Sabtu, 10 Januari 2009

GERAKAN AHMADIYAH DALAM KONTEKS KEKINIAN

Oleh : M. Syaeful 'Uyun **)

MEMASUKI periode Juli 2005, Jemaat Ahmadiyah, tiba-tiba menjadi Headline News media cetak maupun elektronik, nasional maupun lokal, dan menjadi buah bibir masyarakat. Awal kegemparan bermula dari aksi sekelompok kecil umat Islam yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam Indonesia (GUI), Pimpinan Habib Abdul Rahman Assegaf, mengepung dan menyerang Kampus Mubarak, Pusat Pendidikan dan Pusat Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Kemang, Parung, Bogor, Jabar, Jumat (15/07/05). Drama pengepungan dan penyerangan, berakhir dengan di evakuasinya sekitar 1350 penghuni kampus Mubarak, oleh aparat keamanan, setelah melalui negosiasi yang sangat alot.

Selang sehari setelah kasus tersebut, Pemda Kabupaten Bogor menerbitkan SKB, yang menyatakan: menutup Kampus Mubarak dan melarang Ahmadiyah dengan segala aktivitasnya diwilayah Kabupaten itu.

Geger Ahmadiyah terus berlanjut, tatkala kekerasan terhadap Ahmadiyah terus merembet ke daerah-daerah di wilayah Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabuapetn Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, dan terus merangsek hingga ke Lombok Timur, Lombok Barat, Lombok Tengah, NTB, Bulukumba, Gowa dan Jeneponto, Sulsel, selama masa Pebruari hingga awal Maret 2006 lalu.

Ditengah kekerasan terhadap Ahmadiyah, di dalam bulan Juli 2005 itu juga, Majlis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan Fatwa yang menyatakan: Ahmadiyah berada diluar Islam, sesat dan menyesatkan, dan meminta Pemerintah untuk menutup Pusat-pusat Kegiatan Ahmadiyah dan melarang Ahmadiyah diseluruh wilayah NKRI. Fatwa ini merupakan fatwa ke dua dalam 25 tahun terakhir, setelah yang pertama tahun 1980.

Fatwa MUI melahirkan dimensi baru pemikiran dalam masyarakat. Sebagian ulama yang menolak Fatwa MUI menilai, MUI telah melegitimasi kekerasan terhadap Ahmadiyah, dan fatwa MUI itu merupakan pemicu kekerasan terhadap Ahmadiyah.

Pro-kontra seputar Ahmadiyah tak kunjung berakhir, hingga Menteri Agama, Maftuh Basyuni, pun mengajukan opsi : Persoalan Ahmadiyah akan selesai jika Ahmadiyah kembali kepada Islam dengan akidah Muhammad adalah nabi terakhir, dan tiada lagi nabi sesudahnya. Atau, Ahmadiyah keluar dari Islam dan membuat agama baru, selain Islam.

Opsi Menag kedengarannya jitu. Tapi, sebagian masyarakat menilai Menag tidak proporsional dan sangat provokatif. Menag pun dipanggil Komisi VIII, DPR-RI, dan dimintai keterangan atas pernyataan kontroversinya itu. Masalah Ahmadiyah pun menggantung, tanpa kejelasan dan kepastian hukum. Entah untuk sampai kapan.***

--------------------------------------------------

*) Makalah ini disampaikan dalam dialog yang diselenggarakan oleh Litbang Depag Sulsel bertema: Gerakan Ahmadiyah Dalam Konteks Kekinian, Sabtu, 01 April 2006 di Rumah Makan Wong Solo, Jl. Sultan Alaudin Makassar.

**) Penulis adalah Mubaligh Jamaah Ahmadiyah Indonesia Propinsi Sulawesi Selatan, tinggal di Jl. Anuang No. 112, Tlp. 0411-858635, Hp. 08152546747, Makassar

Ahmadiyah Versi Non Ahmadiyah

Harus diakui secara jujur, Ahmadiyah yang berkembang dalam wacana publik saat ini bukanlah Ahmadiyah versi Ahmadiyah melainkan Ahmadiyah versi non-Ahmadiyah, dalam hal ini Rabithah al Alam al Islami (RAAI), Majlis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI). Hal demikian terjadi, karena Fatwa Rabithah al Alam al Islami (1974), Fatwa MUI (1980), dan isu yang dilontarkan LPPI (1990), telah membentuk wacana publik mengenai paham Ahmadiyah, yang realitasnya sangat jauh berbeda dengan paham yang dianut oleh Ahmadiyah itu sendiri.

Diantara wacana publik yang berkembang tentang Ahmadiyah itu ialah: Ahmadiyah telah keluar dari Islam, murtad, sesat dan menyesatkan. Ahmadiyah tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi yang terakhir. Ahmadiyah punya Nabi baru yang ke-26, namanya Mirza Ghulam Ahmad. Ahmadiyah punya syahadat baru. Ahmadiyah punya kitab suci baru, namanya Tadzkirah. Ahmadiyah punya kiblat baru dan kota suci baru, namanya Qadian. Ahmadiyah naik hajinya bukan ke Baitullah, Mekkah, dll, dll, yang membuat Ahmadiyah dimana-mana di tanah air ini, di stigma sebagai kelompok diluar Islam, sesat dan menyesatkan.***

Ahmadiyah Versi Ahmadiyah

Ahmadiyah versi Ahmadiyah dapat disimpulkan sbb: Ahmadiyah didirikan pada tahun 1889 M, oleh Hadrat Mirza Ghulam Ahmad. Jamaah Ahmadiyah meyakini, Hadrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujadid Abad XIV H, Isa al Masih-Imam Mahdi, yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Rasulullah SAW,. Setelah Pendiri Ahmadiyah wafat (1835-1908), Ahmadiyah dipimpin para Khalifah Al-Masih. Khalifah Al-Masih I, Hz. Maulana Al-Hajj Hakim Nuddin r.a., (1841-1914). Khalifah Al-Masih II, Hz. Al-Hajj Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a., (1889-1965). Khalifah Al-Masih III, Hz. Al-Hafiz Mirza Nasir Ahmad r.h., (1909-1982). Khalifatul Masih IV, Hz. Mirza Tahir Ahmad r.h., (1928-2003). Khalifatul Masih V, yang sedang memimpin, 2003-sekarang, Hz. Mirza Masroor Ahmad a.t.b.a.

Ahmadiyah bukanlah agama, pula bukan partai politik. Ahmadiyah hanyalah organisasi dalam agama, dalam hal ini Islam, sama seperti halnya Muhamadiyah, NU, PERSIS, dll. Ahmadiyah adalah organisasi dakwah yang bertujuan meremajakan moral Islam dan nilai-nilai sepiritual. Ahmadiyah mendorong dialog antar agama dan senantiasa membela Islam serta berusaha memperbaiki kesalah-pahaman mengenai Islam di dunia Barat. Ahmadiyah senantiasa menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih sayang dan saling pengertian diantara pengikut agama yang berbeda. Ahmadiyah percaya dan bertindak berdasarkan ajaran Al-Quran: laa ikraaha fiddiin – tiada paksaan dalam agama (2:256), serta menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apa pun dan untuk alasan apa pun. Ahmadiyah mengusung missi: Yuhyiddiina wa yuqimusyariah -- menghidupkan agama dan menegakan syariat, dan, Liyuzhhirahu ‘ala-ddiini kullihi -- memenangkan agama (Islam), diatas semua agama, tentu dengan cara-cara yang di ajarkan agama, sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW,. Dengan kata lain, sangat tepat, jika Ahmadiyah dikatakan sebagai gerakan pembaharuan dalam Islam (at-Tajdid fil Islam). ***

Ahmadiyah: Dari Khataman-Nabiyyin, Syahadat, hingga Al-Quran Karim

Sebagai Islam, adalah sangat mustahil, Jamaah Ahmadiyah tidak menyakini Rasulullah sebagai Khataman-Nabiyyin -- Nabi terakhir, Nabi yang paling Mulia dan paling Afdhal, dan menafikan Al-Quran Karim dengan menjadikan Tadzkirah sebagai kitab suci, seperti dituduhkan sementara kalangan, sehingga mengharuskan Jamaah Ahmadiyah keluar dari Islam dan membuat agama baru. Bagaimana mungkin, Jamaah Ahmadiyah akan mengingkari Rasulullah SAW,. sebagai Khataman-Nabiyyin, jika Al-Quran mengatakan ia sebagai Khataman-Nabiyyin, dan Ahmadiyah meyakini secara teguh, satu ayat, satu noktah atau satu titik pun dalam Al-Quran, tidak ada yang mansukh (batal). Adalah sangat mustahil, jika Ahmadiyah tidak meyakini Rasulullah Muhammad SAW,. sebagai Khataman-Nabiyyin, Syahadat-nya lain, dan menafikan Al-Quran al-Karim, jika Pendiri Ahmadiyah sendiri mengajarkan:

“Inti dan saripati agama kami tersimpul dalam kalimah: Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah. Itikad yang kami anut di dunia dan dengan karunia serta taufik Allah, bersama kalimat itu kami akan berlalu dari alam fana ini kelak ialah Sayyidina wa Maulana Muhammad Musthafa shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah Khataman-Nabiyyin. Di tangan beliau agama telah menjadi genap dan nikmat Allah telah mencapai derajat yang sempurna. Dengan perantaraan agama itu manusia berjalan diatas jalan yang lurus dan dapat mencapai Hadhirat Allah Ta’ala…..” (Ghulam Ahmad, Izalah Auham:169-170)

“Tuduhan yang dilontarkan terhadap diri saya dan terhadap Jamaah saya bahwa kami tidak mempercayai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai Khataman Nabiyyin merupakan kedustaan besar yang dilontarkan kepada kami. Kami meyakini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai Kaatamul Anbiya’ dengan begitu kuat, yakin, penuh Ma’rifat dan Bashirat, yakni seratus ribu dari yang itu pun tidak dilakukan oleh orang-orang lain. Dan memang tidak demikian kemampuan mereka. Mereka tidak memahami hakikat dan rahasia yang terkandung di dalam Khatamun Nubuat Sang Khatamul Anbiya’. Mereka hanya mendengar sebuah kata dari tetua mereka, tetapi tidak tahu menahu tentang hakikatnya. Dan mereka tidak tahu apa yang dimaksud dengan Khatamun Nubuat. Apa makna mengimaninya ? Namun, kami dengan penuh Bashirat (Allah Ta’ala yang lebih tahu) meyakini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai Khatamul Anbiya’. Dan Allah Ta’ala telah membukakan pintu hakikat Khatamun Nubuwwat kepada kami sedemikian rupa, yakni dari serbat irfan yang telah diminumkan kepada kami itu kami mendapat suatu kelezatan khusus yang tidak dapat diukur oleh siapa pun kecuali oleh orang-orang yang memang telah kenyang minum dari mata air ini juga.” (Malfuzat, jld. I, hlm. 342).

Tidak ada kitab kami selain Al - Qur’an Syarif dan tidak ada Rasul kami kecuali Muhammad Mustafa shallallaahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada agama kami kecuali Islam dan kita mengimani bahwa Nabi kita s.a.w. adalah Khatamul Anbiya’, dan Al - Qur’an Syarif adalah Khaatamul Kutub. Jadi, janganlah menjadikan agama sebagai permainan anak-anak dan hendaknya diingat, kami tidak mempunyai pendakwaan lain kecuali sebagai Khadim Islam. Siapa saja yang mempertautkan hal (yang bertentangan dengan) itu kepada kami, dia melakukan dusta atas kami. Kami mendapatkan karunia berupa berkat-berkat melalui Nabi Karim shallallaahu ‘alaihi wasallam dan kami memperoleh karunia berupa makrifat-makrifat melalui Al - Qur’an Karim. Jadi, adalah tepat agar setiap orang tidak menyimpan di dalam kalbunya apa pun yang bertentangan dengan petunjuk ini. Jika tidak, dia akan mempertanggung-jawabkannya di hadapan Allah Ta’ala. Jika bukan Khadim Islam, maka segala upaya kami akan sia-sia dan ditolak, serta akan diperkarakan.” (Maktubaat-e-Ahmadiyyah, jld.5, No. 4).

“Aku menyaksikan suatu kehebatan dalam wajahmu yang bersinar cemerlang, yang melebihi semua sifat manusia lain. Pada wajahnya tampak Tuhan Muhaimin dan seluruh keadaannya bagaikan cermin. Yang menampakan keindahan sifat Ilahi dan kebesarannya sungguh menyilaukan. Ia mengungguli seluruh manusia dengan kemampuan, kesempurnaan dan keelokannya dan kehebatan serta dalam kesegaran jiwanya. Sedikit pun tidak diragukan lagi, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah terbaik di antara seluruh makhluk. Paling mulia di antara yang mulia dan inti orang-orang yang terpilih. Segala sifat yang terbaik dan terpuji, pada diri beliaulah puncaknya. Anugerah nikmat yang ada pada setiap zaman, telah berakhir dalam dirinya. Beliau adalah yang terbaik dari semua orang yang mendapat Qurub Ilahi sebelumnya. Keunggulan beliau karena kebaikan-kebaikan, bukan karena zaman. Wahai Tuhanku, turunkanlah berkat-berkat kepada Nabi-Mu abadi selamannya, di dunia ini dan di hari kebangkitan kedua”.

(Aina Kamalati-Islam, hlm. 594-596).

Pendiri Jemaat Ahmadiyah telah memaparkan gambaran yang lengkap dan menarik tentang ke-khatam-an Nabi Muhammad SAW., dan ketinggian Al-Quran al-Karim. Beliau telah menggunakan istilah yang yang luar biasa, sangat langka dan sangat mengesankan. Yakni, Tuhan kita adalah Tuhan Yang Hidup, Kitab kita, Al-Quran al-Karim, adalah Kitab yang hidup, dan Rasul kita, Yang Mulia Khataman-Nabiyyin Rasulullah Muhammad SAW., adalah Rasul yang hidup. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh beliau di dalam umat Islam dan secara benar beliau telah mencontohkan kecintaan yang hakiki terhadap Nabi Muhammad SAW., dalam kaitannya dengan ke-khatam-an Nabi Muhammad SAW,.***

Ahmadiyah: Isu Nabi Yang Ke-26

Isu, bahwa Ahmadiyah tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi yang terakhir, dan telah mengakui Nabi baru yang ke-26, yakni: Mirza Ghulam Ahmad, mungkin dilatarbelakangi oleh keyakinan Ahmadiyah bahwa Isa al-Masih-Imam Mahdi yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Rasulullah SAW., telah datang dalam pribadi Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah.

Perihal kedatangan Nabi Isa al-Masih as., ke dua kali diakhir zaman, sesungguhnya, bukan kepercayaan baru yang hanya diyakini Ahmadiyah, pula bukan penyimpangan dari ajaran Islam: Al Quran dan As-Sunnah. Kepercayaan itu sesungguhnya merupakan kepercayaan klasik umat Islam seluruh dunia, termasuk umat Islam Indonesia.

Sekedar contoh, berikut pernyataan para ulama dan zu’ama, khususnya mereka yang tergabung dalam Nahdhatul ‘Ulama (NU):

“Kita wajib berkeyakinan bahwa Nabi Isa a.s, itu akan diturunkan kembali pada akhir zaman nanti sebagai Nabi dan Rasul yang melaksanakan syariat Nabi Muhammad SAW., dan hal itu, tidak berarti menghalangi Nabi Muhammad sebagai Nabi yang terakhir, sebab Nabi Isa a.s, hanya akan melaksanakan syariat Nabi Muhammad SAW. Sedangkan mazhab empat pada waktu itu hapus (tidak berlaku)” (Lihat, Ahkam al Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Diantama-LTN-NU, Cet. Ke dua, Januari 2005: 50-51).

Apa yang diyakini para ulama sebagaimana tertuang dalam Ahkam al-Fuqaha itu, itu pulalah sesungguhnya yang diyakini Ahmadiyah. Selisihnya, Ahmadiyah telah meyakini, Isa al-Masih-Imam Mahdi, yang juga bergelar Nabi dan Rasul yang tidak membawa syariat dan hanya melaksanakan syariat Nabi Muhammad SAW., telah datang dalam pribadi Mirza Ghulam Ahmad, sementara para ulama masih menunggu kedatangan Isa al-Masih-Imam Mahdi itu.

Ahmadiyah meyakini Isa al-Masih-Imam Mahdi telah datang, tidak perlu di fatwa sesat, lebih-lebih dinyatakan kafir dan telah keluar dari Islam (murtad). Biarkan saja mereka memeluk Islam dengan keyakinan Isa al-Masih-Imam Mahdi telah datang, sesuai dengan keyakinannya. Ulama dan umat Islam, jika meyakini Isa al-Masih-Imam Mahdi belum datang, ya,…, tunggu saja hingga ia datang, jika benar ia meyakini Isa al-Masih-Imam Mahdi itu akan datang.

Sikap ini lebih agung, lebih mulia dan akan lebih mendorong terciptanya ketenangan hidup beragama. dari pada memfatwa Ahmadiyah sesat dan menyesatkan, kafir, berada diluar Islam (murtad), dan menyuruh Ahmadiyah membuat agama baru selain Islam.

Ahmadiyah menghormati pendapat yang mengatakan Isa al-Masih-Imam Mahdi belum datang. Umat Islam, yang mengatakan Isa al-Masih-Imam Mahdi belum datang, juga tentu tidak salah dan tidak dosa jika menghargai dan mengormati pendapat yang mengatakan Isa al-Masih-Imam Mahdi telah datang.***

Ahmadiyah: Bukan Nama Melainkan Gelar

Khabar-khabar ghaib Al-Quran atau pun Hadits mengisyaratkan, Isa al-Masih-Imam Mahdi yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Rasulullah SAW., itu bukanlah nama orang, melainkan prediket atau gelar yang disandang oleh seseorang. Al-Quran mengatakannya sebagai matsalan (Az-Zukhruf, 43:57), yang akan datang di dalam lingkungan kamu, akan jadi imam kamu dan dari antara kamu (umat Islam) (Bukhary-Muslim), Isa ibnu Maryam-Imam Mahdi Hakaman ‘Adalan (Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Jld 2:156), dan Laa Mahdiyya illa ‘Isa -- tiada Mahdi kecuali Isa (Ibnu Majjah).

