Sabtu, 10 Januari 2009

UMAT ISLAM TIDAK PERNAH KEHILANGAN KHILAFAHNYA

(Tanggapan atas Tulisan Undiana: 83 Tahun Kita Kehilangan Khilafah Islamiyah)
Oleh : M. Syaeful ‘Uyun

NU’MAN BIN BASYIR dari Hudzaifah bin al-Yaman r.a., berkata: Rasulullah SAW., bersabda: Adalah masa Kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak Kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menggigit (Mulkan ‘Adlan), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Kerajaan yang menyombong ((Mulkan Jabariyyah), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia telah menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak Kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah). Kemudian (Nabi), diam”. Demikian sepenggal Hadits Nabi berkenaan dengan kepemimpinan Islam, sebagaimana tertulis dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid 4:273.
Menurut Nabi, empat periode kepemimpinan akan menyertai dan mendampingi umat Islam sepanjang perjalanan sejarahnya. Periode pertama, ialah periode Kenabian. Umat Islam sepakat, periode ini ialah periode ketika umat Islam dipimpin langsung Nabi Muhammad SAW., selama kurang lebih 23 tahun..
Periode kedua, ialah periode Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah). Sebagian besar umat Islam sepakat, periode ini ialah periode ketika umat Islam dipimpin Khalifah Abu Bakar ra, ‘Umar ra, ‘Usman ra, dan ‘Ali ra. Disebut ‘Ala Minhajin-Nubuwwah, karena kekhilafahan ini diawali dengan kebangkitan seorang Nabi, menjalankan kepemimpinannya, dengan seutuhnya mengikuti corak/pola kepemimpinan Nabi Muhammad SAW,. Masa kepemimpinan khilafah ini berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, persis seperti yang diramalkan Nabi: “Al-khilafatu fii ummatii tsalatsuuna tsanatan” (HR. Abu Dawud & Tirmidzi).
Periode ketiga, ialah periode Kerajaan (Mulkan), dengan dua macam corak kerajaan, yaitu: Mulkan ‘Adlan -- kerajaan yang menggigit, dan Mulkan Jabariyatan -- kerajaan yang menyombong/takabur. Umat Islam sepakat, periode ini ialah periode ketika umat Islam berada dibawah pimpinan Khilafah Mulkan dengan dua macam tipe kerajaannya (Mulkan ‘Adlan dan Mulkan Jabariyatan), mulai dari Dinasti Umayyah, hingga Dinasti Turki Utsmany. Masa kepemimpinan Khilafah Mulkan berlangsung selama sekitar 1263 tahun (661 M – 1924 M), dengan 135 Kilafah/Raja/Penguasa, rinciannya antara lain sbb: Pemerintahan Dinasti ‘Umayyah di Damaskus (661-750 M): 14 Khalifah/Raja/Penguasa, Pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyyah di Baghdad (750-1258 M): 37 Khalifah/Raja/Penguasa, Pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyyah di Kairo (1261-1517 M): 18 Khalifah/Raja/Penguasa, Pemerintahan Dinasti ‘Utsmaniyyah di Turki (1517-1924 M): 36 Khalifah/Raja/Penguasa, kemudian Dinasti yang bersamaan dengan Khilafat ‘Abbasiyyah: Pemerintahan Dinasti ‘Umayyah di Spanyol (756-1031 M): 16 Khalifah/Raja/Penguasa, dan Pemerintahan Dinasti Fatimiyyah di Messir (909-1171 M): 14 Khalifah/Raja/Penguasa.
Periode keempat, ialah periode Khilafah yang mengikuti jejak Kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah). Umat Islam tampaknya belum sepakat berkenaan dengan Khilafah Islamiyah periode keempat ini. Sebagian ada yang memahami kepemimpinan Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah ini bercorak politis, dan sebagian ada yang memahami kepemimpinan ini bercorak agamis. Sebagian ada yang sudah meyakini kebangkitannya, sebagian ada yang masih mencari-cari dan berusaha untuk mendirikannya, sebagian ada yang sama sekali tidak memperhatikannya, bahkan menganggap sama sekali tidak penting. Namun, satu hal yang pasti, khabar ghaib (nubuwwah) Nabi Muhammad SAW., ini memberi petunjuk : Khilafah Islamiyah periode keempat ini coraknya adalah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah, seperti era Khilafah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, ra, bukan Mulkan, seperti era Dinasti- Dinasti: ‘Umayyah, ‘Abbasiyyah, Fatimiyyah, dan Turki ‘Utsmany. Dan, dengan berakhirnya periode Khilafah Mulkan (1924), yang berlangsung selama 1263 tahun itu, menandakan : era dimana sekarang ini kita ada, adalah era kebangkitan Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah fase ke II itu. Diamnya Nabi, setelah menjelaskan akan bangkitnya periode Khilafah ini, menunjukan periode Khilafah ini akan berlangsung lama, sampai waktu yang hanya Allah saja yang maha tahu.

Silang Pendapat Seputar Model Kepemimpinan Islam
Meskipun Rasulullah Muhammad SAW., telah mengabarkan mengenai akan terjadinya periode-periode kepemimpinan dalam Islam, namun sejak Rasulullah SAW., wafat, berkenaan dengan model kepemimpinan Islam, umat Islam tampaknya tidak pernah mengenal kata sepakat. Sebagian sepakat dengan Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah – Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, ra. Sebagian lagi menolak Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah, dan sepakat Ahlul Bait-lah yang berhak melanjutkan dan mewarisi kepemimpinan dan risalah Nabi Muhammad SAW,. Silang pendapat tersebut berlangsung hingga kini (sudah 1428 tahun), seperti tampak pada pendirian dan keyakinan Sunni-Syiah. Pada kalangan Sunni, Imamah pasca Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, dilanjutkan oleh Imam-Imam Mazhab. Sedang pada kalangan Syia’ah, Imamah pasca Imam Ali, dilanjutkan Imam Hasan-Husain, dan wilayat-wilayat hingga sekarang. Ini menandakan, kalangan Sunni-Syi’ah, tak pernah merasa kehilangan Imamahnya.
Setelah periode Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah berakhir, dengan syahidnya Khalifah Ali bin Abi Thalib ra., silang pendapat berkenaan dengan model kepemimpinan Islam kembali mewarnai babak baru dunia Islam. Sebagian sepakat dengan sistem Mulkan, sebagian lebih memilih hidup tanpa Imamah daripada harus menerima Mulkan sebagai Khilafah Islamiyah. Silang pendapat tersebut, juga berlangsung hingga kini, dan ironisnya justru terjadi dikalangan Sunni sendiri. Yang sepakat dengan sistem Mulkan, terhimpun dalam wadah Hizbu Tahrir. Yang tidak sepakat, terhimpun dalam berbagai wadah lainnya. Adalah tidak mengherankan jika Hizbu Tahrir resah dan gelisah merasa telah kehilangan Khilafah Mulkan-nya, sedang yang lainnya enjoy-hapy saja, tidak pernah merasa kehilangan apa pun. Adalah tidak mengherankan, jika Saudari Undiana, tentunya, ia termasuk yang tergabung dalam Hizbu Tahrir, merasa telah 83 tahun Kehilangan Khilafah Islamiyah “Mulkan”-nya, dan merindukan berdirinya kembali dan kejayaan kembali Khilafah Mulkan itu (Fajar, 03 Maret 2007). Hizbu Tahrir dan Saudari Undiana benar, kerena memang faktanya : Khilafah Mulkan, telah berakhir sejak 83 tahun silam. Tidak salah kiranya jika saya mengucapkan: Subhaanallah! dan Inna ilaahi wa inna ilaihi raaji’uun, atas berakhirnya silsilah Khilafah Mulkan tersebut, dan doa: “Allaahumma maalikal-mulki tu’til-mulka mantasyaa-u wa tanji’ul-mulka miman-tasyaa-u wa tu’izzu man-tasyaa-u wa tudzillu man-tasyaa-u biyadikal khair, innaka ‘alaa kulli syai’in qadiirun” (Ali Imran, 3:26-27)

Khilafah Islamiyah Versi Ahmadiyah
Memasuki awal abad XIV H lalu, dunia Islam memasuki babak baru pemikiran kepemimpinan. Pada awal abad itu, Ahmadiyah lahir dengan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Pendirinya. Berkenaan dengan kepemimpinan Islam, Ahmadiyah menyajikan konsep yang berbeda dengan konsep lain umumnya. Ahmadiyah sepakat, periode Nubuwwah dan Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah adalah periode ketika umat Islam dipimpin Nabi Muhammad SAW,. dan para Khulafa-ur-Rasyidiin al-Mahdiyyin: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, ra. Ahmadiyah sepakat, sesuai dengan Sabda Nabi: “Al-khilaafatu fii ummatii tsalatsuuna sanatan tsumma mulkun ba’da dzaalik” (HR. Abu Dawud dan Tirmizi), periode Mulkan, dengan dua macam coraknya – ‘Adlan dan Jabariyatan, adalah periode ketika umat Islam berada dibawah pimpinan Khilafah “Mulkan” Islamiyah, mulai dari Dinasti ‘Umayyah hingga Dinasti Turki ‘Utsmani. Dalam visi Ahmadiyah, kepemimpinan Islam pada periode ini coraknya murni politis, bukan agamis. Karenanya, berkenaan dengan keagamaan, Rasulullah SAW., merekomendasikan: “Fa’alaikum bi sunnatii wa sunnatil-khulafaa-i-Raasyidiinal-Mahdiyyiina” (HR. Ahmad). Sedangkan kepemimpinan yang bercorak agamis berada pada tangan Mujaddid, sebagaimana Sabda Nabi: “Innallaaha yab’atsu lihaadihil-ummati ‘alaa ra’si kulli miatin sanatin man-yujaddidu laha diinaha” (HR. Abu Dawud). Para Mujaddid-lah, kata Ahmadiyah, yang memegang kepemimpinan Islam bercorak agamis, selama periode Khilafah “Mulkan” Islamiyah berkuasa. Menurut Ahmadiyah, para Mujaddid itu telah hadir sepanjang 14 abad terakhir, sbb: Mujaddid abad I: ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, abad II: Imam Syafi’I, abad III: Imam Abu Hasan al-‘As’ari, abad IV: Imam Abu Ubaidillah, abad V: Imam al-Ghazali, abad VI: Imam Sayyid Abdul Qadir Jailani, abad VII: Imam Ibnu Taimiyah, abad VIII: Imam Hafiz Ibnu Hajar Asqalani, abad IX: Imam Jalaludin Abdul-Rahman As-Suyuti, abad X: Imam Muhammad Tahir Gujrati, abad XI: Imam Mujaddid Alfi Sarhadi, abad XII: Imam Syekh Waliyullah Delhi, abad XIII: Imam Sayyid Ahmad Barelwi, abad XIV: Imam Mahdi-Isa ibnu Maryam Yang Dijanjikan (Masih Mau’ud), Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, as. Setelah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad wafat (1908), tampil Khilafah-Khilafah menggantikan beliau, dengan sebutan Khilafah Al-Masih. Khilafah Al-Masih I: Hadhrat Al-Haj Maulana Hakim Nuruddin, Khilafah Al-Masih II: Hadhrat Al-Haj Mirza Basyiruddin, Khilafah Al-Masih III: Hadhrat Al-Hafiz Mirza Nasir Ahmad, Khilafah Al-Masih IV: Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, Khilafah Al-Masih V (sekarang): Hadhrat Mirza Masroor Ahmad. Dalam keyakinan Ahmadiyah, Khilafah yang saat ini ada bersama mereka, adalah perwujudan dari Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah fase ke II, yang diramalkan akan berdiri setelah berakhirnya periode Mulkan. Pendirian Ahmadiyah, sebenarnya, tidak berlebihan. Penulis Kitab Misykatul-Masabih, mengomentari Hadits Nabi tentang Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah fase II itu, memberi catatan kaki: “Addhaahiru annal-Murada bihi jamani Isa wal Mahdi”. Dan, faktanya, memang demikian, Khilafah Ahmadiyah yang diyakini sebagai perwujudan Khilafah ‘Ala Minhajin-Nubuwwah fase II, berdiri setelah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, seorang yang mengaku diri sebagai Al-Mahdi dan Al-Masih Mau’ud wafat, dan berdiri, bahkan, 16 tahun sebelum Khilafah “Mulkan” Islamiyah berakhir riwayatnya. Khilafah Mulkan berkahir 1924 M. Khilafah Ahmadiyah berdiri 1908 M. Sistem kepemimpinan Islam yang dianut Ahmadiyah ini menandakan, umat Islam, sesunguhnya , tidak pernah kehilangan Khilafah-nya, sepanjang empat belas abad terakhir. Persoalannya, hanya ada yang sudah tahu dan ada yang belum tahu saja. Agaknya, memang, bukan Ahmadiyah, jika pemikiran-pemikiran keagamaannya, tidak kontroversi.

Penderitaan Umat dan Penolakan Atas Khilafat
Kerinduan dan kegandrungan sebagian Muslimin terhadap berdirinya kembali sistem Khilafah Islamiyah, apa pun bentuknya, sesungguhnya patut dihargai dan dihormati. Sikap demikian adalah selaras dengan petunjuk Nabi ketika menjawab pertanyaan Hudzaifah bin al-Yaman, saat beliau ditanya perihal kebaikan dan keburukan, Nabi bersabda: “Talzamu jamaa’atal-Muslimin wa imaamahum, wa in-lam yakun-lahum jamaa’atun wa laa imaamun, fa’tazil tilkal-firaqa kullaha walau an-na’adhdha bi ashli sajaratin hattaa yudrikal mautu wa anta ‘alaa dzalika” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada segerombolan semut mesti ada pemimpin semut. Pada segerombolan burung terbang mesti ada pemimpin burung. Pada segerombolan lebah mesti ada pemimpin lebah. Pada gerombolan binatang-binatang itu akan merasa gelisah jika tiada pemimpinnya, dan dengan cara-cara yang berlaku dalam nizam-nya, ia akan segera mencari pemimpin pengganti jika diketahui pemimpin mereka telah tiada/mati. Adalah sangat ironi, jika umat Islam, kini tidak punya naluri untuk memiliki kepemimpinan. Dan adalah sangat ironi, jika umat Islam, kini lebih hafal pemimpin umat Katholik se-dunia, yang bukan agamanya, ketimbang pemimpin agamanya sendiri.
Saya sependapat dengan Saudari Undiana, bahwa tanpa Khilafah sudah lama umat Islam merana. Tanpa Khilafah umat Islam menderita lahir-bathin diberbagai belahan dunia, dalam segala lapangan kehidupan. Tetapi, kita, umat Islam, ada baiknya juga instrospeksi, apakah penderitaan umat Islam selama ini kerena ketiadaan Khilafah ataukah justru karena sikap antipati dan penolakan terhadap Khilafah yang sudah ada, yang telah dibangkitkan oleh Allah SWT,. Berpedoman kepada Firman Allah: “Wa maa kunna mu’adzibiina hattaa nab’atsa rasuulan” (Al-Isra, 17:15). “Wa lau anna ahlal-quraa aamanuu wat-taqau lafatahnaa ‘alaihim barakatim-minas-samaa-I wal-ardhi wa lakin kadzabuu faakhadnaahum bimaa kaanuu yaksibuun” (Al-A’raf, 7:96), Ahmadiyah memandang, bisa saja penderitaan umat Islam disebabkan karena penolakan terhadap Utusan Allah dan para Khalifahnya di zaman ini. Sudah lebih seabad umat Islam membuang rasa persahabatannya terhadap Ahmadiyah. Di tanah air, alih-alih dakwah mengajak orang lain masuk Islam, MUI sudah dua kali menyatakan Ahmadiyah keluar dari Islam. Inna lilaahi wa inna ilaihi raji’uun! Aksi anti Ahmadiyah, diseluruh wilayah tanah air, Juli 2005 hingga awal Pebruari 2006 lalu, ditambah sikap apatisnya SBY-JK, atas kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah, bak Pontius Pilatus ketika mengadili Yesus di hadapan sidang Mahkamah Agama, siapa tahu, itu pula yang telah mengundang azab dan hukuman Tuhan, mulai dari gelombang Tsunami, gempa bumi, gunung meletus, kelaparan, Pesawat hilang, hingga kapal Levina I tenggelam.
Siapa pun boleh tidak sepakat dan, atau menolak dengan sistem Khilafah Islamiyah ala Ahmadiyah. “Faman syaa-a fal yu’min, waman syaa-a fal yakfur”. (Al-Kahfi, 18:29). Namun, gagasan ke-Khilafah-an Ahmadiyah, sebelum diterima dan, atau ditolak, harus juga dipertimbangkan matang-matang. Sebab, ternyata, gagasan dan keyakinan Ahmadiyah tidak lepas dari petunjuk Kitab Suci : Al-Quran dan Hadits. Dan, apa pun reaksi orang tentang Khilafah Ahmadiyah: menerima atau menolak, menganggap hak atau bathil, satu hal yang pasti, Ahmadiyah kini sedang bersiap-siap untuk merayakan Tasyakur seabad Khilafah-nya, 27 Mei 2008 mendatang. ***
Makassar, 05 Maret 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar