Sabtu, 10 Januari 2009

Masa Depan Kebebasan Beragama Di Indonesia

MASA KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

Oleh : M. Syaeful 'Uyun *

Kebebabasan Beragama Dibawah Naungan Pancasila

PANCASILA bukanlah idiologi samawi yang lahir berdasarkan Wahyu Allah. Pancasila adalah idiologi yang lahir murni berdasarkan buah pikiran manusia, Ir. Soekarno, Proklamator, Bapak Bangsa, dan Pendiri Republik Indonesia.

Tetapi, bagi seorang ‘arif billah, yang mengetahui, pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, dan tiada sehelai daun pun yang gugur kecuali dengan seizin dan sepengetahuan-Nya (Al-‘An’am, 6:60), lahirnya idiologi Pancasila, bisa juga dikatakan sebagai qodrat dan iradat Allah, bahkan ilham yang diberikan Allah kepada Bapak Bangsa Indonesia itu. Tidak heran, jika Pancasila, sarat dengan nuansa Idiologi ajaran samawi, sesuai dengan hajat hidup Bangsa Indonesia, dan sesuai dengan hati nurani dan jiwa bangsa Indonesia. Dan, tidak heran pula, jika Hadhrat Mirza Thahir Ahmad, Imam Jamaah Ahmadiyah IV, r.h., menyebut Pancasila sebagai The Golden Principal – prinsip emas, tidak dimiliki negara berlabel Kerajaan/Republik Islam sekalipun.

Dibawah naungan Pancasila, kebebasan beragama di Indonesia, sesungguhnya mempunyai masa depan yang cerah, dan bisa diharapkan dapat diwujudkan. Sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, mengisyaratkan:

  1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketawkaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Membina kerukunan hidup diantara sesama umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan diyakininya.
  6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
  7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

Kebebasan beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih berpeluang lagi untuk dapat diwujudkan karena UUD Negara kita juga menjamin kebebasan beragama. UUD ‘45 Bab XI, Agama, Pasal 29 UUD ‘45, menyatakan :

(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Pasal ini merupakan jaminan negara atas kebebasan beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap penduduk, menurut UUD ‘45 ini, berhak memeluk agamanya, dan setiap pemeluk agama berhak beribadah – mengamalkan ajaran agamanya, seluas-luasnya -- secara kaaffah (Al-Baqarah, 2:208), sesuai dengan hukum – syariat, agamanya dan kepercayaannya masing-masing.***

Kebebasan Beragama Dibawah Naungan Islam

Islam adalah agama yang sejak awal telah mengakui kemajemukan – pluralisme, baik suku, bangsa, bahasa (Al-Hujurat, 49:13), juga agama (Al-Baqarah, 2:62).

Islam adalah agama yang memberikan kebebasan kepada setiap individu, mau mukmin atau kafir (Al-Kahfi, 18:29), dan menyatakan : tiada paksaan dalam agama (Al-Baqarah, 2:256; Yunus, 10:99), bagimu agamamu dan bagiku agamaku (Al-Baqarah, 2:139; Al-Qashash, 28:55; As-Syuura, 42:15; Al-Kaafiruun,109:1-6).

Islam, sangat menjungjung tinggi toleransi (Ali Imran, 3:61,64, At-Taubah, 9:6), melarang umatnya memaki dan mencela tuhan-tuhan lain yang disembah selain Allah (Al-‘An’aam, 6:108), dan tidak memperkenankan, melarang orang menyebut nama Allah di tempat-tempat ibadah (Mesjid), lebih-lebih merobohkan tempat ibadah (Mesjid) itu (Al-Baqarah, 2:114).

Islam juga sangat mengutamakan persaudaraan dan persamaan umat manusia (Al-Ahzab, 33:35). Pada peristiwa Haj terakhir, beberapa saat menjelang kewafatannya, dihadapan sejumlah besar Muslimin, Rasulullah SAW., berkhotbah:

“Wahai sekalian manusia! Tuhan-mu itu Esa dan nenek moyangmu satu jua. Seorang orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang bukan Arab. Seorang kulit putih sekali-kali tak mempunyai kelebihan atas orang-orang berkulit merah, dan begitu pula sebaliknya, seorang orang kulit merah tak mempunyai kelebihan apa juga pun diatas orang berkulit putih, melainkan kelebihannya ialah: sampai sejauh mana ia melaksanakan kewajibannya terhadap Tuhan dan manusia. Orang yang paling mulia diantara kamu sekalian pada pandangan Tuhan ialah yang paling bertakwa diantara kamu”. (Baihaqi)

Ini merupakan Magna Carta – piagam persaudaraan dan persamaan umat manusia. Khatbah Rasulullah SAW., ini, telah menumbangkan rasa dan sikap lebih unggul semu, yang lahir dari keangkuhan rasial atau kesombongan nasional.

Pluralisme Islam, Sebuah Model

Sesungguhnya, semua konsep keadilan, hak azasi manusia, kebebasan beragama dan pluralisme modern dijumpai penerapannya yang paling nyata di Madinah pada masa Rasulullah SAW,. Segera setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW., membuat perjanjian tertulis dengan kaum Yahudi dan kelompok lain, yang dikenal dengan Misaq Madinah atau perjanjian Madinah. Isi perjanjian Madinah itu, al :

  1. Kaum Muslimin dan Yahudi akan berhubungan satu sama lain atas dasar simpati dan keikhlasan serta tidak akan terlibat dalam suatu serangan atau berbuat salah terhadap satu sama lain.
  2. Semua kalangan masyarakat Madinah akan menikmati kebebasan beragama sepenuhnya.
  3. Jiwa dan harta benda setiap orang akan dilingdungi, dan akan dihormati, sesuai dengan ketetapan hukum dan peraturan.
  4. Semua masalah perbedaan akan diserahkan keputusannya kepada Nabi Suci SAW., dan akan ditetapkan oleh beliau menurut hukum dan adat dari masing-masing kalangan masyarakat Madinah.
  5. Tak akan ada kelompok yang akan pergi berperang tanpa izin Nabi Suci SAW,.
  6. Dalam hal (jika ada) serangan terhadap kaum Yahudi atau Muslimin, keduanya akan bekerja sama dalam menghadapi serangan musuh itu.
  7. Dalam hal (jika ada) serangan terhadap Madinah, semua golongan akan bekerja sama dalam menghadapinya.
  8. Kaum Yahudi dengan cara apa pun tidak akan membantu Quraisy atau menyediakan penampungan atau pelayanan untuk mereka.
  9. Semua golongan akan bertanggungjawab pada perbekalan dan biayanya sendiri.
  10. Tak ada apa pun dalam persetujuan itu akan memberikan kekebalan pada orang yang berbuat salah atau pelaku dosa atau pembangkang.

(Muhammad, Seal of the Prophets, by Sir Muhammad Zafrullah Khan, Routledge & Kegan Paul, London, 1980, pp. 88-89).

Butir-butir perjanjian Madinah ini menunjukan: seluruh penduduk Madinah terdiri atas agama, adat dan kebiasaan yang berbeda, menyatakan sebagai satu ummah atau bangsa. Semua warga Madinah (pria dan wanita) mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama serta kebebasan beragama yang sama. Semua warga Madinah menerima tanggungjawab bersama untuk pertahanan menghadapi serangan dari luar. Syariat Islam tidak diberlakukan atas non-Muslim, dan urusan-urusan mereka diputuskan menurut syariat atau adat mereka sendiri seperti yang mereka inginkan.

Inilah hakikat masyarakat majemuk (pluralistik), yang berdasarkan pada keadilan, yang melindungi hak-hak azasi dari semuanya (termasuk perlindungan jiwa, harta benda, tempat-tempat ibadah dan hak untuk kebebasan beragama). Penduduk Madinah – Muslim dan non-Muslim, adalah dua golongan agama berbeda, yang disatukan dalam satu bangsa secara politik. Ibnu Hisyam mencatat: “Wa inna Yahuda Bani Aufa, Ummatan ma’al Mu’minin. Lil Yahudi in dinahum, wa lil Mu’miniina dinahum” – Dan Yahudi dari Bani Auf akan menjadi satu bangsa dengan kaum Muslimin; untuk Yahudi agama mereka, dan untuk Muslimin agama mereka.

Penduduk Indonesia, mayoritas memeluk agama Islam. Dengan konsep dan model pluralisme Islam seperti diatas, kebebasan beragama di Indonesia, berpeluang besar untuk dapat diwujudkan dalam bentuknya yang sempurna dan utuh. Umat Islam, sebagai umat terbaik (Ali Imran, 3:110), dengan sepirit ajaran agamanya, tidak hanya hidup rukun dengan saudara seagamanya, tapi juga dimungkinkan dapat menjadi pelopor dalam menciptakan kerukunan hidup beragama dengan pengikut agama-agama lainnya. Para pemeluk agama pun, dapat menjalankan kegiatan keagamaanya dengan damai, tanpa rasa was-was dan cemas.***

Potret Kebebasan Beragama Di Indonesia

Tetapi, bekal idiologi Pancasila, UUD ‘45, dan sepiritual Islam, tampaknya belum cukup mengantarkan Bangsa Indonesia kepada kebebasan beragama dan kerukunan antar dan inter umat beragama, dalam perjalanan selama 61 tahun Indonesia merdeka. Fatwa MUI (1980 dan 2005 = 2 x dalam 25 tahun), yang menyatakan Ahmadiyah berada diluar Islam, sesat dan menyesatkan, dan meminta pemerintah untuk menutup pusat-pusat kegiatan Ahmadiyah dan membubarkan Ahmadiyah, adalah contoh kasus dari pemberangusan kebebasan beragama dan beribadah menurut ajaran agama dan kepercayaanya.

Fatwa MUI telah melahirkan dua ekses, pada elit ataupun pada tataran akar rumput : 1) Opini/wacana publik bahwa Ahmadiyah bukan Islam. 2) Sikap antipati terhadap Ahmadiyah, yang kelak menjadi anarki. Puncak ekses ke dua ini, terjadi Juli 2005 hingga Pebruari 2006, sepanjang lebih kurang 8 bulan. Sekelompok orang yang mengatasnamakan umat Islam Indonesia, melakukan penyerangan, pengrusakan, penghancuran, pembakaran, penutupan pusat-pusat kegiatan: Mesjid, Kantor, Gedung pertemuan, dan rumah-rumah warga Ahmadiyah, tidak ketinggalan juga penjarahan terhadap harta benda milik warga Ahmadiyah, di Bogor, Cianjur, Majalengka, Kuningan, Lombok, dan Bulukumba. Di Selong, Lombok Timur, dan di Ketapang, Lombok Barat, NTB, selain rumah-rumahnya dibakar, warga Ahmadiyah juga diusir dari kampung halamanya. Lebih 200 jiwa warga Ahmadiyah, sekarang terpaksa harus menghuni Asrama Transito, NTB, tempat penampungan sementara mereka, sejak Pebruari 2006 lalu.

Ironisnya, kelompok pelaku anarkis terhadap Ahmadiyah, dibiarkan saja tanpa proses hukum. Dan, ironisnya lagi, Pemerintah yang diberi amanah mengawal dan mengamalkan Pancasila dan UUD ‘45, membiarkan saja MUI yang menyuruh Pemerintah melangar Pancasila dan UUD ‘45. Oleh beberapa Pemda seperti Pemda Bogor, Sukabumi, Kuningan, Lombok, Bulukumba, Jeneponto, dan Gowa, bahkan direspons dengan cara menutup pusat-pusat kegiatan Ahmadiyah dan menerbitkan SK/SKB yang menyatakan melarang organisasi dan kegiatan Ahmadiyah.

Menteri Agama, Maftuh Basyuni, yang seyogiyanya menjadi wasit, justru ikut bermain dan menyatakan hal yang, bahkan lebih parah lagi dari MUI: “Islam hanya mengenal satu Tuhan dan satu Nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW,. Meyakini ada lagi nabi diluar itu, berarti dia bukan Islam. Ahmadiyah tidak dibenarkan keberadaannya di Indonesia, masalah Ahmadiyah akan selesai jika Ahmadiyah membuat agama baru, atau kembali kepada Islam dengan akidah tiada lagi Nabi sesudah nabi Muhammad SAW”.

Kelompok anarkis anti Ahmadiyah pun, merasa tindakannya mendapat dukungan dan pembenaran. “Ahmadiyah mau menggugat? Bismillah!, Dunia-akhirat akan saya hadapi”, kata Habib Abdurrahman Assegaf, Pimpinan Penyerangan terhadap Kampus Mubarak, Pusat Jamaah Indonesia, menjawab pertanyaan wartawan. Sikap diam Pemerintah dalam kasus ini diangap sebagai legitimasi, dan kekerasan terhadap Ahmadiyah dianggap menjadi legal dan halal. Inilah sekilas potret pemberangusan kebebasan beragama di Indonesia.

Kasus rasial Ambon, Maluku Utara, dan Poso, beberapa waktu lalu, melengkapi halaman sejarah hitam kebebasan beragama dan kerukunan antar dan inter umat beragama di Indonesia. Begitu juga dengan penutupan tempat-tempat yang dipergunakan untuk beribadah oleh umat Kristiani di Karawang, Bekasi, dan beberapa tempat lainnya di Jawa Barat, oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama, belum lama berselang.

Kasus-kasus ini selain menjadi ikon belum terwujudnya kebebasan beragama dan kerukunan antar dan inter umat beragama di Indonesia, juga telah mengubah citra wajah Bangsa Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam di pelataran peta muka bumi. Bangsa Indonesia yang dikenal ramah, berubah menjadi beringas dan brutal. Wajah Islam yang anggun, lembut, cantik, penuh damai, berubah menjadi sangar dan menakutkan. Kebebasan beragama, kerukunan antar dan inter umat beragama yang digagas Pancasila dan UUD ‘45, dan dihembuskan sepiritnya oleh Islam, sebatas wacana dan masih menjadi harapan umat beragama, khususnya umat Islam yang tergabung dalam Jamaah Ahmadiyah Indonesia.***

Alasan Pengkafiran dan Kekerasan

MUI menyatakan Ahmadiyah berada diluar Islam, sesat dan menyesatkan, dengan alasan : faham Ahmadiyah berbeda dengan faham umat Islam ummnya. Kelompok anarkis anti Ahmadiyah, menyerang, menghacurkan, membakar, menutup dan menjarah pusat-pusat kegiatan dan harta benda milik warga Ahmadiyah, dan mengusir warga Ahmadiyah, juga dengan alasan yang sama: faham Ahmadiyah berbeda dengan faham umat Islam umumnya.

MUI dan kelompok anarkis anti Ahmadiyah boleh menyatakan faham Ahmadiyah berbeda dengan faham umat Islam umumnya. Tetapi MUI tidak punya alasan yang shahih untuk menyatakan Ahmadiyah keluar dari Islam, dan kelompok anti Ahmadiyah juga tidak punya alasan yang shahih untuk menyerang, menghancurkan, membakar, menutup dan menjarah pusat-pusat kegiatan dan harta benda milik warga Ahmadiyah dan mengusir warga Ahmadiyah.

Allah SWT., berfirman:

1) “Sesunggunya, Tuhan-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tantang orang-orang yang mendapat petunjuk” (Al-‘An’aam, 6:117; lihat juga: An-Nahl, 16:125)

2) “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk kedalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dalam dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat” (Al-Baqarah, 2:114)

3) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi berperang di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu: Kamu bukan mu’min (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia,…….” (An-Nisa, 4:94)

Berbeda faham adalah suatu keniscayaan dalam sebuah masyarakat majemuk, bahkan dalam satu agama sekalipun. Berbeda faham adalah suatu realitas sosial, bahkan realitas sejarah. Al-Quran memiliki dua karakter ayat: muhkamat dan mutasyabihat, dan tiada yang mengetahui ta’wil ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat itu kecuali Allah dan orang-orang yang matang dalam ilmu (Ali Imram, 3:7).

Oleh karena itu, perbedaan faham dalam umat Islam, dimungkinkan akan terus terjadi sepanjang jaman, sepanjang Allah masih memberikan dinamika berfikir kepada hamba-hamba-Nya, untuk menggali rahasia-rahasia ilmu Allah yang terkandung di dalam Al-Quran.

Allah SWT., berfirman:

1) “Dan seandainya Tuhan-mu memaksanakan kehendak-Nya, niscaya Dia telah mejadikan manusia menjadi satu umat saja, tetapi mereka senantiasa berbeda pendapat” (Hud, 11:119)

2) “Dan seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu semua satu umat saja. Akan tetapi Dia hendak menguji kamu dengan apa yang Dia berikan kepada kamu. Maka berlomba-lombalah kamu di dalam berbuat kebajikan. Kepada Allah-lah kamu sekalian akan kembali dan kelak Dia akan memberitahukan kepadamu apa-apa yang senantiasa kamu perselisihkan” (Al-Maidah, 5:49)

3) “Dan sekiranya Tuhan engkau memaksakan kehendak-Nya, niscaya semua orang yang ada di muka bumi ini akan serentak beriman semuanya. Apakah engkau akan memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Yunus, 10:100)

Solusi Mengatasi Krisis Kebebasan Beragama dan Berbeda Faham

Bagi bangsa Indonesia, ada dua solusi untuk mengatasi krisis kebebasan beragama dan kerukunan antar dan inter umat beragama, seperti yang diamalinya saat ini:

1) Bangsa Indonesia saat ini perlu kembali kepada komitmen awal didirikannya negara, bahwa negara ini didirikan diatas kemajemukan berbagagai suku, bahasa, agama, budaya dan adat istiadat, yang secara politik menyatakan diri sebagai satu bangsa, dan menyatakan semua warga negara mempunyai kedudukan yang setara, dan menyatakan semua warga negara bebas memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercaaannya. Jika diperlukan, untuk kembali kepada komitmen awal didirikannya negara itu, seluruh rakyat bangsa Indonesia mengadakan temu raya nasional, dan membuat kesepakatan baru bersama, sebagai penyegaran (refresh).

2) Pemerintah, yang mendapat amanah mengawal dan mengamalkan Pancasila dan UUD ‘45, dan menyelenggarakan negara, harus bersikap tegas kepada siapa saja dan kelompok apa saja, yang terbukti dan nyata-nyata melanggar komitmen awal didirikannya negara, termasuk dalam hal kebebasan beragama dan kerukunan antar dan inter umat beragama. Hal ini penting, karena jika dibiarkan, tidak saja akan mengganggu stabilitas nasional, tapi juga akan mengancam keutuhan NKRI, dan Indonesia sebagai suatu bangsa.

Bagi umat Islam, tidak perlu membuat fatwa kafir atau sesat, dan tidak perlu melakukan tindak kekerasan untuk mengatasi perbedaan faham. Al-Quran dan Rasulullah SAW., sudah lebih dari cukup memberi bekal kepada Anda :

1) “Hai orang-orang yang beriman, ta’tilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran), dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar keriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu), dan lebih baik akibatnya”. (An-Nisa, 4:59)

2) “Panggilah kepada jalan Tuhan engkau dengan bijaksana dan nasihat yang baik, dan bertukar-pikirlah dengan mereka, dengan cara yang sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhan engkau dia lebih mengetahui siapa yang telah sesat dari jalan-nya; dan Dia Maha Mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”. (An-Nahl, 16:125).

3) “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (manusia) kepada Allah, dan beramal yang shaleh serta berkata : Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Dan tidaklah sama kebaikan dan keburukan. Tolaklah (keburukan itu) dengan cara yang sebaik-baiknya, maka tiba-tiba ia, yang di antara engkau dan dirinya ada permusuhan, akan menjadi seperti seorang sahabat yang setia”. (Fushshilat, 41:33-34).

4) “Orang muslim ialah orang yang menjaga orang muslim lainnya dari terganggu oleh lidahnya dan oleh tangannya. Dan orang yang berhijrah ialah yang berhijrah dari apa yang dilarang oleh Allah”. (HR. Bukhari)

5) “Barangsiapa yang sholat seperti sholat kami, dan menghadap ke kiblat kami, serta makan makanan yang kami sembelih, maka orang itu adalah muslim” (HR. Bukhari)

6) “Barangsiapayang menyebut kepada seseorang kamu kafir, atau kamu musuh Allah, padahal ia tidak demikian, maka ucapannya itu akan kembali kepada orang yang mengatakan tuduhan itu” (HR. Bukhari)

Akhirnya, kepada Allah jualah kembali segala urusan. ***

Tulisan ini Sempat Disampaikan kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono,

dan mendapat respons positip.

Dipublikasikan oleh Majalah Gema MKAI, Edisi September 2006, dan News Latter Forlog Antar Kita, Edisi 2/September-November 2006

* Penulis adalah Mubaligh Jamaah Ahmadiyah untuk Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, tinggal di Jl. Anuang, No. 112, Makassar, Tlp. 0411-858635/HP 08152546747

Sumber bacaan:

1) Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Khadim al Haramain asy Syarifain

2) Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Al-Quran, Terjemah dan Tafsir Singkat, Islam International Publication Limitid, 2002.

3) UUD ’45 dan Amandemennya, Fokus Media, 2004

4) Suara Ansharullah, No. 4, Rabiul Awal 1427 H/Shahadat 1385 HS/April 2006 M

5) The WAHID Institute, Kala Fatwa Jadi Penjara, Jakarta 2006

-------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar