Kamis, 02 Juni 2011

PENJELASANKU TENTANG TIADA LAGI NABI BAIK NABI LAMA ATAU PUN NABI BARU

PENJELASANKU

TENTANG : TIADA LAGI NABI

BAIK NABI LAMA ATAU PUN NABI BARU

Assalamu’alaikum warahmatullaahi wa barakatuhu

Pernyataan saya, yang saya sampaikan kepada Menteri Agama RI : “.............. karena Rasulullah SAW., adalah Khaataman-Nabiyyin, maka sesudah beliau tidak akan ada, dan tidak boleh lagi datang nabi, baik nabi lama atau pun nabi baru”, tampaknya cukup menghebohkan jagat jemaat tanah air. Ada yang meminta klarifikasi, ada yang melengkapi, dan ada juga yang meragukan, menyangsikan, dan mensinyalir sebagai pertanda telah terjadi erosi keyakinan dan keberhasilan anti Jemaat memecah JAI menjadi dua kelompok yang saling berbeda pendapat. Maulana Dildar Ahmad Dartono, Mubaligh dan Kepala Perpustakaan JAI, misalnya, dalam waktu dua puluh menit, dua kali - pada 07.33, dan 07.52, berkomentar :

Motif dan target anti Jemaat dengan 'meminta' penandatanganan 12 pernyataan 2008 sepertinya berhasil. Memecah JAI menjadi 2 kelompok yang didalam diri mereka terdapat benih2 perbedaan pendapat, pertentangan memendam dan mengandung benih2...bla bla...”

Sangat licin dan pandai mereka itu.... Semoga Allah melindungi JAI dan memberikan keteguhan serta kejelasan/ketegasan mereka berjemaat (menjadi murid Imam Mahdi)..aamiin”

“Ini merupakan dampak 12 pernyataan dan SKB. Bisa jadi ini bukanlah hal2 yg tidak diperkirakan sebelumnya baik oleh kita maupun mereka. Tapi faktanya inilah dampaknya. Bagaimana selanjutnya? Terserah anda...”

Komentar ketiga, Maulana Dildar Ahmad Dartono, mengutip Khutbah Huzur V atba, dengan pengantar : mohon direnungkan, benarkah ini pujian Huzur V terhadap Jemaat Indonesia?

Saya sampaikan, kepada semua Jemaat tanah air dimana saja, insya Allah, keyakinan saya atas status Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, tidak akan berkurang dan tidak akan mengalami erosi. Saya justru heran membaca opini Maulana Dildar Ahmad Dartono. Saya yang ketinggalan pemahaman-pemahaman pelajaran Pendiri Ahmadiyah, ataukah Maulana Dildar Ahmad Dartono yang ketinggalan.

Tetapi, dari yang meragukan dan menyangsikan, ada juga yang peka dan mengerti dengan maksud pernyataan saya. Ia pun, kemudian menuliskan maksud pernyataan saya itu. Sahabat, guru, senior, sesepuh saya, dan sesepuh seluruh warga JAI, Bapak Ir. Pipip Sumantri, menulis :

“Tidak akan ada Nabi Baru, sesuai pendapat umum umat Islam, Nabi Baru yang membawa agama baru, dengan Kitab baru dan syariat baru di luar syariat/ agama Islam. Ini di luar kedatangan Nabi Isa Al-Masih a.s. yang kedua kalinya, dan Imam Mahdi di akhir zaman, yang diyakini oleh umat Islam seumumnya, dan yang kedatangannya ditunggu-tunggu oleh umat Islam”.

Rahayu Safitri, LI yang mengenal saya, tapi saya tidak mengenal dia, menulis :

“Saya pernah dengar penjelasan Bpk Syaiful Uyun, Kalau tidak Salah sbb: Maksud beliau tentang tidak ada nabi lagi baik yang baru maupun yang lama itu adalah nabi yang mustakil (berdiri sendiri) baik yang membawa syariah maupun tidak, ini sudah tertutup mengingat kesempurnaan ajaran Islam beserta kesempurnaan Nabi besar SAW (Al Azab 40)

Sementara kenabian yang terjadi melalui fanafirasul lah yang masih ada, jadi umat yang taat kepada Allah melalui ketaatannya kepada Rasululnya lah yang masih berlangsung sepanjang Zaman, dengan kesempurnaannya mengikuti sunnah rasulnya maka kita bisa menjadi nabi buruzi/zily – nabi bayangan/cermin Rasulullah SAW atau nabi ummati. Umatnya bisa mencapai derajat kenabian (An-Nisa, 69/70)

Demikian transformasi yang bisa kami cerna dari beliau atas kekurangannya mohon maaf”.

Apa yang disampaikan Bapak Ir. Pipip Sumantri, dan Sdri. Rahayu Safitri, meskipun penjelasan keduanya masih harus disempurnakan, itulah yang saya maksud.

Di medan pertablighan, saya memang suka mengemukakan persamaan-persamaan penegertian dan pemahaman Jemaat, daripada mengemukakan perbedaan-perbedaan penegertian dan pemahaman.

Hemat saya, dalam Jemaat ini, sesungguhnya lebih banyak persamaan-persamaanya, daripada perbedaan-perbedaannya. Kalau ada perbedaan, itu pun - pada hemat saya, bukan perpedaan, melainkan hanya tingkat pemahamannya saja yang belum sampai.

Khaataman-Nabiyyin”, dalam pengertian umum umat Islam, berarti: penutup nabi-nabi.

Khaataman-Nabiyyin”, dalam pengertian Jemaat Ahmadiyah juga, berarti : penutup nabi-nabi. Namun, selain berarti penutup nabi-nabi, Jemaat juga tidak menolak ada arti lain, seperti : yang paling mulia, paling afdhal, paling semurna, cincin, cap, dan stempel. Cincin, dalam pengertian sebagai sumber perhiasan/keindahan para nabi, dan Cap/Stempel, dalam pengertian tidak ada nabi yang dibenarkan kenabiannya baik dimasa lalu maupun dimasa yang akan datang, tanpa pengesahan atau segel “Khaataman-nabiyyin”, Nabi Muhammad SAW. Inilah yang saya katakan tingkat pemahaman yang belum sampai.

Dengan menggunakan metode persamaan, pengalaman saya di lapangan menyampaikan (dakwah) kebenaran akidah Jemaat, lawan-lawan bicara (di Lombok, Tuan-Tuan Guru), umunya berkomentar : “Jika Ahmadiyah seperti ini, tidak ada masalah”.

Menanggapi komentar mereka, saya pun biasanya segera meyakinkan mereka : memang, sejak dulu, Ahmadiyah tidak ada masalah. Jika Ahmadiyah bermasalah, saya tidak akan 30 tahun di Ahmadiyah, dari dulu saya akan keluar dari Amadiyah.

Di Lombok warga Ahmadiyah dibantai dan dihabisi. Tapi di Lombok pula, awal Juli 2010 lalu, ketika saya mau pindah ke Semarang, saya diundang perpisahan oleh seorang Tuan Guru dan Jamaahnya. Mereka menjamu saya makan yang sengaja dipersipakan dan menghidangi saya nasi rasul – terbuat dari beras ketan. Mereka sengaja membuat dan menyajikan nasi rasul itu, dengan filosofi, katanya, sebagai simbol hubungan harus erat, rekat, dan tidak boleh putus. Terakhir, dipimpin Tuan Guru langsung, mereka mengiringi keberangkatan saya ke tempat tugas baru di Semarang dengan doa, dan sambil berdiri mereka menjabat tangan saya sambil membaca shalawat badar.

Haru. Di Lombok Ahmadiyah di bantai, tapi di Lombok, di pulau Tuan Guru itu pula, saya pindah ke tampat tugas baru, diiringi doa dan shalawat badar Tuan Guru dan Jamaahnya.

Saya hanya mengira-ngira, inilah tampaknya buah metode dakwah dengan menyajikan metode persamaan-persamaan. Mereka faham, mereka mengerti, dan untuk itu mereka menghargai dan menghormati.

Berikut, adalah penjelasan saya selengkapnya, atas pernyataan saya : “Tiada Nabi Lagi Baik Nabi Lama Atau pun Nabi Baru”, yang menghebohkan itu. Semoga bermafaat, dan menambah wawasan bagi semua millisser.

1. Saya sudah memperkiarakan, pernyataan saya kepada Menag RI, butir ke-5 : “Demi Allah, saya meyakini, Rasulullah Muhammad SAW., adalah Khaataman-Nabiyyin - Nabi terakhir, penutup segala nabi, tidak akan ada lagi nabi sesudahnya, baik nabi lama atau pun nabi baru......, karena Rasulullah SAW., adalah Khaataman-Nabiyyin, maka sesudah beliau tidak akan ada, dan tidak boleh lagi datang nabi, baik nabi lama atau pun nabi baru”, akan mengundang pertanyaan, bahkan mungkin juga kritik, dari banyak kalangan Jemaat di tanah air.

2. Perkiraan akan mengundangan pertanyaan, bahkan mungkin juga kritik, bisa difahami, sebab pemahaman dan pernyataan saya, boleh dikatakan tidak lazim dan tidak umum dalam Jemaat, khususnya pada Jemaat tanah air selama ini.

3. Sejauh yang saya ketahui dan saya fahami, dari pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan selama saya mengaji, berguru kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, Rasulullah Muhammad SAW, adalah : Khaataman-Nabiyyin”.

Pelajaran-pelajaran Pendiri Ahmadiyah, tentang Rasulullah SAW., sebagai “Khataman-Nabiyyin”, dapat dibaca dalam berbagai buku yang ditulis dan disebarluaskan beliau, al :

a) Dalam buku Taqrir wajibul I’lan, terbit tahun 1891, beliau menuslis :

“Dengan sungguh-sungguh saya percaya bahwa Nabi Muhammad SAW., adalah Khayamul Anbiya. Seorang yang tidak percaya pada Khatamun Nubuwwah beliau (Rasulullah SAW), adalah orang yang tidak beriman dan berada diluar lingkungan Islam”.

b) Dalam buku Izalah Auham, terbit 1891, beliau menulis :

“Inti dari kepercayaan saya ialah: Laa Ilaaha Illallaahu, Muhammadur-Rasulullaahu (Tak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah). Kepercayaan kami yang menjadi pergantungan dalam hidup ini, dan yang pada-Nya kami, dengan rahmat dan karunia Allah, berpegang sampai saat terakhir dari hayat kami di bumi ini, ialah bahwa junjungan dan penghulu kami, Nabi Muhammad SAW., adalah Khaataman-Nabiyyin dan Khairul Mursalin, yang termulia dari antara nabi-nabi. Di tangan beliau hukum syari’at telah disempurnakan. Karunia yang sempurna ini pada waktu sekarang adalah satu-satunya penuntun ke jalan yang lurus dan satu-satunya sarana untuk mencapai “kesatuan” dengan Tuhan Yang Maha Kuasa”.

c) Dalam Buku Taudhih Marram, terbit 1891, beliau menulis :

“Martabat luhur yang diduduki junjungan dan penghulu kami, yang terutama dari semua manusia, Nabi yang paling besar, Hadhrat Khatamun-Nabiyyin SAW., telah berakhir dalam diri beliau yang didalamnya terhimpun segala kesempurnaan dan yang sebaliknya tak dapat dicapai manusia”.

d) Dalam Buku Bahtera Nuh, terbit 1902, beliau menulis :

“Apa yang Tuhan kehendaki dari dirimu berkenaan dengan segi kepercayaan hanyalah demikian : Tuhan itu Esa dan Muhammad SAW., adalah nabi-Nya serta Khatamul Anbiya, lagi beliau adalah termulia”

c) Dalam Buku Tuhfatu Baghdad, hal 23, beliau menulis:

“Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya kami beriman kepada Allah sebagai Tuhan, dan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang nabi, serta kami beriman, beliau adalah Khaataman-nabiyyin”.

4. Hemat saya, pelajaran-pelajaran dan pernyataan-pernyataan Pendiri Ahmadiyah tentang Rasulullah SAW., sebagai Khaataman-Nabiyyin ini, membuktikan tudingan yang dilontarkan sebagian orang yang mengatakan Ahmadiyah tidak meyakini dan mengingkari Rasulullah SAW., sebagai Khataman-Nabiyyin adalah tidak benar. Isu, dan tuduhan, Ahmadiyah tidak meyakini Rasulullah SAW., sebagai Khaataman-Nabiyyin, adalah mengada-ada, dan fitnah besar, yang hukumnya, satara bahkan lebih kejam daripada pembunuhan (Al-Baqarah, 2:191, 217)

5. Sejauh yang saya ketahui dan saya fahami, dari pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan selama saya mengaji, berguru kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, Khaataman-Nabiyyin” berarti : Nabi terakhir, penutup segala nabi, tidak akan ada lagi nabi sesudahnya, baik nabi lama atau pun nabi baru” Pelajaran-pelajaran Pendiri Ahmadiyah, berkenaan dengan Nabi Muhammad sebagai “Khataman-Nabiyyin” dalam arti seperti diatas, dapat dibaca dalam berbagai buku yang ditulis dan disebarluaskan beliau, al :

a) Dalam Buku Bahtera Nuh, beliau menulis :

“Apa yang Tuhan kehendaki dari dirimu berkenaan dengan segi kepercayaan hanyalah demikian : Tuhan itu Esa dan Muhammad SAW., adalah nabi-Nya serta Khatamul Anbiya, lagi beliau adalah termulia. Sesudah beliau, kini tiada nabi lagi kecuali yang secara buruzi (bayangan) dikenakan jubah Muhammadiyat”. (Bahtera Nuh, hal. 24)

b) Dalam Buku Al-Wasiat, beliau menulis :

“..........Untuk sampai kepada-Nya, semua pintu tertutup, kecuali sebuah pintu yang dibukakan oleh Quran Majid. Dan semua kenabian dan semua Kitab-kitab yang terdahulu tidak perlu lagi diikuti, sebab kenabian Muhammadiyah mengandung dan meliputi kesemuanya itu. Selain ini, semua jalan tertutup. Semua jalan yang sampai kepada Tuhan terdapat didalamnya. Sesudahnya tidak akan datang kebenaran baru, dan tidak pula sebelumnya ada suatu kebenaran yang tidak terdapat didalamnya. Sebab itu, diatas kenabian ini habislah semua kenabian. Memang, sudah sepantasnya demikian, sebab sesuatu yang ada permulaannya, tentu ada pula kesudahanya”. (Al-Wasiat, hal. 24-27)

c) Dalam Buku Filsafat Ajaran Islam, beliau menulis :

Ya, karena segala keperluan telah sempurna, maka syariat serta hukum-hukum pun telah sempurna. Dan seluruh kerasulan serta kenabian telah mencapai kesempurnaannya pada titik yang terakhir, dalam wujud Junjungan kita Muhammad SAW”. (Filsafat Ajaran Islam, hal. 68-69)

d) Dalam Buku Anjam-e-Atham, beliau menulis :

“Dan hakikat yang sebenarnya, saya berikan kesaksian sepenuhnya, Nabi kita, Muhammad SAW, adalah Khaatamul Anbiyaa dan sesudah beliau SAW, tidak ada lagi nabi yang datang, (yakni nabi) yang lama maupun baru....”. (Anjam-e-Atham, catatan kaki, hal. 27-28, dan dalam Mahzarnamah, Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat Ahmadiyah, Islam International Publikacations 2002, hal. 83-84

e) Dalam Buku Ek Ghalati Ka Izalah, beliau menulis :

“.... Aku percaya sepenuhnya kepada ayat ‘waakir-rasulullahi wa khaataman-nabiyyin’. Dalam ayat itu tersimpan satu nubuwwatan yang tidak diketahui atau dipahami oleh orang-orang yang memusuhiku. Allah SWT, berfiman dalam ayat itu, bahwa sesudah yang Mulia Muhammad SAW., maka pintu-pintu kenabian sudah ditutup sampai hari kiamat. Sekarang sudah tidak mungkin lagi ada seorang Hindu, Yahudi, atau Kristen, atau orang Islam yang ikut-ikutan, dapat menyandangkan gelar ‘nabi’ kepada dirinya. Semua pintu kenabian sudah ditutup, kecuali satu, yaitu pintu perjalanan shiddiqiyyat, yang dinamakan juga fana firrasul. ....

f) Imam Jemaat Ahmadiyah ke-2, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra, Dalam Terjemah-Tafsir Al-Qurannya, menulis :

“Khatam berasal dari kata khatama yang berarti, ia memeterai, mencap, mensahkan atau mencetakan pada barang itu. Arti kedua, ia mencapai ujung benda itu; atau menutupi benda itu, atau melindungi apa yang tertera dalam tulisan dengan memberi tanda atau mencapkan secercah tanah liat di atasnya, atau dengan sebuah meterai jenis apa pun. Khatam berarti juga sebentuk cincin stempel; sebuah segel, atau materai dan sebuah tanda; ujung atau bagian terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda. Kata itu pun berarti hiasan atau perhiasan; terbaik atau paling sempurna. Kata-kata khatim, khatim dan khatam hampir sama artinya (Lane, Mufradat, Fat-h, dan Zurqani). Maka kata khataman nabiyyin akan berarti : mererai para nabi; yang terbaik dan paling sempurna dari antara nabi-nabi ; hiasan dan perhiasan nabi-nabi, dan Nabi terakhir. (Al-Quran Dengan Terjemah dan Tafsir Singkat, Islam International Publication Limited 2002:1459, Catatan kaki No. 2359).

g) Imam Jemaat Ahmadiyah ke-3, Hadhrat Hafiz Mirza Nasir Ahmad, di depan Parlemen Pakistan, menyatakan :

“Yang Mulia, Muhammad Rasulullah SAW., adalah satu-satunya dalam kedudukan Muhammadiyat beliau. Selain beliau tidak ada orang lain yang memperoleh kedudukan itu. Beliau SAW adalah Khaataman Nabiyyin. Dan dari segi pengangkatan/ketinggian rohani, beliau SAW, adalah nabi terakhir. Beliau SAW, sudah menjadi nabi terakhir sejak saat Adam as, belum menjadi nabi, dan bahkan sejak beliau SAW, belum di anugrahi wujud jasmani”. (Mazharnamah, Islam Internasional Publication 2002:106)

6. Sejauh yang saya ketahui dan saya fahami, berdasar referensi diatas, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, Imam Jemaat Ahmadiyah ke-2 dan ke-3, menerima dan meyakini Khaataman-Nabiyyin berarti : penutup nabi-nabi, nabi terakhir, tidak akan ada lagi Nabi, baik nabi lama atau pun nabi. Namun, Pendiri Ahmadiyah, dan Imam Jemaat Ahmadiyah ke-2 dan ke-3, tidak menolak ada arti lain, seperti : yang paling mulia, yang paling afdhal, yang paling semurna, cincin, cap, dan stempel. Cincin, dalam pengertian sebagai sumber perhiasan/keindahan para nabi, dan Cap/Stempel, dalam pengertian tidak ada nabi yang dibenarkan kenabiannya baik dimasa lalu maupun dimasa yang akan datang, tanpa pengesahan atau segelKhaataman-nabiyyin”, Nabi Muhammad SAW.

7. Sejauh yang saya ketahui dan saya fahami, dari pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan selama saya mengaji, berguru kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, yang dimaksud Nabi Lama oleh Pendiri Ahmadiyah ialah Nabi Isa as, seperti diyakini umat Islam akan datang pada akhir zaman. Sedangkan yang dimaksud dengan Nabi Baru ialah nabi yang membawa agama baru, kitab suci baru, kalimah syahadat baru, terpisah dari Islam dan Nabi Muhammad SAW.

Dua macam nabi ini – nabi lama atau nabi baru, menurut Pendiri Ahmadiyah, kedua-duanya, tidak boleh datang sepeninggal Rasulullah SAW,. Jika Nabi Isa as, datang - seperti diyakini umat Islam, maka kedatangannya – menurut Pendiri Ahmadiyah, akan merusak segel Khataman-Nabiyyin, Nabi Muhammad SAW. Begitu pula nabi baru - yang membawa agama baru, kitab suci baru, kalimah syahadat baru, terpisah dari Islam dan Nabi Muhammad SAW., jika ia datang maka kedatangannya juga akan merusak segel Khataman-Nabiyyin, Nabi Muhammad SAW,.

(Penjelasan selengkapnya tentang dua macam nabi ini - nabi lama atau nabi baru, dapat dibaca dalam Ek Galati Ka Izalah, hal. 4-6, dan dalam Mahzarnamah, Penjelasan/Pembuktian Akidah Jemaat Ahmadiyah, Islam International Publikacations 2002, hal. 85-89)

8. Hemat saya, makna khaataman-Nabiyyin yang di fahami, diyakini, dan diajarkan Pendiri Ahmadiyah, jauh lebih hebat dibanding dengan makna khaataman-Nabiyyin yang di fahami, dan diyakini, umat Islam umumnya.

Umat Islam umumnya, memahami dan meyakini, khaataman-nabiyyin berarti penutup segala nabi, tidak ada lagi nabi sesudahnya. Tetapi, umat Islam juga meyakini, kelak di akhir zaman akan datang lagi Nabi Isa as. Pling-plan. Katanya, Rasulullah SAW, adalah khaataman-nabiyyin - penutup segala nabi, tidak ada lagi nabi sesudahnya, tetapi mereka meyakini, Nabi Isa as, akan datang di akhir zaman.

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, memahami, meyakini, dan mengajarkan, karena Rasulullah SAW., adalah Khaataman Nabiyyin - penutup segala nabi, maka sesudah beliau SAW., tidak boleh lagi datang nabi, baik nabi lama (seperti Nabi Isa as.,) atau Nabi baru (yang bawa agama baru, kitab suci baru, kalimah syahadat baru – seperti misalnya, Bahai, Ahmad Mushaddiq). Nabi lama maupun nabi baru, jika datang, ia akan merusak segel Khaataman-Nabiyyin Nabi Muhammad SAW,.

9. Jika Nabi Isa as, tidak boleh datang sepeninggal Rasulullah SAW., karena jika datang, berarti ia akan merusak segel Khaataman-Nabiyyin Rasulullah SAW., lalu bagimana dengan nubuwwat Nabi Muhammad SAW., yang mengabarkan akan turunnya Isa bin Maryam pada akhir zaman?

10. Sejauh yang saya ketahui dan saya fahami, dari pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan selama saya mengaji, berguru kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, nubuwwat akan datangnya kembali Nabi Isa as., di akhir zaman tidak salah. Nubuwwat itu benar, dan akan menjadi sempurna, bahkan menurut Pendiri Ahmadiyah, telah sempurna. Namun, yang dinubuwwatkan akan datang oleh Rasulullah SAW., pada kahir zaman, bukan Nabi Isa as, yang dahulu, yang pernah diutus Allah kepada Bani Israel. Nabi Isa as, yang dahulu telah wafat. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, menyatakan : “Hendaknya, anda mengerti dengan seyakin-yakinnya, Isa ibnu Maryam telah wafat dan kuburannya terdapat di desa Khanyar, kota Srinagar, Kasymir”. (Bahtera Nuh, hal. 24) “Biarkanlah beliau wafat, agar agama (Islam) ini hidup”. (Bahtera Nuh, hal. 25).

11. Sejauh yang saya ketahui dan saya fahami, dari pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan selama saya mengaji, berguru kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, Nabi Isa yang Dijanjikan akan datang pada akhir zaman, sesuai nubuwwat Nabi Muhammad SAW., berasal dari lingkungan umat Islam, akan menjadi imam umat Islam, dan dari antara umat Islam. Nabi Muhammad SAW, bersabda:

ﻜﻴﻒﺍﻨﺘﻢﺍﺬﺍﻨﺰﻞﺍﺒﻦﻤﺮﻴﻢﻔﻴﻜﻢﻮﺍﻤﺎﻤﻜﻢﻤﻨﻜﻢ

Hadits ini memberi petunjuk, Nabi Isa as yang akan datang berasal dari lingkungan umat Islam, akan jadi imam umat Islam dan dari antara umat Islam. Artinya, karena ia memiliki spirit Isa ibnu Maryam, atau karena ia menjadi buruz (bayangan) Isa ibnu Maryam, sehingga ia bergelar Isa ibnu Maryam.

12. Sejauh yang saya ketahui dan saya fahami, dari pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan selama saya mengaji, berguru kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, Isa ibnu Maryam Yang Dijanjikan itu telah datang, dalam person (pribadi) Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah. Kepada khalayak ramai, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, menyatakan : “Maka, aku-lah sesungguhnya Masih yang dijanjikan itu”. (Bahtera Nuh, hal. 22)

13. Sejauh yang saya ketahui dan saya fahami, dari pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan selama saya mengaji, berguru kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, Isa ibnu Maryam Yang Dijanjikan kedatangannya oleh Rasulullah SAW, yang berasal dari kalangan umat Islam itu, jika datang, tidak akan mengurangi martabat, dan tidak akan merusak segel “khaataman-nabiyyin” Nabi Muhammad SAW,. Sebab, selain memiliki spirit Isa, dan menjadi buruz (bayangan) Isa, ia juga menjadi buruz (bayangan) Rasulullah SAW,. Beliau berkata :

"Apa yang Tuhan kehendaki dari dirimu berkenaan dengan segi kepercayaan hanyalah demikian : Tuhan itu Esa dan Muhammad SAW., adalah nabi-Nya serta Khatamul Anbiya, lagi beliau adalah termulia. Sesudah beliau kini tiada nabi lagi kecuali yang secara buruzi (bayangan) dikenakan jubah Muhammadiyat. Sebab seorang khadim tidaklah terpisah dari makhdum-nya (majikannya), demikian pula sebuah dahan tidak terpisah dari akarnya. Maka, barangsiapa karena sama sekali melarutkan diri di dalam wujud majikannya dan menerima gelar kenabian dari Tuhan, ia tidak mencemari gelar Khatamun Nubuwwat. Tak ubahlah halnya seperti kamu sekalian melihat rupamu pada cermin, kamu tidak menjadi dua bahkan kamu tetap satu adanya, kendatipun nampaknya dua. Bedanya hanya terletak dalam bentuk zil (bayangan) dan bentuk asal belaka. Demikianlah Tuhan menghendaki tentang seorang Masih Mau’ud. Disinilah letak rahasia Sabda Rasulullah SAW., yang mengatakan, Masih Mau’ud akan dikubur di dalam kuburan beliau SAW., yakni orang yang dimaksud itu akulah dan dalam hal ini (antara wujud Rasulullah SAW., dan Masih Mau’ud as.), tidak terdapat perlainan”. (Bahtera Nuh, hal. 24)

14. Sejauh yang saya ketahui dan saya fahami, dari pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan selama saya mengaji, berguru kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, sepeninggal Rasulullah SAW., orang tidak bisa lagi mengenakan istilah nabi kecuali bila ia lebih dulu menjadi ummati. Pintu kenabian sesudah Rasulullah SAW., sudah tertutup kecuali melalui dan didalam Nabi Muhammad SAW,. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, berkata :

“Sesudah Nabi Muhammad SAW., tidak boleh lagi mengenakan istilah Nabi kepada seseorang, kecuali bila ia lebih dahulu menjadi seorang ummati dan pengikut dari Nabi Muhammad SAW”. (Tajalliyat-i-Ilahiyah, 1906, hal. 9)

“Semua pintu kenabian telah tertutup kecuali pintu penyerahan seluruhnya kepada Nabi Muhammad SAW., dan pintu fana seluruhnya ke dalam beliau”. (Ek Ghalti ka Izala, 1901, hal. 3)

Lembaga Kenabian telah tertutup, kecuali melalui dan di dalam Nabi Muhammad SAW., Nabi pembawa syari’at tidak mungkin lagi datang. Seorang Nabi tanpa syariat baru bisa datang, tetapi lebih dulu ia harus seorang ummati, yakni seorang pengikut Nabi Muhammad SAW”. (Tajalliyat-i Ilahiyah, 1906, hal. 20)

“.......Sesudah yang mulia Muhammad SAW., maka pintu-pintu kenabian sudah ditutup sampai hari kiamat. Sekarang sudah tidak mungkin lagi ada seorang Hindu, Yahudi, atau Kristen, atau orang Islam yang ikut-ikutan, dapat menyandangkan gelar ‘nabi’ kepada dirinya. Semua pintu kenabian sudah ditutup, kecual satu, yaitu pintu perjalanan shiddiqiyyat, yang dinamakan juga fana firrasuul. Barangsiapa yang datang kepada Allah SWT melalui pintu itu, akan dianugrahi pakaian kenabian secara zhilli (bayangan) yaitu pakaian kenabian Muhammad SAW. Oleh karena itu kedudukannya sebagai nabi tidak sewajarnya kita tolak karena kenabiannya itu bukan dari dirinya sendiri, tapi diambilnya dari mata air Nabi Muhammad SAW., dan bukan juga untuk dirinya sendiri tapi semata-mata untuk kemuliaan dan kejayaan Nabi Muhammad SAW”. (Ek Ghalati Ka Izalah, hal. 3-4)

“..........Untuk sampai kepada-Nya, semua pintu tertutup, kecuali sebuah pintu yang dibukakan oleh Quran Majid. Dan semua kenabian dan semua Kitab-kitab yang terdahulu tidak perlu lagi diikuti, sebab kenabian Muhammadiyah mengandung dan meliputi kesemuanya itu. Selain ini, semua jalan tertutup. Semua jalan yang sampai kepada Tuhan terdapat didalamnya. Sesudahnya tidak akan datang kebenaran baru, dan tidak pula sebelumnya ada suatu kebenaran yang tidak terdapat didalamnya. Sebab itu, diatas kenabian ini habislah semua kenabian. Memang, sudah sepantasnya demikian, sebab sesuatu yang ada permulaannya, tentu ada pula kesudahanya. Akan tetapi Kenabian Muhammadiyah ini tidak akan kurang-kurang mengalirkan air ruhaninya. Malah diantara semua kenabian, yang paling banyak aliran air keruhaniannya adalah didalamnya. Mengikuti kenabian ini, dengan jalan yang sangat mudah dapat menyampaikannya kepada Tuhan. Dengan mengikutinya akan lebih banyak menerima hadiah kelezatan cinta kepada Allah Ta’ala dan hadian bercakap-cakap dengan Dia, lebih dari yang dulu-dulu. Tetapi mengikutinya dengan sesempurna-sempurnanya bukan saja dinamai Nabi, karena kalau begini berarti penghinaan terhadap Kenabian Muhammadiyah yang telah cukup dan sempurna; ya kata-kata ummati dan nabi kedua-duanya sekaligus tepat padanya........................Jadi, untuk menghindarkan dua kesulitan ini, Alah Ta’ala menganugrahi kehormatan “mukalamah-mukhatabah” – berkata-kata, berbicara dengan Tuhan, yang sempurna dan yang suci itu hanya kepada sebagian umat yang betul-betul telah sampai kepada derajat Fana Fir Rasul, tidak ada hijab yang menghalangi, dan mafhum umat serta arti itaat, benar-benar di peroleh pada diri mereka dalam arti yang sesempurna-sempurnanya, sehingga wujud mereka bukan wujud mereka lagi, bahkan dalam kaca kefanaan mereka terbayang wujud J.M. Rasulullah s.a.w. Serta di fihak lain mereka mendapat pula mukalamah-mukhatabah Ilahiah – berkata-kata, berbicara dengan Tuhan dalam cara sesempurna-sempurnanya seperti para nabi”. (Al-Wasiat, hal. 24-27)

“Sesudah beliau kini tiada nabi lagi kecuali yang secara buruzi (bayangan) dikenakan jubah Muhammadiyat. Sebab seorang khadim tidaklah terpisah dari makhdum-nya (majikannya), demikian pula sebuah dahan tidak terpisah dari akarnya. Maka, barangsiapa karena sama sekali melarutkan diri di dalam wujud majikannya dan menerima gelar kenabian dari Tuhan, ia tidak mencemari gelar Khatamun Nubuwwat. Tak ubahlah halnya seperti kamu sekalian melihat rupamu pada cermin, kamu tidak menjadi dua bahkan kamu tetap satu adanya, kendatipun nampaknya dua. Bedanya hanya terletak dalam bentuk zil (bayangan) dan bentuk asal belaka”. (Bahtera Nuh, hal. 24)

15. Sejauh yang saya ketahui dan saya fahami, dari pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan selama saya mengaji, berguru kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, kenabian yang diproklamirkan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, adalah kenabian buruzi atau zhilli, bukan kenabian hakiki. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad menulis :

“Ringkasnya, kenabian dan kerasulan saya adalah berdasarkan kedudukan sebagai Muhammad SAW., dan Ahmad SAW., bukan berdasarkan diri saya sendiri. Dan nama itu saya peroleh karena Fana Fir Rasul SAW, (mabuk dalam kecintaan terhdap Rasulullah SAW). Oleh karena itu makna khaataman-nabiyyin tidak terganggu”. (Ek Ghalati Ka Izalah, sekarang dalam Mazharnamah, hal. 87)

“Akan tetapi, mukaalamat dan mukhaatabat (percakapan) yang saya peroleh dari Allah Ta’ala, yang didalamnya banyak sekali terdapat kata nubuwwat (kenabian) dan risalat (kerasulan), saya tidak dapat menyembunyikannya karena saya diperintahkan. Namun, berkali-kali saya katakan, bahwa kata mursil atau rasul atau nabi yang terdapat didalam ilham-ilham itu mengenai diri saya, itu bukanlah dalam makna-makna hakiki. Dan hakikat yang sebenarnya, saya berikan kesaksian sepenuhnya, Nabi kita, Muhammad SAW, adalah Khaatamul Anbiyaa dan sesudah beliau SAW, tidak ada lagi nabi yang datang, (yakni nabi) yang lama maupun baru. Barangsiapa berkata sesudah Rasulullah SAW, bahwa “Aku adalah nabi dan rasul dalam makna hakiki, sedangkan dia berdusta dan meninggalkan Al-Quran serta hukum-hukum syariat yang mulia, berarti dia kafir dan pendusta”. (Anjam-e-Atham, catatan kaki, hal. 27-28, sekarang dalam Mahzarnamah, hal. 83-84)

“.... Dalam makna, saya telah memperoleh karunia/berkat-berkat dari Rasul panutan saya, dan saya telah memperoleh namanya untuk diri saya, dan melalui perantaraannya saya telah memperoleh ilmu ghaib dari Allah, (dalam makna-makna itulah) saya rasul dan nabi, tetapi tanpa syariat baru. Saya tidak pernah mengingkari sebutan nabi dalam makna demikian. Justru dalam makna-makna itu Allah telah menyebut saya nabi dan rasul. Jadi, sekarang pun saya tidak mengingkari kedudukan sebagai nabi dan rasul dalam makna-makna tersebut. Dan ucapan saya adalah, saya bukanlah rasul dengan kitab syariat baru. Ya, ini pun hendaknya harus diingat dan jangan sekali-kali dilupakan, yakni walau pun saya dipanggil dengan kata nabi dan rasul, kepada saya telah diberitahukan oleh Allah bahwa segenap karunia/berkat itu bukan tanpa perantara telah turun pada saya, melainkan di Langit terdapat satu wujud suci yang berkat-berkat rohaninya telah meliputi diri saya, yakni Muhammad Musthafa shalallaahu ‘alaihi wassalam. Dengan menjunjung perantaraan (hubungan) itu, dan dengan menyatu didalamnya, dan dengan menyandang namanya – Muhammad dan Ahmad, saya juga adalah seorang rasul dan seorang nabi. Yakni, saya telah diutus dan saya juga telah memperoleh kabar-kabar ghaib. Dan dengan cara demikian, stempel/segel Khaataman-Nabiyyin tetap terpelihara. Sebab saya telah memperoleh nama itu secara pantulan dan bayangan melalui cermin kecintaan. Jika ada orang yang murka atas wahyu Ilahi ini, yakni mengapa Allah Ta’ala menamakan saya sebagai nabi dan rasul, berarti itu kebodohannya. Sebab dengan kedudukan saya sebagai nabi dan rasul (seperti itu), tidak meruntuhkan stempel/segel Allah”. (Ek Ghalati Ka Izalah, hal 6-7, sekarang dalam Mahzarnamah, hal. 84-85)

“Jika saya bukan umat Rasulullah SAW., dan tidak mengikuti beliau SAW., maka walau pun amal-amal saya sama dengan segenap gunung di dunia ini, tetap saja saya sekali-kali tidak akan pernah memperoleh anugrah mukaalamah mukhaatabah. Sebab, sekarang selain kenabian Muhammad SAW., segenap kenabian telah tertutup”. (Tajalliyat-e-Ilahiyyah, hal. 24-25, sekarang dalam Mazharnamah, hal. 94)

  1. Sejauh yang saya ketahui dan saya fahami, dari pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan selama saya mengaji, berguru kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, beliau (Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah), juga menolak disebut nabi yang membawa agama dan syariat, nabi yang berdiri sendiri (mustaqil) – terpisah dari Islam dan Rasulullah SAW., yang dalam istilah beliau disebut nabi “hakiki”. Beliau menyatakan :

“Tuduhan yang dilemparkan kepada saya ialah bahwa bentuk kenabian yang saya akui buat diri saya menyebabkan saya keluar dari Islam. Dengan perkataan lain saya dituduh mempercayai bahwa saya adalah nabi yang berdiri sendiri, seorang nabi yang tak perlu mengikuti Al-Quran Suci, dan bahwa kalimah saya lain dan qiblat saya berubah. Juga saya disangkakan menghapus syariat dan memutuskan tali kesetiaan kepada Nabi Muhammad SAW,. Tuduhan itu sama sekali palsu. Sesuatu pengakuan kenabian seperti itu adalah kufur; ini jelas. Bukan hanya kini, tetapi dari sejak permulaan sekali, saya selalu mengemukakan dalam buku-buku saya, bahwa saya tidak mengakui kenabian seperti itu untuk saya. Itu sama sekali adalah tuduhan kosong dan suatu cercaan terhadap saya. Keadaan sebenarnya hanyalah ini: Bila saya menyebutkan diri saya seorang nabi, saya maksudkan hanya bahwa Allah SWT., berbicara dengan saya dan Dia bercakap-cakap dengan saya dan menerima pengabdian saya, dan mewahyukan kepada saya hal-hal ghaib, dan membukakan kepada saya rahasia-rahasia yang berhubungan dengan masa datang dan yang tidak akan Dia bukakan kepada seseorang yang tidak Dia cintai dan dekat kepada-Nya. Sesungguhnya, Dia mengangkat saya sebagai nabi, dalam arti itu”. (Ahmad, Akhbar-i-Am, 26 Mei 1908 : 7; Tabligh-i-Risalat, t.t. : 132-134 )

17. Sejauh yang saya ketahui dan saya fahami, dari pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan selama saya mengaji, berguru kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, beliau (Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah), sangat menentang dan menolak kehadiran nabi yang membawa agama dan syariat baru, nabi yang berdiri sendiri (mustaqil) atau yang dalam istilah beliau disebut nabi “hakiki”. Beliau menyatakan :

“Akidah kami adalah, seseorang yang mendakwakan kenabian secara hakiki dan melepaskan dirinya dari karunia/berkat-berkat Rasulullah SAW, serta memisahkan diri dari mata air suci itu, lalu dia ingin secara langsung menjadi nabi Allah, berarti dia itu sesat dan tidak beragama. Dan orang seperti itu akan membuat suatu kalimat syahadat tersendiri dan akan menciptakan cara baru dalam peribadatan serta akan mengadakan perubahan dalam hukum-hukum. Jadi, tidak disangsikan lagi, dia adalah saudara bagi Musailamah Kadzzab. Dan tidak diragukan lagi sedikitpun mengenai kekafirannya. Mengenai orang bejad seperti itu bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa dia mempercayai Quran Syarif”. (Anjam-e-Atham, catatan kaki, hal. 27-28, sekarang dalam Mahzarnamah, hal. 84)

“Barangsiapa berkata sesudah Rasuullah SAW., bahwa ‘Aku adalah nabi dan rasul dalam makna hakiki’, sedangkan dia berdusta dan dia meninggalkan Al-Quran serta hukum-hukum Syariat yang mulia (Al-Quran), berarti dia kafir dan pendusta”. (Anjam-e-Atham, catatan kaki, hal. 27-28, sekarang dalam Mahzarnamah, hal. 84)

18. Sejauh yang saya ketahui dan saya fahami, dari pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan selama saya mengaji, berguru kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, sepeninggal Rasulullah SAW., meskipun bukan nabi pembawa syariat, tidak akan ada seorang pun yang dapat meraih pangkat kenabian secara langsung. Beliau menyatakan :

“Kesimpulan dari ayat ini adalah kenabian tetap telah terputus walaupun bukan pembawa syariat, yakni dalam arti, tidak seorang pun yang dapat meraih pangkat kenabian secara langsung”. (Mahzarnamah, hal. 91)

“Tidak ada jalan ke arah itu hingga hari kiamat. Barangsiapa yang mengatakan, dia bukan dari umat Muhammad SAW, dan dia mendakwakan, dia adalah nabi pembawa syariat atau nabi tanpa membawa syariat tetapi bukan dari kalangan umat ini, maka tamsilnya adalah sebagai seseorang diterjang banjir dahsyat yang menghanyutkannya sampai mati”. (Mahzarnamah, hal. 89-90)

19. Sejauh yang saya ketahui dan saya fahami, dari pelajaran-pelajaran yang saya dapatkan selama saya mengaji, berguru kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as, Pendiri Ahmadiyah, sepeninggal Rasulullah SAW., derajat/pangkat kenabian bisa dicapai hanya melalui kepengikutan dan kefanaan kepada Nabi Muhammad SAW,. Beliau menyatakan :

“Sekarang, hal ini sudah jelas, setelah Rasulullah SAW., pintu kenabian mandiri (mustaqil) yang diperoleh secara langsung, sudah tertutup hingga Kiamat. Dan selama (seseorang pendakwa) tidak mengandung hakikat ummati di dalam dirinya dan tidak menempatkan dirinya sebagai hamba Yang Mulia Muhammad SAW., maka selama itu dia tidak dapat tampil sesudah Rasulullah SAW.” (Mahzarnamah, hal. 91-92)

“Sekarang pangkat kenabian hanya dapat diraih oleh orang yang didalam amal perbuatannya terdapat stempel ittiba’ Nabawi SAW, (mengikuti Rasulullah SAW,.) Dan, dengan demikian, orang itu merupakan putra Rasulullah SAW., serta merupakan ahli-waris Beliau SAW,.” (Mahzarnamah, hal. 90)

20. Hingga penjelasan ke-19, saya kira, penjelasan saya, sudah lebih dari cukup. Kesimpulannya, dapat saya rangkum, sbb:

§ Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, menyakini dan mengajarkan, Rasulullah Muhammad SAW., adalah Khaataman-Nabiyyin.

§ Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, dan Imam Jemaat Ahmadiyah ke-2 dan ke-3, meyakini dan mengajarkan Khaataman-Nabiyyin berarti penutup nabi-nabi, nabi terakhir, dan tidak ada lagi nabi. Namun, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, dan Imam Jemaat Ahmadiyah ke-2 dan ke-3, tidak menolak ada arti lain Khaataman-Nabiyyin, seperti : yang paling mulia, paling afdhal, paling sempurna, cincin – dalam arti sebagai sumber perhiasan para nabi, cap/stempel – dalam arti tidak ada nabi yang dibenarkan kenabiannya baik dimasa lalu atau pun dimasa datang tanpa pengesahan cap/stempel/segel “Khaataman-Nabiyyin” Nabi Muhammad SAW.

§ Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, menyakini dan mengajarkan, karena Rasulullah SAW., adalah Khaataman-Nabiyyin - penutup nabi-nabi, nabi terakhir, dan tidak ada lagi nabi, maka sesudah beliau SAW., tidak ada lagi nabi, baik nabi lama – seperti Nabi Isa as yang diyakini umat Islam akan datang pada akhir zaman, atau pun nabi baru – yang membawa agama baru, kitab suci baru, kalimah syahadat baru (seperti Bahai atau Ahmad Mushaddiq), nabi tasyri’ maupun nabi ghairi tasyri’, jika ia mustaqil – berdiri sendiri, terpisah dari Islam dan Rasulullah SAW. Sebab, jika kedua macam nabi ini datang, ia akan merusak segel “Khaataman-Nabiyyiin” Nabi Muhammad SAW,.

§ Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, menyakini dan mengajarkan, kenabian yang mungkin dicapai sepeninggal Rasulullah SAW., ialah kenabian yang melalui dan didalam Nabi Muhammad SAW., melalui jendela Fana Fir-Rasul, melalui pintu penyerahan, pintu fana, pintu ittiba’, seluruhnya kedalam beliau SAW., sehingga ia pun menjadi putra dan pewaris Rasulullah SAW,. Kenabian seperti ini, tidak akan mengurangi martabat Rasulullah SAW., sebagai Khaataman-Nabiyyin, dan tidak akan merusak segel “Khaataman-Nabiyyin” Nabi Muhammad SAW,. Sebab, pada hakikatnya, kenabian seperti ini bukan kenabian dia lagi, melainkan kenabian Rasulullah SAW., juga yang zahir dalam satu cara yang baru. Wujud mereka bukan wujud mereka lagi. Dalam kaca kefanaan mereka terbayang wujud Yang Mulia Rasulullah SAW,. Kenabiannya, bukan karena dirinya, melainkan karena mata air dari Nabi-nya. Kenabiannya, bukan untuk dirinya, melainkan untuk keperkasaan Nabi-nya SAW,. Kenabian jenis ini, dalam istilah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, dikenal dengan istilah: Zhilun-Nabi, Buruzin-Nabi, dan Ummati Nabi.

21. Akhirnya, saya ingin menutup penjelasan saya ini dengan mengutip pernyataan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, sbb:

“Ingatlah, ini merupakan keimanan kami, Kitab terakhir dan syariat terakhir adalah Al-Quran. Dan sesudah itu, hingga Kiamat, tidak akan ada lagi nabi dalam makna, dia pembawa syariat, atau dia dapat memperoleh wahyu tanpa perantaraan mengikuti Rasulullah SAW., melainkan pintu itu telah tertutup hingga Kiamat. Sedangkan pintu-pintu untuk memperoleh anugrah wahyu dengan cara mengikuti Nabi Muhammad SAW., tetap terbuka hingga Kiamat. Wahyu (kenabian) yang diperoleh karena mengikuti Rasulullah SAW., tidak pernah terputus. Namun, kenabian yang membawa syariat atu kenabian mandiri, sudah terputus. Tidak ada jalan ke arah itu hingga hari kiamat. Barangsiapa yang mengatakan, dia bukan dari umat Muhammad SAW, dan dia mendakwakan, dia adalah nabi pembawa syariat atau nabi tanpa membawa syariat tetapi bukan dari kalangan umat ini, maka tamsilnya adalah sebagai seseorang diterjang banjir dahsyat yang menghanyutkannya sampai mati”. (Mahzarnamah, hal. 89-90)

22. Jika kepada Menteri Agama Surya Darma Ali terkait dengan rencananya membubarkan Ahmadiyah saya mengatakan : Lanjutkan, maka kepada teman-teman Millisser terutama Maulana Dildar Ahmad Dartono, dengan kutipan Pendiri Jemaat Ahmadiyah ini, saya ingin mengatakan : Laa Tahzan!

Insya Allah, keimanan saya terhadap Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, al-Masih al Mau’ud, al-Mahdi al-Mauud, yang mendapat kehormatan mengenakan jubah kenabian Muhammad, Pendiri Jemaat Ahmadiyah, tidak akan berkurang dan tidak akan mengalami erosi.

Insya Allah, keyakinan ini akan saya pegang hingga akhir hayat, dan saya akan memegangnya tidak hanya untuk kepentingan saya sendiri, tapi akan saya bagikan kepada istri, anak, saudara, tetangga, teman, dan seluruh makhluk Allah di bumi.

Insya Allah, SKB Tiga Menteri, tidak akan menghentikan langkah saya menyampaikan keyakinan saya atas status kenabian Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jemaat Ahmadiyah. Yang dapat menghentikan saya hanya dua : nafas terakhir, dan maut.

Sekali lagi : Laa Tahzan!

Semarang, 15/09/10


(H.M. Syaeful ‘Uyun)

4 komentar:

  1. Diskusi internal itu konsumsi internal ahmadi. kalau dah dimuat di blog berarti sudah go publik.

    Memang mungkin ada perbedaan pendapat, perbedaan istilah dan sebagainya...

    Tapi harap menjaga ru'ub (wibawa n kekompakan) jemaat dengan tidak menjadikannya terpublik..

    argumentasi benar itu menarik...tapi kebijaksanaan lebih baik...tidak ditinggalkan

    BalasHapus
  2. https://www.facebook.com/groups/dialog.sehat.seputar.ahmadiyah/1809885535903474/

    BalasHapus
  3. https://www.facebook.com/groups/dialog.sehat.seputar.ahmadiyah/1813773952181299/

    BalasHapus
  4. http://ahmadiyah.adatuh.com/polemik/menjawab-skema-kenabian-versi-agama-ahmadiyya#comment-19

    BalasHapus