Isyarat-isyarat ini menunjukan Isa ibnu Marayam-Imam Mahdi Yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Rasulullah SAW., itu bukan nama orang, melainkan prediket atau gelar yang di sandang sesorang. Ahmadiyah meyakini, orang yang menyandang prediket atau gelar Isa ibnu Maryam-Imam Mahdi itu telah datang di awal abad XIV H, lalu, dan orang itu adalah Hadrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, sesuai dengan pengakuan beliau, dan sesuai dengan petunjuk Al-Quran, Hadits, juga tanda-tanda alam yang berlomba memberikan kesaksian.***

Ahmadiyah: Dari Meremajakan Moral Hingga Revolusi Rohani

Bahwa Ahmadiyah bertujuan meremajakan moral dan sepiritual umat manusia, tercermin jelas pada 10 butir syarat-syarat bai’at, masuk ke dalam Jamaah Ahmadiyah, sbb:

  1. Di masa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur senantiasa akan menjauhi syirik.
  2. Akan senantiasa mengindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan muhrim, perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, mengadakan huru-hara, dan memberontak serta tidak akan dikalahkan oleh hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya.
  3. Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu semata-mata karena mengikuti perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan dengan sekuat tenaga akan senantiasa menegakkan Shalat Tahajjud, dan mengirim salawat kepada Junjungannya Yang Mulia Rasulullah s.a.w. dan memohon ampun dari kesalahan dan mohon perlindungan dari dosa; akan ingat setiap saat kepada nikmat-nikmat Allah, lalu mensyukurinya dengan hati tulus, serta memuji dan menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan.
  4. Tidak akan mendatangkan kesusahan apa pun yang tidak ada pada tempatnya terhadap makhluk Allah umumnya dan kaum Muslimin khususnya karena dorongan hawa nafsunya, biar dengan lisan atau dengan tangan atau dengan cara apa pun juga.
  5. Akan tetap setia terhadap Allah Ta’ala baik dalam segala keadaan susah atau pun senang, dalam duka atau suka, nikmat atau musibah; pendeknya, akan rela atas keputusan Allah Ta’ala. Dan senantiasa akan bersedia menerima segala kehinaan dan kesusahan di jalan Allah. Tidak akan memalingkan mukanya dari Allah Ta’ala ketika ditimpa suatu musibah, bahkan akan terus melangkah ke muka.
  6. Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari menuruti hawa nafsu, dan benar-benar akan menjunjung tinggi perintah Al-Qur’an Suci di atas dirinya. Firman Allah dan sabda Rasul-Nya itu akan menjadi pedoman baginya dalam tiap langkahnya.
  7. Meninggalkan takabur dan sombong; akan hidup dengan merendahkan diri, beradat lemah lembut, berbudi pekerti yang halus, dan sopan-santun.
  8. Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencinatai Islam lebih daripada jiwanya, hartanya, anak-anaknya, dan dari segala yang dicintainya.
  9. Akan selamanya menaruh belas kasih terhadap makhluk Allah umumnya, dan akan sejauh mungkin mendatangkan faedah kepada umat manusia dengan kekuatan dan nikmat yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepadanya.
  10. Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini “Imam Mahdi dan Al-Masih Al-Mau’ud a.s.” semata-mata karena Allah dengan pengakuan taat dalam hal makruf (segala hal yang baik) dan akan berdiri di atas perjanjian ini hingga mautnya, dan menjunjung tinggi ikatan perjanjian ini melebihi ikatan duniawi, baik ikatan keluarga, ikatan persahabatan ataupun ikatan kerja.

(Ahmad, Isytihar Takmil Tabligh, 12 Januari 1889)

Mengenai tujuan Baiat, Pendiri Ahmadiyah sendiri berkata:

“Janji bai’at ini bertujuan untuk mengumpulkan orang-orang benar yang tak dapat dipengaruhi dunia dan membawa berkat bagi Islam dengan berkhidmat untuk penyebarannya dengan cita-cita yang sama. Kelompok ini tidak boleh terdiri dari orang-orang Islam yang malas, tak berguna, dan bermulut besar yang melalui perpecahan dan amal buruk mereka telah menyebabkan kerugian tak terhitung bagi Islam serta mengotori wajah Islam yang bersih. Jamaah ini juga tidak boleh terdiri dari orang-orang yang mengisolasi diri, yang tidak mengenal kepentingan-kepentingan Islam dan kebutuhan manusia serta kesejahteraan mereka. Jamaah ini harus terdiri dari orang-orang yang menolong si miskin, menjadi ayah si yatim dan siap untuk menyerahkan hidup mereka demi pengabdian untuk Islam……….”. (Ahmad, Qadian, 4 Maret 1889)

Tanah air kita, Indonesia, saat ini tengah dilanda krisis multidimensi : sosial, politik, ekonomi, budaya, hingga moral dan sepiritual. Untuk perbaikannya, tentu tidak akan cukup dan tidak akan selesai dengan mengamandemen UUD, atau menggantinya sekalipun. Berpuluhkalipun UUD diamandemen, atau bahkan berpuluh kalipun UUD diganti, jika manusianya tidak diperbaiki, krisis multi dimensi tetap saja akan melanda negeri, seperti yang sekarang kita sedang lihat di era yang katanya, bernama reformasi.

Metode Pendiri Jamaah Ahmadiyah, meremajakan moral dan sepiritual dengan jalan bai’at, sangat pasti merupakan solusi untuk mengatasi krisis multidimensi. Kita dapat membayangkan, bagaimana jika setiap anak negeri di negeri ini dapat menghayati dan mengamalkan butir demi butir 10 syarat bai’at, sebagaimana saat ini telah, sedang, dan akan terus dihayati dan diamalkan Jamaah Ahmadiyah. Dengan butir nomer 2 saja, pastilah di negeri ini, tidak perlu lagi ada UUAPP, tidak ada lagi yang namanya korupsi, kolusi, juga anarki. Negeri ini, pastilah akan menjadi negeri yang adil, makmur, sejahtera lahir bathin, dunia-akhirat. Indonesia berevolusi, dengan revolusi rohani.***

Ahmadiyah: Dari Pelurusan Faham Hingga Pembaharuan Pemikiran Islam

Sebagai seorang Mujadid, Pendiri Jamaah Ahmadiyah tidak saja melakukan peremajaan moral dan sepiritual, tetapi juga melakukan pelurusan faham dan pembaharuan-pembaharuan pemikiran Islam. Diantara pelurusan dan pembaharuan-pembaharuan pemikiran Islam yang dikemukakan beliau, al:

1. Ketika umat Islam sepakat, Nabi Isa as, masih hidup di langit, Pendiri Jamaah Ahmadiyah, tampil meluruskan kebengkokan faham itu, dan menyatakan, sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits dan fakta-fakta sejarah Nabi Isa as., telah wafat dalam usia 120 tahun dan berkubur di bumi ini. Beliau berkata: “Hendaknya Anda mengerti dengan seyakin-yakinnya, bahwa Isa ibnu Maryam telah wafat dan kuburannya terdapat di Desa Khanyar, kota Srinagar, Kasymir. Allah Ta’ala telah memberitahukan mengenai wafat beliau dalam Kitab Suci-Nya. ……… Ingatlah dengan sebaik-baiknya, bahwa kepercayaan Isa as, mati diatas kayu salib tidak dapat dibatalkan, selama belum ada kepercayaan bahwa Nabi Isa as., sudah wafat. Apakah faedahnya beranggapan, bahwa beliau masih hidup, padahal akidah itu bertentangan dengan ajaran Al-Quran? Biarkanlah beliau wafat, agar agama (Islam), ini hidup!” (Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh: 24-25) Uraian terperinci disertai keterangan ayat-ayat Al-Quran, Hadits, dan fakta-fakta sejarah, di paparkan beliau dalam bukunya berjudul : Masih Hindustan Me – Al-Masih di India. Temuan beliau ini tentu tidak hanya mengoreksi kekeliruan faham umat Islam, tapi juga faham umat Kristen yang meyakini Isa mati disalib sebagai penebus dosa umat manusia, lalu setelah bangkit, naik ke langit dan duduk disamping kanan Allah. Temuan beliau ini, dinilai lebih dahsyat dari pendaratan manusia di bulan, sebab 2000 tahun umat Krisrten, ditambah 1300 tahun umat Islam, percaya Nabi Isa as., hidup di langit, ternyata ditemukan fakta, beliau berkubur di bumi, sudah kembali ke asal kejadiannya.

2. Ketika umat Islam sepakat, pintu kenabian telah tertutup dan pintu wahyu juga tertutup setelah Rasulullah SAW., Pendiri Jamaah Ahmadiyah tampil meluruskan kebengkokan faham dan melakukan pembaharuan pemikiran pada umat Islam itu. Menurut beliau, Rasulullah SAW., benar Khataman-Nabiyyin -- Nabi terakhir, tetapi bukan berarti tiada lagi berkat kenabian sepeninggal beliau. Beliau berkata:

“Lembaga Kenabian telah tertutup, kecuali melalui dan di dalam Nabi Muhammad SAW., Nabi pembawa syari’at tidak mungkin lagi datang. Seorang Nabi tanpa syariat baru bisa datang, tetapi lebih dulu ia harus seorang ummati, yakni seorang pengikut Nabi Muhammad SAW,”. (Ahmad, Tajalliyat-i Ilahiyah, 1906 :20 )

“Sesudah Nabi Muhammad SAW., tidak boleh lagi mengenakan istilah Nabi kepada seseorang, kecuali bila ia lebih dahulu menjadi seorang ummati dan pengikuit dari Nabi Muhammad SAW.,” (Ahmad, Tajalliyat-i-Ilahiyah, 1906 : 9).

“Semua pintu kenabian telah tertutup kecuali pintu penyerahan seluruhnya kepada Nabi Muhammad SAW., dan pintu fana seluruhnya ke dalam beliau”. (Ahmad, Ek Ghalti ka Izala, 1901 : 3 ).

“Hamba yang hina ini mendapat kehormatan juga untuk menjadi salah seorang dari hamba-hamba yang hina dari Nabi Agung itu yang menjadi Penghulu Nabi-nabi dan Raja Rasul-rasul”. (Ahmad, Barahin-i-Ahmadiyah, 1884 : 572).

“Disaat dan dimana saya menolak disebut nabi dan rasul, adalah dalam pengertian, bahwa saya bukanlah seorang pembawa syariat baru atau nabi hakiki, tetapi sesungguhnya aku seorang nabi dalam arti, bahwa saya secara rohani memperoleh nikmat, berkat Tuanku yang besar dan mulia, Muhammad SAW,.” (Ahmad, Sinar Islam, Agustus 1985:5).

“Hendaknya jangan kamu mengira bahwa wahyu Ilahi tidak ada lagi, dan hanya berlaku di masa lampau saja dan pada waktu sekarang Rohulkudus tidak dapat turun dan hanya turun pada zaman dahulu saja. Aku berkata dengan sesungguh-sungguhnya, bahwa segala pintu dapat tertutup, akan tetapi pintu untuk turunnya Rohulkudus tidak tertutup untuk selamanya…..”(Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh:38)

Detil konsep kenabian versi Pendiri Ahmadiyah yang dilandaskan pada petunjuk Al-Quran, selengkapnya dapat dilihat dalam tabel terlampir. Definisi dan konsep kenabian seperti ini, tentu saja tidak dikenal dikalangan para ulama masa kini, pula tidak dikenal di bangku-bangku sekolah bahkan ditingkat program pasca sarjana sekalipun. Hal demikian, tentu tidak mengherankan, karena ilmu seperti ini, hanya mungkin lahir dari seorang Pembaharu, seperti Pendiri Jamaah Ahmadiyah.***

Ahmadiyah: Karya-karya Untuk Kebangkitan Islam

Adalah fakta, sekalipun dunia Islam bersatu ditengah sengketa perpecahannya, menghujat Ahmadiyah, memisahkan dan mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam, dan menyatakan Ahmadiyah sebagai sesat dan menyesatkan, ditambah dengan fitnah bahwa Ahmadiyah didirikan atas sokongan Inggris dan untuk kepentingan Inggris, dan kaki-tangan zionisme Israel, Ahmadiyah tetap istiqamah dalam keimanannya sebagai Islam, dan tetap mujahadah -- berjuang untuk kejayaan dan kebangkitan kembali Islam.

Diantara karya-karya nyata Ahmadiyah untuk kejayaan dan kebangkitan kembali Islam, dapat disebutkan disini, al:

1) Membuka missi-missi dakwah Islam diseluruh dunia, terutama di negeri-negeri Barat dan Afrika (kini sudah berdiri di 184 negara, dengan jumlah pengikut lebih 200 juta jiwa).

2) Mengutus para Missionary (Mubaligh), ke seluruh dunia.

3) Menarik jutaan penduduk dunia yang berasal dari berbagai latarbelakang agama dan suku bangsa, masuk ke dalam Islam (Menurut laporan resmi Ahmadiyah, sejak 1993 s/d 2000, tercatat 63.214.884 -- Enam puluh tiga juta dua ratus empat belas ribu delapan ratus delapan puluh empat, orang, telah bergabung dan masuk ke dalam Islam). (Surat Edaran Khusus Jamaah Ahmadiyah Indonesia, Edisi No. 33 Tahun 2000).

4) Membangun mesjid-mesjid di seluruh dunia, (tahun 2003 telah meresmikan Mesjid Baitul Futuh, mesjid terbesar di Eropa-Kompas 24 Oktober 2003/Fajar 4-5 Nopember 2003).

5) Membumikan Al-Quran dengan cara menerjemahkan Al-Quran ke dalam 100 bahasa besar dunia.

6) Mendirikan stasiun TV global bernama Muslim Televisi Ahmadiyah Internasional. Berpusat di London, UK. Mengudara 24 jam non-stop tanpa iklan, non-profit, murni untuk kepentingan dakwah, dan menjangkau seluruh bulatan bola bumi dengan mengunakan 8 satelite.

7) Memperkenalkan dan menggalakan ahlak Islami seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw yaitu membantu orang orang yang membutuhkan pertolongan : diantaranya, membuka pos-pos bantuan sosial seperti pengobatan homeopathy, bantuan kepada masyarakat yang tertimpa musibah bencana alam, dan korban perang, melalui program Humanity first (HF), diseluruh dunia.

8) Menerbitkan buku-buku dan brosur yang berisikan ketinggian dan kemuliaan Islam dan Rasulullah SAW., sebagai jawaban atas cemoohan dunia Barat terhadap Islam dan Rasulullah SAW,.

9) Dll, dll.

Karya-karya nyata tersebut, jarang sekali dilakukan, bahkan tidak dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam fundamental sekalipun, termasuk oleh mereka yang menyatakan Ahmadiyah bukan Islam, sesat dan menyesatkan.***

Ahmadiyah: Mungkinkah Memenangkan Islam?

Sekalipun dunia Islam telah memisahkan Ahmadiyah dari Islam, tetapi Ahmadiyah tetap optimis dan yakin bahwa ia akan memenangkan Islam diatas semua agama. Setidaknya ada lima kekuatan Ahmadiyah yang menjadi modal untuk menghantarkan Islam kepada kejayaannya. Pertama, Nizam Khilafat. Kedua, Jamaah yang memiliki jaringan global. Ketiga, Ketaatan Jamaah kepada Khilafat dan semangat jihad yang tak pernah padam dengan anfus dan amwal, (suatu hal yang tak dimiliki kelompok Islam lain). Keempat, Terjemahan Al-Quran dalam 100 bahasa, buku-buku dan Literatur Islam dalam berbagai bahasa, media massa: cetak maupun elektronik. Kelima, dukungan samawi. Pendiri Ahmadiyah, berulang-ulang menerima wahyu, (Urdu): Badsyah Tere Kaprongse Barkat Dhun deng ge -- Raja-raja akan mencari berkat dari pakaian engkau (Da’watul Amir, hal. 377) (Urdu): Me teri tabligh ko jaminke kinarong tak fon caungga – Aku akan sampaikan tablighmu ke seluruh penjuru dunia (Da’watul Amir, hal. 340) (Arab): Kataballaahu laa aghlibana anaa wa rusulii – Aku telah menetapkan bahwa Aku dan Rasul-Ku, pasti menang (Da’watul Amir, hal. 214). (Arab): Inni mu’inun man arada i’aanataka, wa innii muhinun man arada ihaanataka – Aku akan menolong siapa yang menolongmu, dan Aku akan menghinakan siapa yang menghinamu (Tadzkirah, 1956: 34, 205,217,)

Wahyu Mubasyirat Ilahi tersebut, bagi Jamaaah Ahmadiyah tidak hanya sekedar menjadi motivasi, tapi juga berfungsi semacam Ruhul Qudus yang diturunkan Allah kepada Nabi Isa as., (Al-Baqarah, 2:87, Al-Maidah, 5:110). Karena itu, sekalipun seluruh dunia Islam menentang, Ahmadiyah yaqin, haqul yaqin, Ahmadiyah akan dapat menyempurnakan missinya: memenangkan Islam diatas semua agama.***

Ahmadiyah: Harapan Kepada Umat Islam

Sebagai gerakan yang mengusung missi: Yuhyiddiina wa yuqimusyariah dan Liyudhirahu ‘ala-ddiini kullihi, Ahmadiyah tentu saja mengharapkan umat Islam bersatu dalam satu Jamaah dan Imamah, Jamaah dan Imamah Ahmadiyah, sesuai dengan petunjuk Al-Quran Suci (Ali-Imran, 3:103, dan Sabda Nabi SAW, seperti yang diriwayatkan Hudzaifah bin al Yaman-Bukhari-Muslim). Jika setuju, juga sepakat, mari bai’at masuk Jemaat. Tetapi, jika itu dirasakan berat, tidak usah melaknat. Biarkanlah Ahmadiyah berjuang memenangkan Islam di segala lapangan kehidupan. Berilah Ahmadiyah dukungan, atau diam, tidak menggunting dalam lipatan dengan melontar-lontarkan fitnahan. Ahmadiyah percaya, ada atau tidak ada Anda, Ahmadiyah akan menang. ***

Wa akhirudda’wanaa ‘anil-hamdu lilaahi Rabbil ‘alamiin !

Makassar, 01 April 2006

Keterangan :

  • Tasyri’, artinya: membawa syari’at
  • Ghairi Tasyri’, artinya : Tidak membawa syari’at
  • Mustaqil, artinya : berdiri sendiri. Ia menjadi nabi bukan karena mengikut atau karena ketaatan kepada nabi sebelumnya, tetapi ia menjadi nabi, semata-mata karena quad qudsiyah – daya pensucian yang dimiliki dirinya sehingga Allah mengangkatnya sebagai nabi. Semua nabi, dari nabi Adam hingga Rasulullah SAW, adalah mustaqil.
  • Ghairi Mustaqil, artinya : tidak berdiri sendiri. Ia menjadi nabi, semata-mata karena mengikut atau karena ketaatan kepada nabi sebelumnya. Jaminan memperoleh pangkat kenabian jenis ini, hanya diberikan Allah kepada ummat Rasulullah SAW, (ummat Islam) yang benar-benar mentaati Allah dan Rasulullah Muhammad SAW, seperti dikemukakan Surat An-Nisa, 4:69.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar