa-apa. Dampak dari pemahaman ini, kalangan
masyarakat non-Ahmadi lebih banyak yang tidak mengerjakan shalat sunnah
daripada yang mengerjakannya.
Jemaat
Ahmadiyah beranggapan, shalat sunnah, dikerjakan dapat pahala, tidak dikerjakan
dosa. Dampak dari pemahaman ini, semua
jenis shalat: fardhu, wajib sunnah, dan
nafal, di kalangan Jemaat Ahmadiyah, menjadi lebih hidup. Jemaat Ahmadiyah
mendirikan shalat dengan penuh rasa ketakutan dan pemusatan pikiran,
seakan-akan mereka melihat wajah Ilahi dihadapanya, atau merasa, mereka sedang
dilihat oleh Tuhan-nya. []
c. Puasa
Puasa adalah ibadah yang dapat menimbulkan gelora api kecintaan kepada Allah dan kepada sesama manusia. Di dalam Al-Quran bulan puasa disebut bulan Ramadhan.[57] Ramadhan artinya dua panas. Disebut bulan Ramadhan, karena: berpuasa di bulan itu menimbulkan panas disebabkan haus, membakar habis karat-karat dosa, menimbulkan dalam hati kehangatan cinta kepada Allah dan kepada sesama manusia.[58] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as: Bulan puasa sangat baik untuk Tanwirul Qulub (penyinaran kalbu). Didalamnya banyak sekali terjadi mukasyafat (pemandangan-pemandangan kasyaf). Shalat mengakibatkan Tazkiya-e-Nafs (pensucian jiwa), sedangkan puasa mengakibatkan Tajalli-e-Qulub (pencerahan qalbu melalui mukasyafat).[59] Jika shalat dapat mengakibatkan Tazkiya-e-Nafs (pensucian jiwa-berhasil melampaui tahap dorongan-dorongan Nafsu Amarah), maka puasa dapat mengakibatkan Tajalli-e-Qulub (berhasil melampaui tahap Nafs Lawwamah dan memasuki tahap Nafs Mutmainnah, mencapai liqa, mendapat pencerahan qalbu melalui mukasyafah, mukallamah mukhatabah ilahiyah, ilham, dan wahyu). Pada tahap ini, ia mendekati Allah, lalu Dia, Allah, pun kian dekat kepadanya, maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dua buah busur, bahkan lebih dekat lagi, lalu Allah mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang diwahyukan-Nya.[60] Keberhasilan melampaui tahap Nafs Lawwamah dan memasuki tahap Nafs Mutmainnah ini, di dalam Al-Quran disebut Lailaul Qadar (malam takdir), yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan.[61]
Bagitu agungnya bulan Ramadhan, sehingga kepada para pengikutnya, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Jemaat Ahmadiyah pun berpesan: “Jalanilah hari-hari puasamu karena Allah dengan penuh ketulusan”.[62] Terdorong keinginan mencapai tahap Tajalli-e-Qulub (berhasil melampaui tahap Nafs Lawwamah dan memasuki tahap Nafs Mutmainnah, mencapai liqa, mendapat pencerahan qalbu melalui mukasyafah, mukallamah mukhatabah ilahiyah, ilham, dan wahyu), dan menjalankan pesan Sang Imam, maka Jemaat Ahmadiyah menjalani hari-hari puasa dengan imanan dan ihtisaban, dengan penuh kesungguhan dan ketulusan.
Jemaat Ahmadiyah tidak pernah meributkan kapan tanggal satu Ramadhan atau satu Syawal. Jemaat Ahmadiyah memasuki satu Ramadhan atau satu Syawal selalu mengikuti keputusan Pemerintah. Sama atau beda satu Ramadhan atau satu Syawal-nya dengan pemerintah, bagi Jemaat Ahmadiyah tidak penting. Yang penting adalah berpuasa dan meraih karunia puasa sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya, yakni mencapai tahap Tajalli-e-Qulub (berhasil melampaui tahap Nafs Lawwamah dan memasuki tahap Nafs Mutmainnah, mencapai liqa, mendapat pencerahan qalbu melalui mukasyafah, mukallamah mukhatabah ilahiyah, ilham, dan wahyu).[]
d. Zakat
Di
dalam Al-Quran perintah mendirikan shalat selalu dirangkai dengan perintah membayar
zakat: “Dan, dirikanlah shalat dan bayarlah zakat dan rukuklah
bersama orang-orang yang rukuk”.[63] Dikatakan juga, orang-orang
yang tidak membayar zakat mereka itu termasuk orang-orang yang ingkar kepada
akhirat.[64] Zakat bertujuan untuk membersihkan dan mensucikan diri dan harta,[65] mengentaskan kemiskinan,[66] menumbuhkan solidaritas terhadap golongan masyarakat yang
keadaan ekonominya kurang beruntung, dan mencegah penimbunan uang dan
bahan-bahan keperluan, menjamin kelancaran perputaran kedua-duanya, sehingga tercipta
keseimbangan ekonomi yang sehat.[67]
Dirangkainya perintah shalat dengan zakat mengindikasikan, hubungan vertikal
dengan Allah (hablum-minallah), dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (hablum-minannas),
harus selalu sejalan beriringan. Atau, bisa juga bermakna, menarik perhatian langit dengan shalat saja
tampaknya tidak cukup. Perlu dibarengi dengan zakat sebagai bentuk kepedulian sosial
kepada sesama.
Karena begitu eratnya hubungan shalat dengan zakat, maka seperti halnya shalat, zakat pun senantiasa dihidupkan dan ditunaikan
oleh Jemaat Ahmadiyah. Dalam Jemaat Ahmadiyah, zakat - pembayaran dan penggunaannya,
berada dibawah pengawasan langsung Khalifatul Masih, Imam Jemaat Ahmadiyah. Hal ini sesuai dengan urgensinya, dan sesuai dengan sunnah
Rasulullah Saw, dan para khulafaur-rasyidin.
Bahkan, tidak hanya zakat, infaq
yang bertujuan untuk jihad fi sabilillah,[68] juga
ditunaikan Jemaat Ahmadiyah. Infaq –
sesuai dengan petunjuk Al-Quran, wajib dibayarkan setiap bulan bagi mereka yang
berpenghasilan bulanan atau setiap musim bagi mereka yang berpenghasilan
musiman.[69]
Besarnya mulai dari 1/16, 1/10, 1/5, hingga 1/3. Infaq dihimpun Jemaat Ahmadiyah untuk keperluan jihad fi sabilillah, yakni
menyebarluaskan kebenaran-dakwah Islam diseluruh penjuru dunia. Dari dana infaq inilah Jemaat Ahmadiyah memiliki
dana dan menjadi organisasi Islam yang mandiri, bukan dibantu Inggris seperti
yang diisukan.[]
e. Haji
Ibadah
haji adalah rukun Islam ke-5. Al-Quran mengatakan: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan
umrah karena Allah. Tetapi jika
kamu terhalang, maka sembelihlah hewan
yang mudah di dapat, dan janganlah mencukur kepalamu sebelum hewan kurban
sampai ke tempat penyembelihannya. Dan, barangsiapa di antaramu sakit atau ada
gangguan sakit di kepala, maka ia harus membayar fidyah dengan puasa, atau
sedekah atau kurban. Lalu apabila kamu telah aman, barangsiapa mengambil faedah
mengerjakan umrah bersama-sama dengan
ibadah haji, hendaklah ia berkurban dengan yang mudah didapat. Dan barangsiapa yang
tidak mendapatkannya, hendaklah ia berpuasa tiga hari di musim haji,
dan tujuh hari setelah kamu kembali. Inilah sepuluh hari yang sempurna.
Yang demikian itu bagi orang yang keluarganya tidak tinggal
dekat Masjidilharam. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah keras dalam menghukum”.[70]
Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Jemaat Ahmadiyah, berkata: “Barangsiapa telah memenuhi syarat untuk menunaikan ibadah haji, dan
tidak ada yang menghalangi, hendaklah ia menunaikan ibadah haji”.[71]
Pemerintah Arab Saudi melarang
Jemaat Ahmadiyah menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Alasannya, Ahmadiyah bukan Islam, karena itu Ahmadiyah haram
memasuki tanah suci. [72]
Pemprov
Jabar via Kementerian Agama Jabar mengikuti kebijakan Pemerintah Saudi itu. Kemenag
Jabar mensyaratkan, bagi pendaftar calon jamaah haji reguler mereka diwajibkan melampirkan surat
keterangan yang menyatakan bukan Jemaat Ahmadiyah. Ketentuan tersebut dimuat di
banner-banner yang dipasang di Kantor Kementerian Agama Kota Tasikmalaya dan di
Kantor-kantor KUA Kota/Kab. Tasikmalaya. Bank-Bank penerima dana ONH juga
diberikan warning agar tidak menerima dana ONH bagi pendaftar yang tidak
melampirkan surat keterangan yang menyatakan bukan Jemaat Ahmadiyah. Bank
Syari’ah Mandiri Kota Tasikmalaya bahkan menerbitkan selebaran yang memuat
ketentuan Kemenag Kota Tasikmalaya tersebut.[73] Kemenag Jabar rupanya
lupa, Indonesia adalah Negara yang merdeka dan berdaulat, berdiri diatas kaki
sendiri, tidak seharusnya tunduk patuh pada kebijakan asing. Kemenag Jabar juga
rupanya lupa, seharusnya membela hak-hak warga negaranya jika ada hak-hak warga
negaranya yang terganggu. Alih-alih membela hak-hak warga negaranya, Kemenag
Jabar malah mengekor dan tunduk pada kebijakan asing.
Bagi
yang bukan Ahmadiyah melampirkan surat keterangan yang menyatakan bukan Jemaat
Ahmadiyah, tentu bukan masalah. Tetapi, bagi Jemaat Ahmadiyah, syarat tersebut
merupakan problem, menyangkut masalah prinsip: hak berkeyakinan, hak yang
paling asasi, yang sejatinya dijamin oleh konstitusi.
Namun, Walaupun Pemerintah Arab
Saudi melarang Jemaat Ahmadiyah berhaji ke tanah suci, Kemenag Jabar juga
memberikan batasan-batasan, warga Jemaat Ahmadiyah tetap berusaha menjalankan
ibadah haji ke tanah suci. Ada kasus, Jemaat Ahmadiyah, sudah masuk asrama
haji, diketahui Ahmadiyah, lalu dipulangkan, tidak jadi berangkat ke tanah
suci. Tetapi, tak terbilang juga warga Jemaat Ahmadiyah – termasuk Amir
Nasional dan Rais-ut-Tabligh Jemaat Ahmadiyah Indonesia, dapat menjalankan
ibadah haji ke tanah suci. Tahun 2008, saya sendiri berangkat ke tanah suci
menjalankan ibadah haji. Dari berangkat, sampai di tanah suci, menjalani rukun
dan wajib haji: thawaf, sya’i, wukuf,
lempar jumrah, dll, hingga kembali lagi ke tanah air, lancar aman, tidak
ada suatu gangguan apa pun. Tidak ada yang bertanya kamu mazhab apa, aliran
apa, semua menjalankan ibadah – bahkan jika saya lihat, sesuai dengan faham
mazhabnya masing-masing. Dan satu sama lain tidak ada yang saling menegur
kenapa begitu. Berikut sertifikat haji atas nama saya sendiri, sekedar sebagai bukti,
saya orang Ahmadiyah berhaji ke tanah suci. []
Ahmadiyah:
100% Islam
Dari uraian diatas, mulai dari aspek
nama – yang mereferensi kepada nama lain
Nabi Muhammad Saw: Ahmad, sumber
ajaran – yang seutuhnya berpedoman kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw,
akidah dan syari’ah – yang berlandaskan pada akidah enam rukun iman dan lima
rukun Islam, hingga implementasi enam rukun iman dan lima rukun Islam, dapat
dipastikan Ahmadiyah adalah 100% Islam.
Jika ada perbedaan, hanya terletak
pada:
1.
Umat Islam umumnya
(khususnya ahli sunnah wal jamaah), meyakini, sepeninggal Nabi Muhammad Saw,
Islam dipimpin Khulafa al-Rasyidin – Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra, dan Ali
ra, dilanjut para Imam Mazhab - Imam
Hanafi, Imam Syafie, Imam Maliki dan Imam Hambali. Jemaat Ahmadiyah meyakini, sepeninggal
Nabi Muhammad Saw, Islam dipimpin Khulafa al-Rasyidin – Abu Bakar ra, Umar ra,
Utsman ra, dan Ali ra, dilanjut para Mujaddid yang tampil pada setiap permulaan
abad hingga kehadiran Imam Mahdi-Al-Masih al-Mau’ud (Al-Masih Yang Dijanjikan)
kedatangannya oleh Baginda Nabi Muhammad Saw.
2.
Umat Islam
umumnya (khususnya ahli sunnah wal jamaah), meyakini, pada setiap permulaan
abad, Allah akan membangkitkan seorang Mujaddid. Tetapi, hanya sebatas
meyakini, tidak mengikuti. Jemaat Ahmadiyah meyakini dan mengikuti. Mujadid
abad XIV H, dalam keyakinan Ahmadiyah, adalah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as,
Pendiri Jemaat Ahmadiyah.
3.
Umat Islam
umumnya (khususnya ahli sunnah wal jamaah), meyakini, Imam Mahdi-Al-Masih
al-Mau’ud, akan datang pada akhir zaman, tetapi belum datang, masih menunggu
kedatangannya. Jemaat Ahmadiyah meyakini, Imam Mahdi-Al-Masih al-Mau’ud telah datang
dalam sosok pribadi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Jemaat Ahmadiyah.[]
Ahmadiyah:
Persamaan dan Perbedaan Mengenai Kedatangan Imam Mahdi dan Nabi Isa as di Akhir
Zaman
Selisih
pemahaman mengenai waktu kedatangan dan sosok Imam Mahdi dan Al-Masih al-Mau’ud
antara Ahmadiyah dan Umat Islam lain umumnya, bisa dimaklum, sebab latar
pemahamannya juga sudah berbeda.
1.
Umat Islam
umumnya memahami, saat ini belum akhir zaman. Jemaat Ahmadiyah memahami, saat ini sudah akhir zaman.
2.
Umat Islam
umumnya memahami, Al-Masih al-Mau’ud yang dijanjikan akan datang adalah
Al-Masih Isa ibnu Maryam yang dahulu yang pernah diutus Allah kepada Bani
Israil yang diyakini masih hidup di langit dan kelak akan turun pada akhir
zaman. Jemaat Ahmadiyah memahami, Al-Masih al-Mau’ud yang dijanjikan akan
datang bukan Al-Masih Isa ibnu Maryam yang dahulu yang pernah diutus Allah
kepada Bani Israil. Al-Masih Isa ibnu Maryam yang dahulu tidak diangkat dan
tidak hidup di langit melainkan sudah wafat dalam usia 120 tahun, dan berkubur
di Desa Kanyar, Srinagar, Kasmir, India.
Al-Masih Isa ibnu Maryam yang dahulu
tidak bisa dan tidak boleh datang, sebab selain sudah wafat, jika datang, ia
akan merusak segel Khaatamun-Nabiyyin
Nabi Muhammad Saw. Al-Masih Isa ibnu Maryam yang diyakini Ahmadiyah akan
datang ialah Isa ibnu Maryam yang oleh Nabi Muhammad Saw. dikatakan: fii
kum, wa imaamukum minkum – di dalam lingkungan kamu (umat Islam), akan
menjadi imam kamu (umat Islam), dan dari antara kamu (umat Islam),[74] yakni, Isa ibnu Maryam ummati nabi
Muhammad Saw, yang juga disebut Isa ibnu
Maryam matsalan, [75] yang seutuhnya menjadi hamba dan berpedoman
teguh serta hanya melaksanakan syari’at Nabi Muhammad Saw. (Al-Qur’an). Sebab,
sesudah Nabi Muhammad Saw, hanya ummati Nabi Muhammad Saw-lah, yang bisa dan boleh tampil mengemban risalah
Nabi Muhammad Saw. (Islam-Al-Quran).[76] Ia disebut Isa ibnu Maryam, karena ia mencapai derajat
Isa ibnu Maryam, memiliki spirit Nabi
Isa ibnu Maryam as, sehingga ia menjadi
dhil – bayangan, Nabi Isa ibnu Maryam as, dan menyandang gelar Isa ibnu
Maryam.[77]
3.
Umat Islam
umumnya memahami, Imam Mahdi-Al-Masih
al-Mau’ud, adalah dua sosok yang berbeda: Imam Mahdi lain, Isa ibnu Maryam lain.
Jemaat Ahmadiyah memahami, Imam Mahdi-Al-Masih al-Mau’ud, adalah satu orang
yang sama seperti disabdakan Nabi Muhammad Saw: Laa Mahdiya illa Isa – tiada Mahdi kecuali Isa.[78]
4.
Umat Islam
umumnya memahami, Imam Mahdi-Al-Masih al-Mau’ud yang dijanjikan akan datang
adalah nama orang. Jemaat Ahmadiyah meyakini Imam Mahdi-Al-Masih al-Mau’ud, adalah
nama jabatan atau gelar yang disandang oleh seseorang.
Walaupun
ada selisih pemahaman mengenai waktu kedatangan dan person Imam Mahdi-Al-Masih
al-Mau’ud, namun satu hal yang pasti, Ahmadiyah dan Umat Islam lain umumnya,
mempunyai akar kepercayaan yang sama: sama-sama meyakini Imam Mahdi dan Al-Masih
Isa ibnu Maryam akan datang pada akhir zaman.
Berikut
keyakinan umat Islam umumnya berkenaan dengan kedatangan Imam Mahdi dan
Al-Masih al-Mau’ud:
“Adapun mengingkari sama sekali kedatangan
Mahdi yang dijanjikan, sebagaimana
anggapan sementara golongan mutaakhirin adalah pendapat yang salah.
Karena Hadits-hadits tentang kedatangannya di akhir zaman dan tentang ia akan mengisi
bumi ini dengan keadilan dan kejujuran, karena telah penuh kezaliman, adalah mutawatir dari segi isi dan artinya dan terdapat
dalam jumlah banyak”. [79]
“Beriman
kepada datangnya Imam Mahdi itu wajib, sebagaimana telah dibenarkan oleh para
Ulama dan telah dijelaskan dalam aqidah-aqidah Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah dan juga
diakui oleh Ahlusy-Syi’ah”. [80]
Soal:
Bagaimana
pendapat muktamar tentang Nabi Isa as., setelah turun kembali ke dunia. Apakah
tetap sebagai Nabi dan Rasul? Padahal Nabi Muhammad SAW, adalah Nabi terakhir?
Dan apakah mazhab empat itu akan tetap ada pada waktu itu?
Jawab: ”Kita wajib berkeyakinan bahwa
Nabi Isa as, itu akan diturunkan kembali pada akhir zaman nanti sebagai Nabi
dan Rasul yang melaksanakan syariat Nabi Muhammad Saw, dan hal itu, tidak berarti menghalangi Nabi Muhammad
sebagai Nabi yang terakhir, sebab Nabi Isa as, hanya akan melaksanakan syariat
Nabi Muhammad Saw. Sedangkan mazhab empat pada waktu itu hapus
(tidak berlaku)”.[81]
“Tentang kedatangan tuan Yezuz
kedoenia kembali, memang rata-rata kaum Moeslimin mempertjayainya. Hal
kepertjayaan Moeslimin tentang kedatangan Yezuz ke dunia lagi itoe demikianlah
: Sungguh Baginda Nabi Isa (Yezuz Kristus), itu akan toeroen ke doenia lagi
pada akhir zaman dan beliau itu akan menghoekoemi dengan syari’at Nabi
Moehammad SAW., tidak dengan syari’atnya; karena syari’at Yezuz itoe, telah
terhapoes sebab soedah lalunya waktoe jang sesoeai oentoek mendjalankannya. Maka kedatangan Yezuz itoe nanti menjadi
sebagai khalifah ataoe pengganti Nabi kita, di dalam menjalankan syri’at
Beginda Nabi SAW., pada ini oemat”.[82]
Beda memahami waktu kedatangan, dan beda memahami person Imam Mahdi-Al-Masih al-Mau’ud, tidak seharusnya di vonis bukan Islam, sesat menyesatkan, dan orang yang mengikutinya murtad keluar dari Islam.[83] Selama Ahmadiyah berakidah sesuai dengan akidah enam rukun Iman dan beribadah sesuai dengan lima rukun Islam, maka ia adalah mukmin dan muslim sebagaimana di definisikan Nabi Muhammad Saw.
Beliau bahkan memberikan definisi lebih sederhana lagi: “Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, menganut kiblat kita (ka’bah), shalat sebagaimana shalat kita, dan memakan daging sembelihan sebagaimana sembelihan kita, maka dialah orang Islam. Ia mempunyai hak sebagaimana orang-orang Islam lainnya. Dan ia mempunyai kewajiban sebagaimana orang Islam lainnya”.[84] []
Ahmadiyah:
Keyakinan Kepada Nabi Muhammad Sebagai Khaatamun-Nabiyyin
Jika standar Islam adalah keyakinan:
Allah itu Esa dan Muhammad adalah Nabi terakhir (Khaatamun-Nabiyiin) – seperti di definisikan para ulama tanah air belakangan
ini, Jemaat Ahmadiyah tetap 100% Islam, sebab Jemaat
Ahmadiyah juga meyakini dengan teguh: Allah itu Esa, dan Nabi Muhammad Saw, adalah Khaatamun-Nabiyyiin.
Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad as:
“Inti
dari kepercayaan kami ialah: Laa Ilaaha Illallaahu,
Muhammadur-Rasulullaahu (Tak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah
utusan Allah). Kepercayaan kami yang menjadi pergantungan dalam hidup ini, dan
yang pada-Nya kami, dengan rahmat dan karunia Allah, berpegang sampai saat
terakhir dari hayat kami di bumi ini, ialah bahwa junjungan dan penghulu kami,
Nabi Muhammad SAW., adalah Khaataman-Nabiyyin dan Khairul
Mursalin, yang termulia dari antara nabi-nabi. Di tangan beliau
hukum syari’at telah disempurnakan. Karunia yang sempurna ini pada waktu
sekarang adalah satu-satunya penuntun ke jalan yang lurus dan satu-satunya
sarana untuk mencapai “kesatuan” dengan Tuhan Yang Maha Kuasa”.[85]
“Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya kami
beriman kepada Allah sebagai Tuhan, dan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam
adalah seorang nabi, serta kami beriman, beliau adalah “Khaataman-nabiyyin”.[86]
“Dengan sungguh-sungguh saya percaya bahwa Nabi Muhammad Saw, adalah Khaatamul Anbiya. Seorang yang tidak percaya pada Khatamun Nubuwwah beliau (Rasulullah Saw), adalah orang yang tidak beriman dan berada diluar lingkungan Islam”.[87]
Yang
mengatakan Ahmadiyah tidak meyakini Nabi Muhammad Saw,
sebagai Khaatamun-Nabiyyin hingga memvonis Ahmadyah
sebagai bukan Islam, sesat dan menyesatkan, dan orang yang mengikutinya murtad
(keluar dari Islam), adalah mengada-ada dan fitnah, dan tidak paham Ahmadiyah.[]
Ahmadiyah:
Potensi Kenabian Tasyri’-Ghair Tasyri’ Mustaqil Telah Berakhir
Jemaat Ahmadiyah meyakini, karena
Nabi Muhammad Saw, adalah Khãtamun-Nabiyyîn, maka potensi kenabian tasyri’-ghairi tasyri’ mustaqil (nabi haqiqi), telah berakhir pada diri Baginda Nabi Muhammad Saw.
Sesudah beliau, nabi yang membawa
syari’at atau pun nabi yang tidak membawa syari’at dan berdiri sendiri – tasyri-ghairi
tasyri’ mustaqil (nabi haqiqi), nabi lama – seperti nabi Isa yang diyakini
akan datang pada akhir zaman, atau pun nabi baru – nabi yang membawa agama
baru, kitab suci baru dan kalimah syahadat baru, tidak
ada lagi, tidak bisa dan tidak boleh datang, sebab kalau datang, akan merusak
segel Khãtamun-Nabiyyîn Nabi Muhammad Saw.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as:
“Saya dengan sangat yakin dan dengan pendakwaan
mengatakan bahwa potensi-potensi nubuwwat/kenabian telah berakhir pada wujud
Rasulullah Saw. Orang yang menegakkan suatu silsilah baru menentang beliau Saw. dan
yang memisahkan diri dari kenabian beliau Saw. lalu memaparkan suatu kebenaran
dan meninggalkan mata air kenabian itu, adalah pendusta dan penipu. Saya
katakan dengan sejelas-jelasnya bahwa terkutuklah orang yang meyakini orang
lain diluar Rasulullah Saw. sebagai nabi sesudah beliau Saw. dan yang
merubuhkan Khaatamun-Nubuwwat beliau Saw. Itulah sebabnya sesudah Rasulullah Saw.
tidak bisa datang lagi nabi yang tidak memiliki cap/stempel kenabian Nabi
Muhammad Saw”.[88]
“Untuk itu, hal ini telah ditetapkan hingga hari
Kiamat, bahwa seseorang yang tidak membuktikan kedudukannya sebagai ummati,
melalui sikap mengikuti secara hakiki dan tidak menjadikan segenap wujudnya
mabuk dalam mengikuti beliau Saw, orang seperti itu sampai hari Kiamat tidak
akan dapat memperoleh suatu wahyu sempurna dan tidak pula dia dapat menjadi
mulham kamil (penerima ilham sempurna). Sebab, kenabian mustaqil, telah berakhir
pada wujud Rasulullah Saw”.[89]
“..........Untuk sampai
kepada-Nya, semua pintu tertutup, kecuali sebuah pintu yang dibukakan oleh
Quran Majid. Dan semua kenabian dan semua Kitab-kitab yang terdahulu tidak
perlu lagi diikuti, sebab kenabian Muhammadiyah mengandung dan meliputi
kesemuanya itu. Selain ini, semua jalan
tertutup. Semua jalan yang sampai kepada Tuhan terdapat didalamnya.
Sesudahnya tidak akan datang kebenaran baru, dan tidak pula sebelumnya ada
suatu kebenaran yang tidak terdapat didalamnya. Sebab itu, diatas kenabian ini
habislah semua kenabian. Memang, sudah sepantasnya demikian, sebab sesuatu yang
ada permulaannya, tentu ada pula kesudahanya”. [90]
“Dan hakikat yang sebenarnya, saya berikan
kesaksian sepenuhnya, Nabi kita, Muhammad Saw, adalah Khaatamul Anbiyaa dan
sesudah beliau Saw, tidak ada lagi nabi yang datang, baik nabi lama maupun nabi
baru”.[91] []
Ahmadiyah: Kenabian Yang Mungkin
Datang Adalah Kenabian Ummaty-Dhilly-Buruzy
Diatas telah dijelaskan,
karena Nabi Muhammad Saw adalah Khãtamun-Nabiyyîn, maka kenabian tasyri’-ghair tasyri’ mustaqil (nabi haqiqi),
telah berakhir, pintunya telah tertutup dan tidak akan ada lagi.
Nabi lama – seperti nabi Isa yang diyakini akan datang pada
akhir zaman, juga nabi baru – nabi yang membawa agama baru, kitab suci baru dan
kalimah syahadat baru, pintunya telah tertutup, tidak ada lagi, tidak bisa dan
tidak boleh datang. Sebab, jika datang, ia akan merusak
segel Khãtamun-Nabiyyîn Nabi Muhammad Saw.
Jika sepeninggal Nabi Muhammad Saw, harus ada nabi, maka kenabian yang bisa dan boleh dicapai adalah kenabian ghair tasyri’-ghair mustaqil (nabi dhilly), yaitu nabi yang tidak membawa syari’at dan tidak berdiri sendiri, nabi yang menjadi nabi semata-mata karena mengikut nabi (fanaa fir-Rasul Saw), nabi yang menjadi bayangan dari Nabi Muhammad Saw. Bentuk kenabian seperti ini dalam istilah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, disebut nabi ummaty, nabi dhilly,dan nabi buruzy.
Kenabian ghair tasyri’-ghair
mustaqil (nabi ummaty, dhilly buruzy), bisa dicapai tetapi harus melalui dan di dalam Nabi Muhammad Saw, melalui pintu
penyerahan, pintu fana seluruhnya kepada Nabi Muhammad Saw, melalui jendela sirat siddiqi
atau jendela fana fir Rasul Saw.
melalui pintu ittiba’i, Nabi Saw.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as:
“Lembaga
Kenabian telah tertutup,
kecuali melalui dan di dalam Nabi Muhammad Saw., Nabi pembawa syari’at tidak mungkin lagi datang. Seorang Nabi tanpa
syari’at baru bisa datang, tetapi lebih dulu ia harus seorang ummati, yakni seorang pengikut Nabi
Muhammad Saw”.[92]
“Semua pintu kenabian telah tertutup kecuali pintu
penyerahan seluruhnya kepada Nabi Muhammad Saw, dan pintu fana seluruhnya kedalam beliau”. [93]
“Sesudah Nabi Muhammad Saw, tidak boleh lagi mengenakan istilah Nabi kepada seseorang, kecuali bila ia lebih dahulu
menjadi seorang ummati dan pengikut dari Nabi Muhammad Saw”.[94]
“Setelah
Rasulullah Saw, segenap pintu kabar ghaib telah ditutup. Dan tidak mungkin sekarang ada
orang Hindu, atau Yahudi, atau Kristen, atau orang Muslim yang tidak sejati
dapat membuktikan kata nabi bagi
dirinya. Segenap jendela nubuwat (kenabian)
telah ditutup”.[95]
“Namun,
ada satu jendela sirat siddiqi yang
terbuka, yakni jendela Fana fir Rasul SAW,
(mabuk dalam kecintaan kepada Rasulullah SAW). Jadi, seseorang yang memuji
Allah lewat jendela ini, maka kepadanya dipakaikan jubah kenabian itu secara
bayangan, yakni jubah kenabian Muhamad SAW. Oleh karena itu kedudukan orang itu
sebagai nabi bukanlah sesuatu yang
harus dikecam. Sebab kenabian tersebut dia peroleh bukan karena dirinya
sendiri, melainkan dia peroleh dari mata air nabi-nya. Dan itu bukan untuk
dirinya, melainkan untuk keperkasaan Nabi SAW, itu juga. Itulah sebabnya di
Langit orang itu dinamakan Muhammad
dan Ahmad. Artinya, kenabian
Muhammad SAW, itu akhirnya hanya diraih oleh Muhammad juga, Walaupun dalam bentuk bayangan, dan tidak diraih
oleh orang lain”.[96]
“Sekarang
pangkat kenabian hanya dapat diraih oleh orang yang didalam amal perbuatannya
terdapat stempel ittiba’ Nabawi Saw, (mengikuti Rasulullah Saw). Dan,
dengan demikian, orang itu merupakan putra
Rasulullah Saw, serta merupakan ahli-waris Beliau Saw”.[97][]
Ahmadiyah:
Kedudukan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as dalam Keyakinan Jemaat Ahmadiyah
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Jemaat Islam Ahmadiyah, dalam keyakinan Jemaat Ahmadiyah, bukan nabi baru, yang membawa agama baru, kitab suci baru, kalimah
syahadat baru, seperti yang selama ini diisukan, disangkakan, dan dipropagandakan beberapa
kalangan umat Islam non-Ahmadiyah.[98]
Jemaat Ahmadiyah meyakini,
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, adalah sufi besar abad XIV. Beliau adalah orang yang fana fillah – larut tenggelam
dalam kecintaan kepada Allah, dan fana fir-Rasul Saw – larut
tenggelam dalam kecintaan kepada Rasulullah Muhammad Saw.
Ke-fana-annya
kepada Allah Swt, dan ke-fana-annya kepada Rasulullah Saw, telah
memungkinkan beliau mendapat kehormatan diberi amanat sebagai Mujaddid
Abad XIV H, sebagai Imam Mahdi, dan sebagai manifestasi Isa
ibnu Maryam Yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Nabi Muhammad Saw, (Masih
Mau’ud), yang kedatangannya telah dikabarghaibkan oleh Nabi Muhammad Saw,
dan ditunggu-tunggu oleh seluruh umat Islam – sunni atau pun syi’ah.
[99]
Ke-fana-annya
yang begitu rupa kepada Allah swt, dan kepada Rasulullah Saw, tidak ada lagi hijab yang membatasi, telah
memungkinkan beliau – sesuai dengan janji-Nya: Wa may-yuti’ilãha war-rasûla fa ulãika ma’al-ladzîna an’amallãhu
‘alaihim minan-nabiyîna wa shiddiqîna wa syuhadâ-i wa-shâlihîna wa hasuna ulâika
rafîqa. Dzâlikal fadhlu minallâhi wa kafâ billâhi ‘alîma (An-Nisa, 4:70-71), mencapai maqam-maqam
rohani tertinggi: sebagai putra rohani, sebagai pewaris haqiqi
Nabi Muhammad Saw, sebagai: ummaty – pengikut sejati, dhilly - bayangan,
buruzy - cerminan, madhar kamil Muhammad – penampakan sempurna Nabi
Muhammad Saw, sebagai manifestasi kedatangan kedua kali Nabi Muhammad Saw,[100] dan mendapat kehormatan mengenakan jubah kenabian Nabi Muhammad Saw,
serta banyak mendapat anugerah pengalaman spiritual: mukallamah mukhathabah
Ilahiyah.
Sebagai
Mujaddid, sebagai Imam Mahdi, sebagai
manifestasi Isa ibnu Maryam Yang Dijanjikan (Masih Mau’ud as),
sebagai putra
rohani dan pewaris
haqiqi Nabi Muhammad Saw, sebagai ummaty,
sebagai dhilly,
sebagai buruzy, sebagai madhar kamil Nabi Muhammad Saw, sebagai
manifestasi kedatangan kedua kali Nabi Muhammad Saw, dan sebagai orang
yang mendapat kehormatan mengenakan jubah kenabian Nabi Muhammad Saw, Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad as, seutuhnya dan sepenuhnya mengimani Allah sebagai Tuhan,
Islam sebagai Agama, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya, dan seutuhnya berpedoman kepada, serta
melaksanakan Al-Quran, dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.
Sebagai Mujaddid, Imam
Mahdi, Masih Mau’ud, sebagai putra rohani dan pewaris haqiqi
Nabi Muhammad Saw, sebagai ummaty, dhilly, buruzy, sebagai madhar kamil Nabi
Muhammad Saw, sebagai manifestasi kedatangan kedua kali Nabi Muhammad Saw,
dan sebagai
orang yang mendapat kehormatan mengenakan jubah kenabian Nabi Muhammad Saw, Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad as, hanya mengusung Islam yang diusung Nabi Muhammad Saw,
yaitu: Islam yang santun, Islam yang toleran, Islam yang damai, Islam
rahmatal-lil’âlamîn – Islam
yang menjadi rahmat bagi seluruh umat di seluruh alam. [101][]
Ahmadiyah:
Bentuk Kenabian Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as
Diatas
telah dijelaskan, Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad as, adalah sufi besar abad XIV, orang yang fana fillah dan fana fir-Rasul Saw. Ke-fana-annya kepada Nabi Muhammad Saw, telah memungkinkan
beliau mendapat amanat sebagai Mujaddid, Imam Mahdi,
dan manifestasi Isa ibnu Maryam Yang Dijanjikan (Masih Mau’ud), dan mencapai maqam-maqam
rohani tertinggi: sebagai putra rohani, sebagai pewaris haqiqi
Nabi Muhammad Saw, sebagai: ummaty – pengikut sejati, dhilly - bayangan,
buruzy - cerminan, madhar kamil Muhammad – penampakan sempurna Nabi
Muhammad Saw, sebagai manifestasi kedatangan kedua kali Nabi Muhammad Saw,
dan mendapat kehormatan mengenakan jubah
kenabian Nabi Muhammad Saw, serta banyak mendapat anugerah pengalaman spiritual:
mukallamah mukhathabah Ilahiyah.
Jubah kenabian yang
dikenakan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, adalah jubah kenabian Nabi Muhammad Saw. Karena itu, jika dalam berbagai tulisannya beliau mengemukakan diri
sebagai nabi, kenabian yang beliau maksud, bukan kenabian mustaqil (nabi
haqiqi) - berdiri sendiri, terpisah dari Islam dan Nabi Muhammad Saw,
melainkan kenabian ghairi tasyri-ghairi mustaqil (nabi
dhilly) – tidak membawa syari’at, tidak berdiri sendiri, tidak
terpisahkan dari kenabian Nabi Muhammad Saw.
Kenabian Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, adalah
kenabian yang dicapai melalui dan didalam Nabi Muhammad Saw,
melalui shirat-i-shiddiqi - jalan shiddiqiya, melalui jendela fana
fir-Rasul Saw - meleburkan diri secara sempurna dengan penuh kecintaan kepada
Rasulullah Saw.[102]
“Diriku sendiri tidak ada. Diriku
telah diliputi Nabi Muhammad Saw. Itulah sebabnya aku dinamakan
Muhammad dan Ahmad”, kata beliau dalam Ek Ghalati Ka Izalah, salah satu
buku karya tulisnya, terbit pada 1901.[103]
Hadhrat Mirza Ghulam
Ahmad as, tidak pernah memproklamirkan diri sebagai nabi baru, yang membawa
agama baru, kitab suci baru dan kalimah syahadat baru.
Dan, Jemaat Ahmadiyah,
juga tidak pernah meyakini Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, sebagai nabi baru,
yang membawa agama baru, kitab suci baru dan kalimah syahadat baru.
Jemaat Ahmadiyah meyakini dengan teguh,
karena Nabi Muhammad Saw adalah Khaatamun-Nabiyyin,
maka sesudah Nabi Muhammad Saw. tidak akan ada lagi nabi baru,
yang membawa agama baru, kitab suci baru dan kalimah syahadat baru.
Sungguh, sangat keliru,
dan salah sama sekali, jika ada yang mengatakan beliau adalah nabi baru ke-26,
yang membawa agama baru, kitab suci baru dan kalimah syahadat baru. Mereka yang
mengatakan, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, adalah nabi baru, yang membawa agama
baru, kitab suci baru dan kalimah syahadat baru, tidak paham Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, dan tidak paham
Ahmadiyah.
Bagi Ahmadiyah, meyakini ada lagi nabi baru, yang
membawa agama baru, kitab suci baru, kalimah syahadat baru, adalah sebuah
kekufuran yang sekufur-kufurnya dan kesesatan yang sesat-sesatnya serta
menyimpang dari pokok ajaran Islam. Keyakinan Ahmadiyah ini final
dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.[]
Ahmadiyah: Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Menolak
Disebut Nabi Yang Membawa Agama dan Syariat, Berdiri Sendiri, Terpisah Dari Islam.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah,
menolak disebut nabi yang membawa agama dan syariat, nabi yang berdiri sendiri
(mustaqil)
– terpisah dari Islam dan Rasulullah Saw.
Hadhrat Ahmad bersabda :
“Tuduhan
yang dilemparkan kepada saya ialah bahwa bentuk kenabian yang saya akui buat
diri saya menyebabkan saya keluar dari Islam. Dengan perkataan lain saya
dituduh mempercayai bahwa saya adalah nabi yang berdiri sendiri, seorang nabi
yang tak perlu mengikuti Al-Quran Suci, dan bahwa kalimah saya lain dan qiblat saya berubah. Juga saya
disangkakan menghapus syari’at dan
memutuskan tali kesetiaan kepada Nabi Muhammad Saw. Tuduhan itu sama sekali palsu.
Sesuatu pengakuan kenabian seperti itu
adalah kufur; ini
jelas. Bukan hanya kini, tetapi dari sejak permulaan sekali, saya selalu
mengemukakan dalam buku-buku saya, bahwa saya tidak mengakui kenabian seperti itu
untuk saya. Itu sama sekali adalah tuduhan kosong dan suatu cercaan terhadap
saya. Keadaan sebenarnya hanyalah ini: Bila saya menyebutkan diri saya seorang
nabi, saya maksudkan hanya bahwa Allah swt, berbicara dengan saya dan Dia
bercakap-cakap dengan saya dan menerima pengabdian saya, dan mewahyukan kepada
saya hal-hal ghaib, dan membukakan kepada saya rahasia-rahasia yang berhubungan
dengan masa datang dan yang tidak akan Dia bukakan kepada seseorang yang tidak
Dia cintai dan dekat kepada-Nya. Sesungguhnya, Dia mengangkat
saya sebagai nabi, dalam arti itu”.[104][]
Ahmadiyah: Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Menentang
Kehadiran Nabi Baru
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jemaat Ahmadiyah,
sangat menentang dan menolak kehadiran nabi baru, yang membawa agama baru, syari’at
baru, mustaqil – independen, berdiri
sendiri, terpisah dari Islam dan Nabi Muhammad Saw, yang dalam istilah lain beliau
disebut: nabi hakiki.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as:
“Akidah
kami adalah, seseorang yang mendakwakan kenabian secara hakiki dan melepaskan dirinya dari karunia/berkat-berkat Rasulullah
SAW, serta memisahkan diri dari mata air suci itu, lalu dia ingin secara
langsung menjadi nabi Allah, berarti dia itu sesat dan tidak beragama.
Dan orang
seperti itu akan membuat suatu kalimat syahadat tersendiri dan akan menciptakan
cara baru dalam peribadatan serta akan mengadakan perubahan dalam hukum-hukum.
Jadi, tidak disangsikan lagi, dia adalah saudara
bagi Musailamah Kadzzab.
Dan,
tidak diragukan lagi sedikitpun mengenai kekafirannya.
Mengenai
orang bejad seperti itu bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa dia mempercayai
Quran Syarif”.[105]
“Barangsiapa
berkata sesudah Rasulullah SAW., bahwa ‘Aku adalah nabi dan rasul dalam makna hakiki’, sedangkan dia berdusta dan dia
meninggalkan Al-Quran serta hukum-hukum Syari’at yang mulia (Al-Quran), berarti
dia kafir dan pendusta”.[106][]
Ahmadiyah:
Teologi Kenabian Ahmadiyah
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jemaat Ahmadiyah,
mengemukakan sebuah teologi kenabian yang sebelumnya belum pernah dikemukakan
para ulama Islam pada umumnya. Menurut beliau, Nabi terdiri dari dua macam,
yakni: nabi tasyri’ dan nabi ghairi tasyri’.[107] Menurut
beliau lagi, nabi tasyri’ mempunyai satu corak, yaitu: mustaqil. Sedangkan nabi ghairi tasyri’, mempunyai dua corak, yaitu: mustaqil dan ghairi mustaqil.[108]
Nabi tasyri’ dan nabi ghairi tasyri mustaqil, dalam
istilah lain Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, disebut nabi haqiqi.
Sedangkan
nabi ghairi tasyri ghairi mustaqil dalam
istilah lain Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, disebut nabi ummaty, nabi dhilly, nabi buruzy.
Disebut nabi ghaiiri tasyri’-ghairi mustaqil, karena ia tidak membawa syariat dan tidak berdiri sendiri, menjadi nabi semata-mata
karena mengikut,
karena ketaatan kepada nabi (dalam hal ini Nabi Muhammad Saw).
Disebut
Nabi Ummaty,
Nabi Dhilly, Nabi Buruzy, karena
kepengikutan, ketaatan, kefanaannya yang sempurna tiada lagi hijab yang
membatasi sehingga ia menjadi pengikut sejati, menjadi bayangan dan cerminan
dari Nabi Muhammad Saw.
Semua nabi, mulai dari Adam as, hingga Nabi
Muhammad Saw, menurut Pendiri Jamaah Ahmadiyah, semuanya mustaqqil - independen, berdiri sendiri, menjadi nabi
bukan karena mengikut nabi sebelumnya, melainkan karena potensi, karena quad qudsiyah
– daya pensucian yang yang dimiliki dirinya, sehingga Allah mengangkatnya
sebagai nabi.
Nabi tasyri’ dan nabi
ghairi tasyri’ mustaqil (nabi haqiqi), menurut Pendiri Jamaah Ahmadiyah,
pintunya sudah tertutup rapat, putus, habis, telah berakhir, dan tidak akan ada
lagi, karena Nabi Muhammad Saw, adalah Khaatamun-Nabiyyiin,[109]
dan Islam adalah agama yang paripurna dan lengkap.[110]
Kenabian yang mungkin bisa datang sepeninggal Nabi Muhammad Saw,
adalah kenabian ghaiiri tasyri’ ghairi mustaqil (nabi dhilly).[111] Kenabian jenis ini bisa dicapai, bisa datang, tetapi harus melalui
dan didalam Nabi Muhammad Saw, melalui jendela Fana Fir-Rasul, melalui pintu penyerahan, pintu fana,
pintu ittiba’i, seluruhnya kedalam Nabi Muhammad Saw.
Bentuk kenabian seperti
ini, menurut Pendiri Ahmadiyah, jika datang, tidak akan mengurangi martabat Nabi
Muhammad Saw, sebagai Khaatamun-Nabiyyin,
dan tidak akan merusak Segel Khaatamun-Nabiyyin”
Nabi Muhammad Saw. Sebab, pada hakikatnya, kenabian seperti ini bukan kenabian
dia lagi, melainkan kenabian Rasulullah Saw, juga yang zahir dalam satu cara yang baru.
Wujud mereka bukan wujud mereka lagi. Dalam kaca kefanaan mereka terbayang
wujud Yang Mulia Rasulullah Saw.
Kenabiannya, bukan karena dirinya, melainkan karena mata air dari Nabi-nya.
Kenabiannya, bukan untuk dirinya, melainkan untuk keperkasaan Nabi-nya Saw. [112]
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as:
“Akan tetapi jika seseorang
yang benar-benar telah bersatu meleburkan dirinya dalam “khaataman nabiyyiin,” menghilangkan usaha pemisahan dirinya
serta menjadi pantulan dari semua keindahan dan kesempurnaan Nabi Muhammad
s.a.w. bagaikan cermin yang bersih, ia akan disebut nabi tanpa memecahkan (merusak) Meterai milik Nabi s.a.w.,
karena ia adalah cerminan gambar Muhammad dan Muhammad sendiri dalam bentu
dhilly (bayangan).[113]
“Ringkasnya,
kenabian dan kerasulan saya adalah berdasarkan kedudukan sebagai Muhammad Saw, dan Ahmad Saw, bukan
berdasarkan diri saya sendiri. Dan nama itu saya peroleh karena Fana Fir Rasul Saw, (mabuk dalam kecintaan terhdap
Rasulullah Saw). Oleh karena itu makna
khaataman-nabiyyin tidak terganggu”.[114]
“Ya, ini
pun hendaknya harus diingat dan jangan sekali-kali dilupakan, yakni Walaupun
saya dipanggil dengan kata nabi dan rasul, kepada saya telah diberitahukan oleh
Allah bahwa segenap karunia/berkat itu bukan tanpa perantara telah turun pada
saya, melainkan di Langit terdapat satu wujud suci yang berkat-berkat rohaninya
telah meliputi diri saya, yakni Muhammad Musthafa shalallaahu ‘alaihi wasallam.
Dengan menjunjung perantaraan (hubungan) itu, dan dengan menyatu didalamnya,
dan dengan menyandang namanya – Muhammad dan Ahmad, saya juga adalah seorang
rasul dan seorang nabi. Yakni, saya telah diutus dan saya juga telah memperoleh
kabar-kabar ghaib. Dan dengan cara demikian, stempel/segel Khaataman-Nabiyyin
tetap terpelihara. Sebab saya telah memperoleh nama itu secara pantulan dan bayangan melalui cermin kecintaan. Jika ada orang yang murka atas
wahyu Ilahi ini, yakni mengapa Allah Ta’ala menamakan saya sebagai nabi dan
rasul, berarti itu kebodohannya. Sebab dengan kedudukan saya sebagai nabi dan
rasul (seperti itu), tidak meruntuhkan stempel/segel Allah”.[115]
“Jika
saya bukan umat Rasulullah SAW., dan tidak mengikuti beliau SAW., maka Walaupun
amal-amal saya sama dengan segenap gunung di dunia ini, tetap saja saya
sekali-kali tidak akan pernah memperoleh anugerah mukaalamah mukhaatabah. Sebab, sekarang selain kenabian Muhammad SAW.,
segenap kenabian telah tertutup”.[116]
“Dan aku bersumpah atas nama Dia bahwa seperti Dia telah bermukaalamah-mukhaathabah dengan
Ibrahim as, kemudian dengan Ishak as, dan dengan Yusuf as, dan dengan Musa as,
dan dengan Masih Ibnu Maryam as, dan sesudah beliau-beliau itu dengan Nabi kita
Muhammad Saw, yang demikian rupa keadaannya hingga kepada beliau telah turun
wahyu yang paling cemerlang dari semuanya dan paling suci pula. Begitu pula Dia
telah menganugerahkan kehormatan mukaalamah-mukhaathabah
kepada diriku.
Akan tetapi kehormatan ini kuperoleh hanya
semata-mata karena mengikuti Rasulullah Saw. Seandainya aku bukan umat Rasulullah
Saw. dan tidak mengikuti beliau, maka sekiranya ada amal-amalku besarnya
seperti sejumlah gunung-gunung, namun demikian sekali-kali aku tidak akan
mendapat kehormatan mukallamah
mukhatabah itu. Sebab, pada waktu sekarang, kecuali kenabian Muhammad,
semua kenabian sudah tertutup. Nabi
yang membawa syariat tidak dapat datang lagi, akan tetapi nabi yang
tidak membawa syariat adalah mungkin, namun syaratnya ialah ia ummati (bukan dari umat lain).
Ringkasnya, atas dasar itu, aku adalah ummati lagi nabi. Dan kenabianku, yakni mukaalamah-mukhaathabah Ilahiyah adalah bayangan dari kenabian Rasulullah Saw dan tanpa itu kenabianku
tiada artinya”.[117]
Teologi kenabian yang dikemukakan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, jika dituangkan dalam bentuk diagram, dapat dikemukakan, sbb :
Kedudukan
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, jika dituangkan dalam bentuk diagram adalah sbb:
Semoga
menambah pencerahan dan bermanfaat.[]
Tasikmalaya, 23
Nopember 2014/Shafar 1436H
[1] Disajikan dalam Focus Group Discussion ISAIs UIN Sunan Kalijaga-Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta, di Ruang Pertemuan Gedung Rektorat Lt. 1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis, 27/11/2014.
[2] Mirza Ghulam Ahmad, Bahtera
Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2010, hal. iii
[3] Al-Quran Surah Ash-Shaf, 61:7 (Kutipan ayat
Al-Quran dalam makalah ini diambil dari Al-Quran yang mencantumkam Bismillah sebagai ayat 1 pada setiap
suratnya, dari Al-Fatihah hingga An-Nas kecuali surat At-Taubah. Oleh karena
itu kutipan ayat dalam makalah ini selisih satu angka dengan ayat Al-Quran yang
beredar pada umumnya. Misal, Surah Ash-Shaf, 61:7, dalam Al-Quran
umumnya, berarti: Surah Ash-Shaf, 61:6).
[4] Al-‘aqib,
nabi yang terakhir datang, juga berarti yang mengakhiri kenabian, yakni
mengakhiri kenabian mandiri (mustaqil), yang membawa syari’at maupun
yang tidak membawa syari’at (tasyri’ –
ghairi tasyri’ mustaqil). Dengan kedatangan Nabi Muhammad saw, kenabian tasyri’ mustaqil atau pun ghairi tasyri’
mustaqil telah berakhir. Sesudah Nabi Muhammad saw, kini tiada nabi lagi
kecuali yang secara buruzi
(bayangan), dikenakan jubah kenabian Nabi Muhammad saw.
[5] H.R. Bukhari dan Muslim
[6] Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad, Ruhani Khazain, Jld 15, hal. 526-528, Darsus|Volume
VII, Nomor 2-3, Edisi Februari-Maret 2012
[7] Hadhrat
Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Da’watul Amir Seruan Kepada Kebenaran,
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2007, hal. 1-2
[8] Mirza
Ghulam Ahmad, Anjami Atham, hal. 143
[9] Mirza Ghulam
Ahmad, Maktubaat-e-Ahmadiyyah, jld.5, No. 4
[10] Mirza Ghulam
Ahmad, Bahtera Nuh, hal. 20-21
[11] Al-Quran Surah An-Nisa,
4:95
[12] H.R. Muslim, Bab Kitabul Iman, HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Turmudzi,
Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal
[13] Mirza
Ghulam Ahmad, Anwarul-Islam, hal.
34
[14] Mirza Ghulam Ahmad, Izalah
Auham, 1891, hal.137
[15] Mirza Ghulam Ahmad, Anjami
Atham, hal. 143
[16] Mirza Ghulam Ahmad, Ruhani Khazain, Jld 14,
Ayyamul Suluh, hal. 323
[17] Mirza Ghulam Ahmad, Mawahiburrahman, hal. 315
[18] Al-Quran Surah Al-Ikhlas, 112:1-5
[19] Al-Quran Surah Al-Baqarah, 2:256
[20] Al-Quran Surah Al-Fatihah, 1:2-4
[21] Al-Quran Surah Al-Hasyr, 59:23-25
[22] Mirza Ghulam
Ahmad, Bahtera Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2010, hal. 15-16
[23] Mirza Ghulam Ahmad, Syarat-Syarat Bai’at Dalam Jemaat
Ahmadiyah, butir
ke-1 dan ke-5, Isytihar
Takmil Tabligh, 12 Januari 1889
[24] Al-Quran Surah Al-A’la, 87:19-20
[25] Al-Quran Surah Al-Maidah, 5:45, Al-Mukmin, 40:54
[26] Al-Quran Surah Bani Israil, 17:56, An-Nisa, 4:164
[27] Al-Quran Surah Al-Maidah, 5:47, Al-Hadid, 57:28
[28] Al-Quran Surah Al-Maidah, 5:49, Al-Waqi’ah, 56:78-81
[29] Mirza
Ghulam Ahmad, Al-Wasiyat, Jemaat
Ahmadiyah Indonesia 2006, hal. 24
[30] Maktubaat-e-Ahmadiyyah, jld.5, No.
4
[31] Mirza Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2010, hal. 20-21
[32] Mirza Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2010, hal. 40-41
[33] Mirza Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2010, hal. 41-42
[34] Mirza Ghulam Ahmad, Syarat-Syarat Bai’at Dalam Jemaat Ahmadiyah, butir ke-1 dan ke-5, Isytihar Takmil Tabligh, 12 Januari 1889
[35] Al-Quran Surah An-Nisa, 4:165, Al-Mukmin,
40:79
[36] Musnad Ahmad
bin Hambal, hal. 266
[37] Al-Quran Surah Ali
Imran, 3:85, Al-Baqarah, 2:137,
dan 286
[38] H.R. Abu
Dawud, dalam Misykatul Mashãbih, hal. 36
[39] Shahih
Bukhari 4/356, Shahih Muslim 2/189,192, Imam Jalaluddin
Abdur Rahman As Suyuti, Turunnya Isa bin Maryam Pada Akhir Zaman, CV. Hajji
Masagung, Jakarta 1990, hal. 58
[40] Ibid
[41] H.R. Musnad
Ahmad bin Hambal, Jld. II, hal. 411
[42] Al-Quran Surah Ali Imran, 3:49
[43] Al-Quran Surah Al-Maidah, 5:116-117, Ali Imran,
3: 144, dan Kanzul ‘Ummal,
Alauddin Alhindi, Muassatur Riaslah, Beirut 1989, Jld IX, hal. 479
[44] Shahih
Bukhari, 6/358, Shahih Muslim, 2/193, Musnad Ahmad,
1/336, Sunan Baihaqi, /424, Imam Jalaluddin Abdur Rahman As Suyuti, Turunnya
Isa bin Maryam Pada Akhir Zaman, CV. Hajji Masagung, Jakarta 1990, hal. 58
[45] Lihat, Az-Zuhruf,
43:57
[46] Berkenaan dengan
kedatangan seorang nabi sesudah Nabi Muhammad saw, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad
as, mengatakan: “Saya dengan sangat yakin dan dengan pendakwaan mengatakan
bahwa potensi-potensi nubuwwat/kenabian telah berakhir pada wujud
Rasulullah saw. Orang yang menegakkan suatu silsilah baru menentang beliau saw, lalu
memaparkan suatu kebenaran dan yang meninggalkan mata air kenabian itu, adalah
pendusta dan penipu. Saya katakan dengan sejelas-jelasnya bahwa terkutuklah
orang yang meyakini orang lain di luar Rasulullah saw sebagai nabi sesudah
Rasulullah saw, dan yang merubuhkan Khaatamun-Nubuwwat beliau saw. Itulah
sebabnya sesudah Rasulullah saw, tidak bisa datang lagi nabi yang tidak
memiliki cap/stempel kenabian Muhammad saw.” (Al-Hakam, 10 Juni 1905,
hal. 2, Mahzarnamah : 81-82)
[47] Al-Quran Surah
Al-A’raf, 7:157
[48] Mawahibur-Rahman, hal. 116
[49] Mir’aati Kamaalaatil
Islam, hal. 388
[50] Tuhfatu Baghdad, hal.
25
[51] Syarat-Syarat Bai’at Dalam Jemaat Ahmadiyah, butir ke-3, Isytihar Takmil Tabligh, 12 Januari 1889
[52] Mirza Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2010, hal. 22-23
[53] Masroor
adalah nama Imam Jemaat Ahmadiyah, Khalifatul Masih V ke-5 saat ini. Nama
lengkapnya, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, atba – ayadahullaahu ta’ala
binashrihil aziz.
[54] Mirza
Ghulam Ahmad, Syarat-Syarat Bai’at Dalam
Jemaat Ahmadiyah, Isytihar Takmil Tabligh, 12 Januari 1889
[55] Musnad Ahmad, juz 4,
hal. 126-127, Sunan Abu Dawud, Kitabus Sunnah, juz 4, hal.
200-201, hadits nomor 4607.
[56] Syarat-Syarat Bai’at Dalam Jemaat Ahmadiyah, butir ke-3, Isytihar Takmil Tabligh, 12 Januari 1889
[57] Al-Quran Surah
Al-Baqarah, 2:186
[58] Al-Quran Dengan
Terjemah dan Tafsir Singkat, Neraca Press 2014, hal. 132, catatan kaki no. 207A
[59] Hadhrat Mirza Ghulam
Ahmad, Al-Hakam, 10 Desember 1902, Nur Islam, Juni 2014, hal. 15-16
[60] Al-Quran Surah An-Najm, 53:9-10
[61] Al-Quran Surah Al-Qadr, 97:4
[62] Mirza Ghulam
Ahmad, Bahtera Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2010, hal. 22
[63] Al-Quran Surah Al-Baqarah, 2:44, lihat juga: Surah An-Nur, 24:57, Surah Al-Haj, 22:79, dll
[64] Al-Quran Surah Ha Mim As-Sajdah, 41:8
[65] Al-Quran Surah At-Taubah, 9:103,
[66] Al-Quran Surah At-Taubah, 9:60
[67] Lihat, Al-Quran Dengan Terjemah dan Tafsir Singkat, Neraca Pres 2014, hal.
1197-1198, catatan kaki no. 1981
[68] Al-Quran Surah Al-Baqarah,
2:196, 255, Surah Al-Saff, 61:11-12,
dll
[69] Al-Quran Surah Al-Baqarah,
2:4
[70] Al-Quran Surah Al-Baqarah,
2:197
[71] Mirza Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2010, hal. 22
[72] Lihat, http://www.indonesiamedia.com/2011/03/13/ahmadiyah-dilarang-berhaji-ke-mekah/ http://inpasonline.com/new/karena-dianggap-kafir-saudi-larang-ahmadiyah-berhaji/, dll.
[73] Photo banner dan Copy
Selebaran Bank Syari’ah Mandiri terlampir
[74] Shahih Bukhari, 6/358, Shahih Muslim, 2/193, Musnad Ahmad,
1/336, Sunan Baihaqi, /424, Imam Jalaluddin Abdur Rahman As Suyuti, Turunnya
Isa bin Maryam Pada Akhir Zaman, CV. Hajji Masagung, Jakarta 1990, hal. 58
[75] Lihat, Az-Zuhruf, 43:57
[76] Lihat, Pendapat Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as,
tentang kedatangan Nabi sepeninggal Nabi Muhammad saw, dalam catatan kaki no.
46 makalah ini.
[77] Untuk memudahkan
memahami konsep ini, silahkan buka Al-Quran Surah
At-Tahrim, 66:11-13
[78] Sunan Ibnu Majah, Darul Fikr, tt, jld. II, hal. 362, H. Mahmud
Ahmad Cheema H.A. Tiga Masalah Penting,
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2001, hal. 44
[79] Akhbaarul ‘Alamil Islaami, 21
Muharram tahun 1400 Hijriyah, hal. 7, Kami Orang
Islam, Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2007, hal. 75
[80] Lawami’ul-Anwaril-Bahiyah, 1882, Juz II, hal. 84
[81] Ahkam al Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam, LTN-NU-Khalista, Cet. Ketiga, Pebruari 2007: 47-48, Pengantar : DR. KH.
MA. Sahal Mahfudh, Ketua Umum Majlis ‘Ulama Indonesia (MUI).
[82] Windon Nomer “Mutiara”, Madjlis H.B.
Moehammadiyah Taman Pustaka, Pebruari 1940/Moeharram 1359 Th. Ke IX, hal.
32-34, Sinar Islam, Edisi Juli 1985,
hal. 26-27
[83] Tahun 2005, MUI menegaskan
kembali fatwa 1980, yang menyatakan Ahmadiyah berada diluar Islam, sesat dan
menyesatkan, dan orang Islam yang mengikutinya murtad (keluar dari Islam). Lihat, Fatwa dan Syarah Fatwa MUI hasil
Munas MUI 2005, tentang : Aliran Ahmadiyah, http/www.mui.or.id
[84] H.R. Bukhari,
Kitabul Shalat, Bab Fadhlistiqbaalil Qiblah
[85] Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad, Izalah Auham,
1891,
hal. 137
[86] Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad, Tuhfatu Baghdad : 23
[87] Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad, Taqrir wajibul I’lan, 1891
[88] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Al-Hakam,
10 Juni 1905, hal. 2
[89] Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad, Hakikatul Wahyu, hal. 27-28
[90]Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad, Al-Wasiyat,
hal. 24-27
[91] Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad, Anjam-e-Atham, catatan kaki, hal. 27-28
[92] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Tajalliyat-i Ilahiyah, 1906, hal. 20
[93] Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad, Ek Ghalti ka Izala, 1901, hal. 3
[94] Hadhrat
Mirza Ghulam Ahmad, Tajalliyat-i-Ilahiyah,
1906, hal. 9
[95] Mahzarnamah, Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat
Ahmadiyah, Islam International Publikacations 2002, hal. 86
[96] Mahzarnamah, Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat
Ahmadiyah, Islam International Publications 2002, hal. 86
[97] Mirza Ghulam Ahmad, Ek Galati Ka Izalah : 6, Mahzarnamah Penjelasan/Pembuktian Akidah
Jemaat Ahmadiyah, Islam International Publications 2002 : 90
[98] Pasca fatwa
MUI 2005, KH Amidhan, Ketua MUI Pusat, dalam berbagai kesempatan dialog di Televisi
berulang-ulang mengatakan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, adalah nabi baru,
bahkan disebutnya sebagai nabi baru ke-26
[99] Keyakinan
akan datangnya Isa ibnu Maryam di akhir zaman adalah keyakinan umum umat Islam,
bukan monopoli keyakinan Ahmadiyah. Lihat, Ahkam al Fuqaha, Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam, Diantama-LTN-NU, Cet. Ketiga, Pebruari 2007:
47-48, Pengantar: KH. M.A.
Sahal Mahfudz, Ketua Umum Majlis ‘Ulama Indonesia.
[100] Al-Quran
menubuwatkan Nabi Muhammad saw, akan diutus dua kali. Pertama, diutus kepada
kaum umiyyin, dan kedua, diutus kepada kaum akharin yang belum pernah bertemu dengan mereka kaum umiyyin.
(Al-Jum’ah, 62:4).
Kedatangan pertama, kepada kaum umiyyin,
adalah beliau sendiri langsung, haqiqi Muhammad. Sedang kedatangan kedua,
kepada kaum akharin, bukan beliau sendiri, tetapi akan diwakili oleh wakil agung beliau yang
menjadi bayangan beliau, dhilly Muhammad. Alquran dan hadis kedua-duanya sepakat,
nubuwat ayat ini menunjuk kepada kedatangan kedua kali Nabi Muhammad saw, di
akhir zaman, dalam wujud Hadhrat Masih Mau’ud as, yang menjadi dhilly Muhammad.
[101] Lihat, Al-Anbiya,
21:108
[102] Lihat,
Mirza Ghulam Ahmad, Ek Galati ka Izalah, hal. 5-6.
[103] Lihat,
Mirza Ghulam Ahmad, Ek Galati ka Izalah, hal. 27
[104] Mirza Ghulam Ahmad, Akhbar-i-Am, 26 Mei 1908 : 7; Tabligh-i-Risalat,
t.t. : 132-134
[105] Mirza Ghulam Ahmad, Anjam-e-Atham, catatan kaki, hal. 27-28, Mahzarnamah, hal. 84
[106] Mirza Ghulam Ahmad, Anjam-e-Atham,
catatan kaki, hal. 27-28, Mahzarnamah, hal. 84
[107] Nabi Tasyri’ artinya Nabi yang membawa syari’at, dan Nabi Ghairi Tasyri’ artinya Nabi yang tidak membawa syari’at.
[108] Mustaqil artinya berdiri sendiri, menjadi nabi bukan karena
mengikut nabi sebelumnya, melainkan karena potensi, karena quad qudsiyah – daya pensucian yang dimiliki dirinya, sehingga
Allah menganugerahi pangkat Nabi.
Sedangkan Ghairi Mustaqil ialah Nabi
yang tidak berdiri sendiri, menjadi nabi semata-mata karena ketaatan kepada
seorang nabi, dan karena mengikut nabi.
[109] Lihat, Al-Ahzab, 33:40
[110] Lihat, Al-Maidah, 5:3
[111] Lihat, janji Allah didalam
Al-Quran Surah An-Nisa, 4:70-71
[112] Mirza Ghulam Ahmad,
Al-Wasiat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2006 : 26
[113] Mirza Ghulam Ahmad, Ek
Ghalati Ka Izalah, Alih
bahasa. M.A. Suryawan, hal. 9-10
[114] Mirza Ghulam Ahmad, Ek Ghalati Ka Izalah, sekarang dalam Mazharnamah, hal. 87
[115] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Ek Ghalati Ka Izalah, hal. 6-7, Mahzarnamah, hal. 84-85
[116] Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Tajalliyat-e-Ilahiyyah, hal. 24-25, Mazharnamah, hal. 94
[117] Hadrat Mirza Ghulam Ahmad,
TajalliyatiIlahiyyah/Penampakan Kebesaran Tuhan, hal. 38-39