Sabtu, 11 Juli 2009

POKOK- POKOK KEPERCAYAAN JAMAAH AHMADIYAH

ﻢﻳﺮﻛﻟﺍﻪﻟﻮﺳﺭ ﻰﻠﻋﻰﻠﺼﻧﻭ ﻩﺪﻤﺤﻧ ﻡﻴﺣﺮﻟﺃﻦﻣﺣﺮﻟﺃﻪﻠﻟﺍﻢﺳﺑ
JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA
Badan Hukum Keputusan Menteri Kehakiman R.I. No. JA.5/23/13 Tgl.13-3-1953
DEWAN PIMPINAN WILAYAH NUSA TENGGARA BARAT
Sekretariat : Jl. Margapati No. 6, Tlp. 0370-625517, Mataram 83121

Ref. No. : 03/DPW-NTB/IV/2009

Kepada Yth,
Tuan Guru Hajji Muhammad Anwar MZ
di-
Duman, Lingsar

Perihal : Pokok-Pokok Kepercayaan dan Keyakinan
Jamaah Ahmadiyah
Tembusan: 1. Arsip

Assalamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakatuhu!
Kami berharap dan berdoa, semoga Tuan Guru Hajji Anwar, dalam sehat sejahtera dan senantiasa dalam limpahan rahmat -Nya. Amien!
Terlampir, kami sampaikan Pokok-pokok Kepercayaan dan Keykainan Jamaah Ahmadiyah, memenuhi permintaan Tuan Guru. Penjelasan meliputi :
Akidah
Ibadah
Tempat Ibadah
Sumber Pokok Ajaran
Kepercayaan Kepada Al-Quran Sebagai Kitab Suci
Kepercayaan Kepada Nabi Muhammad SAW, Sebagai “Khaataman-Nabiyyin”
“Khaataman-Nabiyyin” Berarti “Penutup Nabi”.
Status Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad
Hirarki Kepemimpinan Spiritual Islam Sepanjang 14 Abad Terakhir Persepektif Jamaah Ahmadiyah
Pengalaman Spiritual
Buku Tadzkirah Bukan Kitab Suci Ahmadiyah
Kesimpulan
Mohon berkenan Tuan Guru menerimanya menelaahnya, dan menyampaikannya kepada Tuan Guru Hajji Zainul Mazdi M.A, Guberur NTB, dan Tuan Guru-Tuan Guru yang lain, juga Tuan Guru Hajji Drs. Suhaimi Ismy, Kakanwil Depag NTB.
Semoga menjadi kebaikan bagi kami, bagi Tuan Guru Hajji, dan bagi semua masyarakat NTB. Atas perhatiannya, kami haturkan terima kasih dan Jazakumullah ahsanal Jaza!

Wassalam, yang amat lemah :
DPW Jamaah Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat

(IR. JAUZI JAFAR) (DRS. UDIN AL-PANCORI)
Ketua Sekretaris
ﻢﻳﺮﻛﻟﺍﻪﻟﻮﺳﺭ ﻰﻠﻋﻰﻠﺼﻧﻭ ﻩﺪﻤﺤﻧ ﻡﻴﺣﺮﻟﺃﻦﻣﺣﺮﻟﺃﻪﻠﻟﺍﻢﺳﺑ
POKOK-POKOK KEPERCAYAAN DAN KEYAKINAN
JAMAAH AHMADIYAH
-------------------------------------------------------------------------------

Akidah
Akidah dasar (kepercayaan pokok), Jamaah Ahmadiyah, seutuhnya bermuara pada enam rukun Iman :
1. Iman pada Allah
2. Iman pada Malaikat Allah
3. Iman pada Kitab-Kitab Allah
4. Iman pada Rasul-Rasul Allah
5. Iman pada Hari Akhirat
6. Iman pada Qadha dan Qadar
Akidah dasar (kepercayaan pokok), Jemaah Ahmadiyah ini didasarkan pada :

a) Fiman Allah :

“Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhan-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan) : “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan : “Kami dengar dan kami ta’at”. (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”. (Al-Baqarah, 2:185)

b) Sabda Rasulullah SAW, :

“..............Iman ialah : beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir, yang baik maupun yang buruk”. (HR. Muslim)

Ibadah
Ibadah Jamaah Ahmadiyah, seutuhnya berpijak pada lima rukun Islam :
1. Syahadat, dua kalimah : Asyhadu al-laa ilaaha ilallaahu, wa asyhadu anna Muhammadar-rasulullaahu.
2. Shalat, terdiri dari : shalat 5 waktu - Shubuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya, shalat Jum’at, shalat Iedain – Iedul Fitri & Idul Adha, shalat Tahajud, shalat sunnah dan shalat nawafil lainnya.
3. Membayar Zakat : Maal maupun Fitrah
4. Menunaikan Hajji ke Tanah Suci Mekkah al-Mukarramah pada bulan Julhijjah
5. Puasa di bulan Suci Ramadhan dan puasa Sunnah lainnya

Ibadah Jamaah Ahmadiyah, dilakukan didasarkan pada :

a) Firman Allah :
“Allah memberikan kesaksian tak ada yang patut disembah melainkan Dia dan demikian pula malaikat-malaikat dan orang-orang berilmu menyaksikan dengan berpegang kepada keadilan, tak ada yang patut disembah melainkan Dia, Mahaperkasa, Mahabijaksana” (Ali-‘Imran, 3:18)

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (Thaha, 20:14)

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat shubuh), sesungguhnya shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat). Dan, pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-Mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. (Al-Isra’/Bani Israil, 17:78-79)

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhan-mu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan, berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan begitu pula dalam (Al-Quran) ini, supaya rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong” (Al-Hajj, 22:77-78)

b) Sabda Nabi Muhammad SAW :

“Islam didasarkan pada lima hal : 1) Menyaksikan bahwa tidak ada yang patut disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, 2) Mendirikan Shalat, 3) Membayar Zakat, 4) Menunaikan Hajji, 5) Berpuasa pada bulan Ramadhan” (Bukhari).

Tempat Ibadah
Mesjid adalah rumah Allah, tempat untuk memuliakan dan mengagungkan asma Allah. Jamaah Ahmadiyah dapat beribadah (shalat), dalam upaya memuliakan dan mengagungkan asma Allah, di mesjid mana saja, yang dibangun oleh siapa saja, oleh pemerintah atau pun oleh masyarakat. Sebaliknya, mesjid yang dibangun Jemaah Ahmadiyah juga terbuka bagi siapa saja, bagi pemerintah, bagi masyarakat dan bagi siapa saja yang hendak beribadah mendirikan shalat, untuk memuliakan dan mengagungkan asma Allah. Dalam teologi Ahmadiyah, merujuk pada Hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Abu Said alkhudri, seluruh permukaan bumi ini adalah mesjid, kecuali kuburan dan kamar mandi (HR. Tirmidzi)

Sumber Pokok Ajaran
Jamaah Ahmadiyah mempunyai dua sumber pokok ajaran :
1. Al-Quran, terdiri dari 30 Juz, dan 114 Surah, dengan Surah Pertama Al-Fatihah, dan terakhir ke-114, Surah An-Nas
2. Sunnah Rasulullah SAW, yang meliputi : fi’li – perbuatan, qauli – ucapan, dan taqrir - diamnya, Nabi Muhammad SAW. Sunnah Rasulullah SAW dimaksud, semuanya terangkum dalam Kitab-Kitab Hadits Shihah Sittah : Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majjah, dan An-Nasa’i.

Kepercayaan Kepada Al-Quran Sebagai Kitab Suci
Jamaah Ahmadiyah meyakini, Al-Quran adalah Kitab Samawi, yang diwahyukan Allah SWT, kepada Baginda Nabi Muhammad SAW,. Al-Quran adalah Kitabullah dan Kalamullah, Kitab Suci yang sempurna, tak ada kontradiksi, terpelihara, satu baris atau satu ayat pun tak ada yang mansukh (batal), Suci dan Mensucikan.
Kepercayaan dan keyakinan Jamaah Ahmadiyah tersebut didasarkan pada :

a) Firman Allah :

“Inilah Kitab yang sempurna, tiada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa” (Al-Baqarah, 2:2)

“Ini sungguh Al-Quran yang mulia, Dalam suatu Kitab terpelihara dengan baiknya, Yang tiada orang boleh menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan. Itu adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seru sekalian alam” (Al-Waqi’ah, 56:77-80)

“Dan sesungguhnya Al-Quran ini diturunkan oleh Tuhan sekalian alam, Roh yang setia terhadap amanat itu, telah turun bersamanya. Atas kalbu engkau, supaya engkau termasuk para pemberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang terang dan jelas” (Asy-Syu’ara, 26:192-195)

“Ha-Mim. Demi Kitab cemerlang ini. Sesungguhnya, Kami menurunkannya di dalam suatu malam yang berberkat. Sesungguhnya, Kami senantiasa memberi peringatan. Pada malam itu segala perkara kebijaksanaan ditetapkan. Atas perintah Kami Sendiri. Sesungguhnya, Kami senantiasa mengutus rasu-rasul”.
(Ad-Dukhan, 44:1-5)

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Al-Hijr, 15:9, dll, seperti Thaha, 20:15, Al-Baqarah, 2:185, An-Naml, 27:1-2,6, An-Nisa, 4:82)

c) Pelajaran dan Pernyataan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah :

“Tidak ada kitab kami selain Al - Qur’an Syarif dan tidak ada Rasul kami kecuali Muhammad al-Mustafa shallallaahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada agama kami kecuali Islam, dan kita mengimani, Nabi kita Muhammad s.a.w. adalah Khatamul Anbiya’, dan Al - Qur’an Syarif adalah Khaatamul Kutub. ……, (Maktubaat-e-Ahmadiyyah, jld.5, No. 4).

“Ada pula bagimu sekalian suatu ajaran yang penting, yaitu : Kamu hendaknya jangan meninggalkan Al-Quran sebagai benda yang di lupakan; sebab, justru di dalam Al-Quran-lah terdapat kehidupanmu. Barangsiapa memuliakan Al-Quran, ia akan memperoleh kemuliaan di langit. Barangsiapa lebih mengutamakan Al-Quran dari segala Hadits dan dari segala ucapan lain, ia akan di utamakan di langit. Bagi umat manusia di atas permukaan bumi ini, kini tidak ada Kitab lain selain Al-Quran, dan bagi seluruh Bani Adam, kini tidak ada seorang Rasul Juru Syafaat, selain Muhammad Mustafa SAW. (Mirza Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2007:20-21)

“Maka, berusahalah untuk menaruh kecintaan yang setulus-tulusnya kepada Nabi Agung itu, dan janganlah meninggikan seseorang selain beliau dalam segi apa pun, agar di langit kamu dicatat dalam daftar orang-orang yang memperoleh keselamatan. Dan ingatlah baik-baik, Najat (keselamatan) bukanlah suatu hal yang kamu sekalian akan mengalamainya nanti di akhirat, melainkan sesungguhnya Najat yang hakiki itu memperlihatkan cahaya-nya di alam dunia ini juga. Siapakah yang beroleh Najat itu? Ialah orang yang benar-benar yakin, bahwa Tuhan itu ada, dan bahwa Muhammad SAW, adalah juru syafaat yang menengahi antara Tuhan dan seluruh umat manusia, bahwa di bawah bentangan langit ini, tidak ada Rasul lain yang semartabat dengan beliau SAW, dan tidak ada Kitab lain yang sederajat dengan Al-Quran”. (Mirza Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2007:21)


Kepercayaan Kepada Nabi Muhammad S.A.W.,
Sebagai : “Khaataman-Nabiyyin”
Jamaah Ahmadiyah, 100 % (seratus peresen), meyakini, bahkan haqqul-yaqin, Nabi Muhammad S.A.W, adalah satu-satunya Nabi yang memperoleh derajat kerohanian tertinggi, bergelar Khaataman-Nabiyyin, dimana Allah SWT, dan para Malaikat-Nya as, pun, karena ketinggian martabat kerohaniannya, menyampaikan shalawat kepada beliau.
Kepercayaan dan keyakinan Jamaah Ahmadiyah tersebut sudah final, dan tak dapat diganggu-gugat lagi. Kepercayaan Jamaah Ahmadiyah tersebut, didasarkan pada :

a) Firman Allah :
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan Khaataman-Nabiyyin. Dan adalah Allah Mahamengetahui segala sesuatu” (Al-Ahzab, 33:40)

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (Al-Ahzab, 33:56)

c) Pelajaran dan Pernyataan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah :

“Dengan sungguh-sungguh saya percaya bahwa Nabi Muhammad SAW., adalah Khatamul Anbiya. Seorang yang tidak percaya pada Khatamun Nubuwwah beliau (Rasulullah SAW), adalah orang yang tidak beriman dan berada diluar lingkungan Islam” (Mirza Ghulam Ahmad, Taqrir wajibul I’lan, 1891)

“Inti dari kepercayaan saya ialah: Laa Ilaaha Illallaahu, Muhammadur-Rasulullaahu (Tak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah). Kepercayaan kami yang menjadi pergantungan dalam hidup ini, dan yang pada-Nya kami, dengan rahmat dan karunia Allah, berpegang sampai saat terakhir dari hayat kami di bumi ini, ialah bahwa junjungan dan penghulu kami, Nabi Muhammad SAW., adalah Khaataman-Nabiyyin dan Khairul Mursalin, yang termulia dari antara nabi-nabi. Di tangan beliau hukum syari’at telah disempurnakan. Karunia yang sempurna ini pada waktu sekarang adalah satu-satunya penuntun ke jalan yang lurus dan satu-satunya sarana untuk mencapai “kesatuan” dengan Tuhan Yang Maha Kuasa”.(Mirza Ghulam Ahmad, Izalah Auham, 1891 : 137)

“Martabat luhur yang diduduki junjungan dan penghulu kami, yang terutama dari semua manusia, Nabi yang paling besar, Hadhrat Khatamun-Nabiyyin SAW., telah berakhir dalam diri beliau yang didalamnya terhimpun segala kesempurnaan dan yang sebaliknya tak dapat dicapai manusia”. (Mirza Ghulam Ahmad, Taudhih Marram, 1891 : 23)

“Yang dikehendaki Allah supaya kita percaya hanyalah ini, bahwa Dia adalah Esa dan Muhammad SAW., adalah Nabi-Nya, dan bahwa beliau adalah Khatamul-Anbiya dan lebih tinggi dari semua makhluk”. (Mirza Ghulam Ahmad, Kistii Nuh, 1902 : 15)


“Khaataman-Nabiyyin” Berarti : “Penutup Nabi-Nabi”
Sebagaimana umat Islam pada umumnya, Jamaah Ahmadiyah juga memahami dan meyakini, kata Khaataman-Nabiyyin pada Al-Quran Surah Al-Ahzab, 33:40, berarti : penutup nabi-nabi. Pemahaman dan keyakinan Jamaah Ahmadiyah ini didasarkan pada :

a) Terjemah dan Tafsir Al-Quran terbitan Jemaah Ahmadiyah :

“Muhammad bukanlah bapak salah seorang diantara laki-lakimu, tetapi ia adalah Rasul Allah dan materai sekalian nabi, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu” (Al-Ahzab, 33:40)

Kata “Khatam”, dijelaskan dalam tafsirnya, berarti : ia mematerai, mencap, mensahkan atau mencetakan pada barang itu, ia mencapai ujung benda itu, ia menutupi benda itu, ujung atau bagian terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu benda. Kata “Khaataman-Nabiyyin” bararti: materai para nabi, yang terbaik dan paling sempurna dari antara nabi-nabi, hiasan dan perhiasan nabi-nabi, dan “nabi terakhir”. (Al-Quran Dengan Terjemah dan Tafsir Singkat, Islam International Publication Limited 2002:1459, Catatan kaki No. 2359).

b) Pelajaran dan Pernyataan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah :

“Yang Mulia, Muhammad Rasulullah SAW., adalah satu-satunya dalam kedudukan Muhammadiyat beliau. Selain beliau tidak ada orang lain yang memperoleh kedudukan itu. Beliau SAW adalah Khaataman Nabiyyin. Dan dari segi pengangkatan/ketinggian rohani, beliau SAW, adalah nabi terakhir. Beliau SAW, sudah menjadi nabi terakhir sejak saat Adam as, belum menjadi nabi, dan bahkan sejak beliau SAW, belum di anugrahi wujud jasmani”. (Mazharnamah, Islam Internasional Publication 2002:106)

“Untuk sampai kepada-Nya, semua pintu tertutup, kecuali sebuah pintu yang dibukakan oleh Quran Majid. Dan semua kenabian dan semua Kitab-kitab yang terdahulu tidak perlu lagi diikuti, sebab kenabian Muhammdiyah mengandung dan meliputi kesemuanya itu. Selain ini semua jalan tertutup. Semua jalan yang sampai kepada Tuhan terdapat didalamnya. Sesudahnya tidak akan datang kebenaran baru, dan tidak pula sebelumnya ada suatu kebenaran yang tidak terdapat didalamnya. Sebab itu, diatas kenabian ini habislah semua kenabian. Memang, sudah sepantasnya demikian, sebab sesuatu yang ada permulaannya, tentu ada pula kesudahannya”. (Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, al-Wasiat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2006:24)

Status Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad
Dalam kepercayaan Jamaah Ahmadiyah, status Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, hanyalah guru ma’rifat Al-Quran, yang dalam bahasa Hadits disebut : ‘alim rabbani atau al-‘ulama al-warastul-anbiya. Dan, sesuai dengan nubuwat Nabi Muhammad SAW, : “Innallaah yab’asu lihaadihil ummati ‘alaa ra’si kulli miatin sanatin may-yujaddidu lahaa diinaha” (Abu Daud), dan “Layuusikanna ay-yanzila fiikumubnu maryama hakaman ‘adalan, fayaksirus-shaliba, wayaqtulal-khinzir, wa yadho’al-harba, wa yafiidul-maal” (Bukhari-Muslim), beliau adalah Mujaddid abad XIV Hijriyah, dan Imam Mahdi-Masih Mau’ud (Al-Mahdi-Al-Masih Yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Rasulullah SAW).
Dalam kepercayaan Jamaah Ahmadiyah, Hadrat Mirza Ghulam Ahmad, bukan nabi, seperti yang diisukan dan difahami banyak orang. Oleh sebab itu, Jamaah Ahmadiyah tidak pernah memanggil beliau nabi Ahmad, nabi Mirza atau nabi Ghulam. Tiga istilah ini sangat asing dalam lidah warga Jamaah Ahmadiyah, dan tidak dikenal sama sekali. Istilah itu justru sangat akrab pada lidah kalangan non-Ahmadiyah, utamanya pada mereka yang antipati terhadap Jamaah Ahmadiyah.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad sendiri, mengilustrasikan status hubungan dirinya dengan Rasulullah SAW, hanyalah sebagai khadim (pelayan), dan hamba yang lemah dan rendah, dari Sang Majikan Agung Baginda Nabi Muhammad SAW. Beliau berkata :

“Hamba yang hina ini mendapat kehormatan juga untuk menjadi salah seorang dari hamba-hamba yang hina dari Nabi Agung itu yang menjadi Penghulu Nabi-nabi dan Raja Rasul-rasul”. (Mirza Ghulam Ahmad, Barahin-i-Ahmadiyah, 1884 : 572).

Dan, menurut Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, puncak-puncak kerohanian tertinggi, tak mungkin dicapai siapa pun, tanpa mengikuti Baginda Nabi Agung Muhammad SAW. , Ia berkata :

“Suatu ketinggian, suatu keistimewaan, suatu kehormatan, suatu persatuan dengan Tuhan, tak akan dapat dicapai kecuali dengan jalan pengabdian sesempurna-sempurnanya kepada Nabi Muhammad SAW., Apa juga yang kita terima adalah karena beliau dan dari beliau S.A.W.”. (Mirza Ghulam Ahmad, Izalah-i- Auham, 1891 : 138).

Untuk mendapatkan ilmu Allah yang sejati, sangat tak mungkin bisa diperoleh tanpa mengiktui Baginda Nabi Agung Muhammad SAW. Ia berkata :

“Saya mendapat karunia ini begitu sempurna bukanlah tersebab sesuatu jasa saya sendiri, tetapi hanya karena rahmat Allah. Karunia itu ialah yang telah dianugrahkan kepada Nabi-nabi, Rasul-rasul dan orang-orang pilihan Tuhan, yakni sebelum saya. Hal itu tak akan mungkin saya capai sekiranya saya tidak mengikuti junjungan dan Penghulu saya, kebanggaan Nabi-nabi dan yang paling sempurna dari mereka, Muhmmad SAW., Apa pun yang saya terima, hal itu adalah karena penyerahan diri saya kepada beliau. Saya yakin sepenuh-penuhnya dan sebesar-besarnya bahwa tak seorang pun akan mencapai kedekatan dengan Tuhan dan memperoleh ilmu-Nya yang sejati, kecuali dengan mengikuti Rasulullah SAW.,” (Mirza Ghulam Ahmad, Haqiqatul Wahyi, 1907 : 62).

“Tuhan yang mengetahui rahasia hati beliau, meninggikan beliau diatas semua Nabi-nabi, mereka yang mendahului beliau dan mereka yang akan mengikuti beliau. Allah memenuhi semua keinginan beliau dalam masa hidup beliau. Sesungguhnya beliau adalah mata air dari sesuatu yang baik. Seorang yang mengatakan memperoleh kesempurnaan tanpa mengakui berhutang budi kepada beliau, bukanlah seorang mnusia melainkan setan, karena hanya beliau saja yang dikaruniai kunci kepada segala kesempurnaan. Dan memang beliau telah dianugrahi khazanah ilmu pengetahuan Ilahi. Orang yang tidak menerima apa-apa dari beliau, tidak akan menerima apa-apa dari seseorang lainnya. Jika terpisah dari beliau, saya tidak berarti apa-apa, sama sekali tidak berarti apa-apa. Kita sama sekali berada di puncak kedurhakaan bila kita tidak mengakui, bahwa hanya melalui Nabi Muhammad SAW., saja kita dapat memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tauhid Tuhan Yang Maha Esa. Sebenarnya adalah dengan perantaraan beliau dan melalui cahaya kesempurnaan beliau, kita memperoleh kesadaran tentang Tuhan Yang Hidup”. (Mirza Ghulam Ahmad, Haqiqatul Wahyi, 1907 :116 ).

“Saya tak dapat berbuat lain, selain mengulangi dan menyatakan dengan nyaring, kecintaan sejati kepada Al-Quran Suci dan Nabi Muhammad SAW., serta penyerahan sepenuhnya kepada beliau memungkinkan seseorang untuk melakukan mu’jijat dan bagi orang yang semacam itu terbuka pintu menuju pengetahuan yang tersembunyi. Seorang pengikut agama lain tak akan dapat bertanding melawannya dalam persoalan karunia kerohanian. Kebetulan saya mempunyai pengetahuan tangan pertama tentang keajaiban ini. Saya naik saksi, bahwa kecuali Islam, semua agama lain sudah tua renta, Tuhannya telah mati, dan pengikut-pengikutnya hanyalah tinggal bangkai. Sama sekali tak mungkin, saya ulangi lagi, tak mungkin, untuk mengadakan hubungan yang hidup dengan Tuhan, kecuali jika orang menerima Islam”. (Mirza Ghulam Ahmad, Zamima Anjam-i-Atham, 1897 :61-62 ).

Berikut, hirarki kepemimpinan spiritual Islam sepanjang 14 abad terakhir, sejak Baginda Nabi Agung Muhammad SAW, hingga sekarang, persepektif Jamaah Ahmadiyah, sekedar sebagai gambaran :


HIRARKI KEPEMIMPINAN SPIRITUAL ISLAM
SEPANJANG 14 ABAD TERAKHIR
PERSEPEKTIF JAMAAH AHMADIYAH
-----------------------------------------------------------------------

NABI MUHAMMAD S.A.W



KHULAFA-UR-RASYIDUN

Khalifah Ar-Rasyidah I : Abu Bakar As-Shiddiq ra
Khalifah Ar-Rasyidah II : Umar Ibnu Khathab ra
Khalifah Ar-Rasyidah III : Usman Ibnu Affan ra
Khalifah Ar-Rasyidah IV : Ali Ibnu Abi Thalib ra


MUJADDID
Abad I : ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ra.
Abad II : Imam Syafi’i, ra
Abad III : Imam Abu Syarah atau Abu Hasan ‘As’ari, ra
Abad IV : Imam Abu Ubaidullah & Qadi Abubakar Baqlani, ra
Abad V : Imam Al-Ghazali, ra
Abad VI : Imam Abdul Qadir Al-Jailani, ra
Abad VII : Imam Ibnu Taimiyah dan Chawaja Mu’inuddin Chisti, ra
Abad VIII : Imam Hafiz Ibnu Hajar Asqalani dan Saleh Ibnu ‘Umar, ra
Abad IX : Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, ra
Abad X : Imam Muhammad Tahir Gujrati, ra
Abad XI : Imam Mujaddid Alfi Sarhindi, ra
Abad XII : Imam Syekh Waliyullah Delhi, ra
Abad XIII : Imam Sayyid Ahmad Bareluwi, ra
Abad XIV : Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, (Imam Mahdi- Masih Mau’ud as)


KHALIFATUL MASIH
Khalifatul I : Al-Haj Maunalana Hakim Nuruddin, ra
Khalifatul Masih II : Al-Haj Mirza Basyiruddin, ra
Khalifatul Masih III : Al-Hafiz Mirza Nashir Ahmad, ra
Khalifatul Masih IV. Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, ra
Khalifatul Masih V (sekarang) : Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, a.t.b.a


Pengalaman Spiritual
Seperti halnya para Sufi, Aulia, ‘alim rabbani dan warasatul-anbiya yang lain, sepanjang sejarah perjalanan hidupnya, banyak mendapatkan pengalaman spiritual, berupa : mimpi-mimpi yang benar, ru’ya, kasyaf dan ilham, demikian pula Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jemaah Ahmadiyah. Beliau bahkan tampaknya termasuk seorang yang sangat rajin mencatatkan pengalaman spiritualnya, dalam catatan harian atau diary-nya. Sebagian ada yang disiarkannya dalam surat kabar dan selebaran-selebaran, dan sebagian lagi ada yang dimuatnya dalam buku-buku yang ditulisnya.
Tahun 1935, kurang lebih 27 tahun setelah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad tiada, Imam Jamaah Ahmadiyah ke-2, Hadhrat Al-Hajj Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, menginstruksikan Nazarat ta’lif wa tasnif, sebuah biro penerangan dan penerbitan Jamaah Ahmadiyah waktu itu, untuk menghimpun dan menerbitkan pengalaman spiritual Pendiri Jamaah Ahmadiyah itu. Untuk maksud itu dibentuklah sebuah panitia, terdiri dari Maulana Muhammad Ismail, Syekh Abdul Qadir, dan Maulvi Abdul Rasyid. Setelah pekerjaan tersebut selesai, maka buku itu diberi nama : Tadzkirah, yang berarti : kenangan atau peringatan.

Buku Tadzkirah Bukan Kitab Suci Ahmadiyah
Buku Tadzkirah, bukan kitab suci Ahmadiyah. Jamaah Ahmadiyah tidak pernah mempercayai buku Tadzkirah sebagai kitab suci, bahkan jangankan menganggap buku Tadzkirah sebagai kitab suci, terbetik sedikitpun dalam pikiran warga Jamaah Ahmadiyah, tidak pernah sama sekali.
Motivasi diterbitkannya catatan pengalaman spiritual Pendiri Jamaah Ahmadiyah, hanyalah sekedar untuk memberitahukan dan menjadi pengetahuan bagi murid-murid, para pengikut dan jamaah beliau, bahwa guru mereka, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, sepanjang sejarah perjalanan hidupnya, banyak mendapatkan pengalaman spiritual, seperti halnya para aulia, ‘alim rabbani dan ‘ulama warasatul anbiya yang lain. Itu sebabnya, di dalam buku itu, selain dimuat teks pengalaman spiritualnya, juga di cantumkan ta’wil-ta’wil-nya, yang ditulis langsung Pendiri Jamaah Ahmadiyah.
Jamaah Ahmadiyah justru heran, kenapa ada pihak non-Ahmadiyah yang meyakini buku Tadzkirah sebagai kitab suci Ahmadiyah, dan bahkan mempropagandakannya kepada publik. Herannya lagi, publik juga percaya buku Tadzkirah adalah kitab suci Ahmadiyah, padahal yang mempropagandakan buku Tadzkirah sebagai kitab suci Ahmadiyah, adalah bukan pihak Ahmadiyah, tapi pihak non-Ahmadiyah.
Kitab suci bagi Jamaah Ahmadiyah hanyalah Al-Quran al-Karim, kitab yang diturunkan Allah SWT, kepada Baginda Nabi Agung Muhammad SAW.
Diatas telah kami kutipkan pernyataan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah :

“Tidak ada kitab kami selain Al - Qur’an Syarif dan tidak ada Rasul kami kecuali Muhammad al-Mustafa shallallaahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada agama kami kecuali Islam, dan kita mengimani, Nabi kita Muhammad s.a.w. adalah Khatamul Anbiya’, dan Al - Qur’an Syarif adalah Khaatamul Kutub. ……, (Maktubaat-e-Ahmadiyyah, jld.5, No. 4).

“Bagi umat manusia di atas permukaan bumi ini, kini tidak ada Kitab lain selain Al-Quran, dan bagi seluruh Bani Adam, kini tidak ada seorang Rasul Juru Syafaat, selain Muhammad Mustafa SAW”. (Mirza Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2007:20-21)

“Siapakah yang beroleh Najat itu? Ialah orang yang benar-benar yakin, bahwa Tuhan itu ada, dan bahwa Muhammad SAW, adalah Juru syafaat yang menengahi antara Tuhan dan seluruh umat manusia, bahwa di bawah bentangan langit ini, tidak ada Rasul lain yang semartabat dengan beliau SAW, dan tidak ada Kitab lain yang sederajat dengan Al-Quran”. (Mirza Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2007:21)

Jika, yang yang dimaksud, Tadzkirah itu adalah Al-Quran al-Karim, kitab suci yang diturunkan Allah SWT, kepada Baginda Nabi Agung Muhammad SAW., Jamaah Ahmadiyah tentu tidak menolak untuk meyakini dan mempercayainya. Setidaknya, ada enam ayat, di lima Surat Al-Quran, yang menyebut Al-Quran al-Karim sebagai : Tadzkirah.


1. Surat Al-Mudatsir, 74:49 dan 54
     
Maka Mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)?

   
Sekali-kali tidak demikian halnya. Sesungguhnya Al Quran itu adalah peringatan
2. Surat Thaha, 20:3
    
Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah)


3. Surat Al-Muzamil, 73:19
•          
Sesungguhnya Ini adalah suatu peringatan. Maka barangsiapa yang menghendaki niscaya ia menempuh jalan (yang menyampaikannya) kepada Tuhannya


4. Surat ‘Abasa, 80:11
 •  
Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan


5. Surat Al-Insan, 76:29
•          
Sesungguhnya (ayat-ayat) Ini adalah suatu peringatan, Maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya


Kesimpulan :

Pertama, Jamaah Ahmadiyah meyakini sepenuhnya, Allah itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Esa (tunggal) dalam Dzat-Nya, dalam Sifat dan dalam Perbuatan-Nya. Penyembahan kepada-Nya (ibadah) juga tidak ada sama-Nya. Ahmadiyah meyakini, Dzat-Nya, sifat dan perbuatan (fi’il)-Nya, serta dalam ibadah kepada-Nya tidak boleh dipersekutukan dengan apa pun juga.

Kedua, Jamaah Ahmadiyah mempercayai Kalam Ilahi sejak alam semesta ini Dia jadikan, Sifat Allah Yang Mutakallim senantiasa hidup, tidak pernah terhenti pada masa apa pun juga. Oleh karena itu, Ahmadiyah mempercayai semua Kitab-Nya, semua wahyu-Nya. Ahmadiyah mempercayai Kalam Ilahi diturunkan dalam bahasa apa saja, dan di daerah, wilayah atau negeri apa saja. Dalam hubungan itu Ahmadiyah meyakini, Al-Quran Suci adalah syariat terakhir, sempurna dan lengkap lagi paripurna. Al-Quran adalah syariat bagi seluruh umat manusia, berlaku selama dunia dan penghuninya masih ada. Ahmadiyah meyakini, Al-Quran adalah satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan manusia kepada Ilahi, Tuhan Yang menciptakannya. Di dalam Kitab Suci Al-Quran, semua kebenaran dalam bentuknya yang sempurna, yang terdapat di dalam kitab-kitab Taurat, Zabur, Injil, dan sebagainya, telah tercakup. Ahmadiyah meyakini pula, Al-Quran Suci adalah Kitab yang diatur tertib dan tersusun baik sebagai layaknya. Dalam Al-Quran tak ada sepotong ayat pun yang mansukh. Seluruh isinya adalah syariat yang muhkam, bahasanya adalah bahasa Arab yang menjadi induk semua bahasa dunia. Semua kitab suci yang turun sebelum Al-Quran telah dihapuskan. Kebalikannya, tak ada dan tak akan ada Kitab apa pun yang akan menghapuskan (memansukhkan) Kitab Suci Al-Quran.
Ketiga, Jamaah Ahmadiyah meyakini dan beriman kepada semua nabi-nabi. Dalam kepercayaan Ahmadiyah, sesuai dengan ajaran Al-Quran, Allah SWT., mengutus Utusan-Nya dalam tiap umat dan kaum. Ahmadiyah mempercayai semua Nabi itu benar, suci dan ma’shum, yaitu tidak melanggar, tidak berbuat dosa. Dalam kepercayaan Ahmadiyah, Nabi Muahmmad SAW., adalah pemimpin semua Nabi. Beliau paling mulia dan paling afdhal. Kedatangan beliau adalah untuk seluruh umat manusia dan semua masa. Martabat beliau jauh lebih luhur dan lebih mulia dari semua nabi. Beliau selalu “hidup”. Oleh karena itu, maka beliau dinamakan Khataman-Nabiyyin. Semua Nabi memperoleh nikmat rohani karena beliau. Baik dimasa lalu maupun dimasa yang akan datang. Ahmadiyah mempercayai, orang yang memisahkan diri dari beliau dan ummat-Nya, kemudian ia mendakwahkan diri memperoleh nikmat rohaniah, dia adalah pendusta, lancung dan pembohong. Ahmadiyah mempercayai Nabi Muhammad SAW., sebagai Sayyidul Ma’shumin (Pemimpin dari semua orang suci tak berdosa). Ahmadiyah meyakini, beliau SAW., adalah jalan dan sebab untuk memperoleh hikmah rohani, kebajikan dan berkat Ilahi.

Keempat, Jamaah Ahmadiyah mempercayai Malaikat. Malaikat sebagai ciptaan Tuhan yang ma’shum, tidak berdosa. Malaikat sebagai alat melaksanakan semua perintah Allah. Malaikat tidak dapat berbuat dosa. Malaikat pengantar Kalam Ilahi, dahulu maupun sekarang, turun kepada orang-orang (hamba) suci memberikan piagam thumaninah Ilahi.

Kelima, Jamaah Ahmadiyah mempercayai, hari Qiyamat adalah hak, kebenaran Hasyar dan Nasyar tepat dan benar. Surga dan neraka juga hak. Sesudah mati setiap insan akan memperoleh ganjaran atau siksaan, sesuai amal perbuatannya. Nikmat surga adalah kekal abadi, tak kenal henti atau putus. Kebalikannya neraka adalah tempat menghukum orang berdosa, guna memperbaiki dan meluruskan mereka yang harus dihukum. Allah adalah Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, paling pengasih dan paling penyayang. Ahmadiyah mempercayai, sesudah penghuni neraka itu menjalankan hukumannya dan mereka telah menjadi lurus, mereka juga akan dimasukan kedalam surga. Tuhan Sendiri Berfirman: Rahmani wasyi’at kulla syai’in, bahwa rahmat Ilahi itu meliputi segala yang ada, termasuk Neraka. Rahmat Ilahi itu harus terwujud, nyata terbukti.
Jamaah Ahmadiyah meyakini, lima kepercayaan dasar tersebut adalah sepenuhnya selaras dengan petunjuk dan kemauan Al-Quran. Dan, Ahmadiyah juga meyakini, menyimpang sehelai rambut pun dari petunjuk Al-Quran, adalah penyelewengan yang tak dapat dibenarkan. Bagi Ahmadiyah, Al-Quran adalah pegangan utama dalam semua soal dan mengenai semua masalah. Dan, dalam keyakinan Ahmadiyah, Al-Quran adalah pedoman hidup dunia-akhirat.
Semoga menjadi maklum dan menjadi bahan periksa. Wassalamu ‘alaa manit-taba’al hudaa. Amiien, yaa Rabbal ‘aalamiin !



Mataram, 02 April 2009M/6 Rabi’utsani 1430 H
Pimpinan Wilayah Jamaah Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat



(IR. JAUZI DJAFAR) (DRS. UDIN AL-PANCORI)
Ketua Sekretaris

























ﻢﻳﺮﻛﻟﺍﻪﻟﻮﺳﺭ ﻰﻠﻋﻰﻠﺼﻧﻭ ﻩﺪﻤﺤﻧ ﻡﻴﺣﺮﻟﺃﻦﻣﺣﺮﻟﺃﻪﻠﻟﺍﻢﺳﺑ
JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA
Badan Hukum Keputusan Menteri Kehakiman R.I. No. JA.5/23/13 Tgl.13-3-1953
DEWAN PIMPINAN WILAYAH NUSA TENGGARA BARAT
Sekretariat : Jl. Margapati No. 6, Tlp. 0370-625517, Mataram 83121
====================================================

Ref. No. : 04/DPW-NTB/IV/2009

Kepada Yth,
Tuan Guru Hajji Muhammad Anwar MZ
di-
Duman, Lingsar

Perihal : Pokok-Pokok Kepercayaan dan Keyakinan
Jamaah Ahmadiyah (Seri II)
Tembusan: 1. Arsip


Assalamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakatuhu!
Kami berharap dan berdoa, semoga Tuan Guru Hajji Anwar beserta keluarga, dalam sehat sejahtera dan senantiasa dalam limpahan rahmat -Nya. Amien!
Terlampir, kami sampaikan Seri II Pokok-pokok Kepercayaan dan Keykainan Jamaah Ahmadiyah, berjudul : MEMAHAMI KEPERCAYAAN JAMAAH AHMADIYAH YANG MEYAKINI HADHRAT MIRZA GHULAM AHMAD SEBAGAI AL-MAHDI DAN AL-MASIH YANG DIJANJIKAN KEDATANGANNYA OLEH RASULULLAH S.A.W. (AL-MAHDI DAN AL-MASIH AL-MAU’UD), memenuhi permintaan Tuan Guru.
Mohon berkenan Tuan Guru menerimanya menelaahnya, dan menyampaikannya kepada Tuan Guru Hajji Zainul Mazdi M.A, Guberur NTB, dan Tuan Guru-Tuan Guru yang lain, juga Tuan Guru Hajji Drs. Suhaimi Ismy, Kakanwil Depag NTB.
Semoga menjadi kebaikan bagi kami, bagi Tuan Guru, dan bagi semua masyarakat NTB. Atas perhatiannya, kami haturkan terima kasih dan Jazakumullah ahsanal Jaza!


Mataram, 10 April 2009
Wassalam, yang amat lemah :
DPW Jamaah Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat



(IR. JAUZI JAFAR) (DRS. UDIN AL-PANCORI)
Ketua Sekretaris



















Serial
Pokok-pokok Kepercayaan dan Keyakinan Jamaah Ahmadiyah (2)




MEMAHAMI KEPERCAYAAN JAMAAH AHMADIYAH
YANG MEYAKINI HADHRAT MIRZA GHULAM AHMAD
SEBAGAI AL-MAHDI DAN AL-MASIH
YANG DIJANJIKAN KEDATANGANNYA OLEH RASULULLAH S.A.W.
(AL-MAHDI DAN AL-MASIH MAU’UD)






Disajikan memenuhi permintaan Tim Penyelaras Gubernur NTB
Pekan Pertama April 2009







Dewan Pimpinan Wilayah Jamaah Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat
2009
ﻢﻳﺮﻛﻟﺍﻪﻟﻮﺳﺭ ﻰﻠﻋﻰﻠﺼﻧﻭ ﻩﺪﻤﺤﻧ ﻡﻴﺣﺮﻟﺃﻦﻣﺣﺮﻟﺃﻪﻠﻟﺍﻢﺳﺑ
MEMAHAMI KEPERCAYAAN JAMAAH AHMADIYAH
YANG MEYAKINI HADHRAT MIRZA GHULAM AHMAD
SEBAGAI AL-MAHDI DAN AL-MASIH
YANG DIJANJIKAN KEDATANGANNYA OLEH RASULULLAH S.A.W.
(AL-MAHDI DAN AL-MASIH AL-MAU’UD)


Bukan Monopoli Kepercaan Ahmadiyah
Sesungguhnya, kepercayaan akan datangnya kembali Nabi Isa as, pada akhir zaman, bukan monopoli kepercayaan Jamaah Ahmadiyah, tetapi merupakan kepercayaan umum umat Islam, baik pada kalangan Sunni (Ahli Sunnah wal Jamaah), maupun pada kalangan Syi’i (Syi’ah).
Kalangan Ahli Sunnah wal Jama’ah terbesar di Indonesia, Nahdhatul ‘Ulama (NU), berpendirian, sbb:

“Kita wajib berkeyakinan, bahwa Nabi Isa as., itu akan diturunkan kembali pada akhir zaman nanti sebagai nabi dan rasul yang melaksanakan syari’at Nabi Muhammad SAW., dan hal itu, tidak berarti menghalangi Nabi Muhammad SAW., sebagai Nabi terakhir, sebab Nabi Isa as., hanya akan melaksanakan syari’at Nabi Muhammad SAW,. Sedang madzhab empat pada waktu itu hapus (tidak berlaku)”. (Ahkam-al-Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdhatul Ulama 1926-2004 M, LTN-NU-Diantama, Cet. Ketiga, Pebruari 2007:47)

Menurut Nahdlatul Ulama (NU), jika Isa datang dengan menyandang gelar Nabi tidak bertentangan dengan Firman Allah: Walakhir-Rasulallaahi Wa khaataman-Nabiyyin (Al-Ahzab : 40). “Firman Allah tersebut tidak bertentangan dengan (Hadits) yang menjelaskan tentang turunnya Isa a.s. di akhir zaman, karena ia tidak akan datang dengan ajaran yang menghapuskan ajaran Nabi Muhammad SAW., namun justru akan menetapkannya dan mengamalkannya”. (Ibid:48).
Dan, menurut Nahdlatul Ulama (NU), jika Nabi Isa as., datang, ia akan menerima wahyu melalui lisan Jibril as : “Annahu Yuuha ila-sayidi ‘Iisa ‘alaihi-sholaatu-wassalam, bi syarii’atin-Muhammadin sholalaahi ‘alaihi wassalam, ‘alaa lisaani jibriili ‘alaihi-sholaatu-wasslam” -- “Bahwasanya ia, (Isa as.), akan mendapat wahyu untuk melaksanakan syariat Muhammad SAW., melalui lisan Jibril as”. (Ibid:49)

Muhamadiyah, salah satu organisasi besar Islam di Indonesia, dalam salah satu penerbitannya, juga menyatakan, sbb :

“Tentang kedatangan tuan Yezuz kedoenia kembali, memang rata-rata kaum Moeslimin mempertjayainya. Hal kepertjayaan Moeslimin tentang kedatangamn Yezuz ke dunia lagi itoe demikianlah : Sungguh Baginda Nabi Isa (Yezuz Kristus), itu akan toeroen ke doenia lagi pada akhir zaman dan beliau itu akan menghoekoemi dengan syari’at Nabi Moehammad SAW., tidak dengan syari’atnya; karena syari’at Yezuz itoe, telah terhapoes sebab soedah lalunya waktoe jang sesoeai oentoek mendjalankannya. Maka kedatangan Yezuz itoe nanti menjadi sebagai khalifah ataoe pengganti Nabi kita, di dalam menjalankan syri’at Beginda Nabi SAW., pada ini oemat” (Windon Nomer “Mutiara”, Madjlis H.B. Moehammadiyah Taman Pustaka, Pebruari 1940/Moeharram 1359 Th. Ke IX, hal. 32-34 ).

Apa yang diyakini Nadhdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah itu pulalah sesungguhnya yang diyakini Jamaah Ahmadiyah. Selisihnya, menurut Nadhdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah, Isa al-Masih yang dijanjikan oleh Rasulullah SAW, akan datang itu, hingga kini, belum datang, sementara menurut Jamaah Ahmadiyah, telah datang, yaitu dalam pribadi Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah.

Selisih Pemaham
Terjadinya selisih pemahaman antara umat Islam umumnya dan Jamaah Ahmadiyah, berkenaan dengan kedatangan Nabi Isa as., pada akhir zaman, (menurut umat Islam umumnya belum datang, sementara menurut Jamaah Ahmadiayh telah datang), sebenarnya bisa difahami. Sebab, sosok Nabi Isa as., yang di yakini akan datang juga berbeda.
Menurut umat Islam umumnya, Nabi Isa yang akan datang itu adalah Nabi Isa as., yang dahulu yang pernah datang kepada Bani Israel, yang diyakini (pasca peristiwa penyaliban), diangkat Allah ke langit dan hidup hingga sekarang, dan kelak akan turun pada akhir zaman.
Sementara menurut Jamaah Ahmadiyah Nabi Isa as., yang akan datang itu, adalah orang lain yang memiliki watak, karater, sifat, dan tugas seperti Nabi Isa as, atau memiliki spirit Nabi Isa as., sehingga ia bergelar Isa as,. Nabi Isa as., yang dahulu, yang pernah diutus Allah kepada Bani Israel, di yakini Jamaah Ahmadiyah, telah wafat dalam usia 120 tahun, dan di yakini, ia tidak akan di bangkitkan lagi ke dunia.

Misteri Kematian Nabi Isa
Kematian Nabi Isa as., tampaknya memang sama misterinya dengan kelahirannya. Pada kelahirannya, sebahagian ada yang mengatakan tidak berbapak, dan sebahagian lagi ada yang mengatakan berbapak. Pada kematiannya, sebahagian ada yang mengatakan mati disalib sebagai bukti nabi palsu dan penebus dosa umat manusia, dan sebahagian lagi mengatakan Nabi Isa as., tidak di salib, yang di salib adalah orang lain yang di serupakan dengan Nabi Isa as., sementara Nabi Isa as., sendiri di angkat Allah ke langit, hidup hingga saat ini, dan kelak akan datang pada akhir zaman.

Benar di Salib, Tapi Tidak Mati Diatas Salib
Terkait masalah penyaliban, Jamaah Ahmadiyah memahami dan meyakini : Nabi Isa as., benar disalib, tetapi tidak mati di atas salib, ia hanya pingsan, keadaannya saja yang di tampakan seperti telah mati di atas salib.
Kepercayaan Jamaah Ahmadiyah tersebut di dasarkan pada Firman Allah, sebagaimana tertuang di dalam Al-Quran :
                 •                     
“Dan Karena Ucapan mereka: "Sesungguhnya kami Telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula mematikannya di atas salib, akan tetapi ia disamarkan kepada mereka seperti telah mati di atas salib. Dan, sesungguhnya orang-orang yang berselisih dalam hal ini niscaya ada dalam keraguan tentang ini; mereka tidak mempunyai pengetahuan yang pasti tentang ini melainkan menuruti dugaan belaka, dan mereka tidak yakin telah membunuhnya. (An-Nisa, 4:157)

Jamaah Ahmadiyah memahami dan meyakini, ayat 157 dari Surah An-Nisa tersebut merupakan bantahan atas tuduhan palsu orang-orang Yahudi yang mengatakan Nabi Isa as., telah mati di palang salib sebagai bukti nabi palsu, dan merupakan bantahan atas kepercayaan bathil orang-orang Kristen yang mangatakan Nabi Isa as., telah mati di atas palang salib sebagai penebus dosa umat manusia. Ayat tersebut seolah-olah berkata, benar Nabi Isa., disalib, tetapi ia tidak mati di atas salib, ia hanya pingsan, keadaannya saja yang di tampakan seperti telah mati di atas salib.

Tidak Diangkat Allah ke Langit
Jamaah Ahmadiyah juga memhami dan meyakini, Nabi Isa as., tidak di angkat Allah ke langit. Benar, di dalam Al-Quran terdapat Friman Allah:
         

“Akan tetapi Allah telah mengangkat dia (Isa),kepada-Nya, dan Allah itu Mahaperkasa, Maha Bijaksana”(An-Nisa, 4:158).

Namun, kata “rafahullaahu ilaihi” – Allah mengakat dia (Isa), kepadanya, dalam pemahaman Jamaah Ahmadiyah, tidak dapat diartikan : Allah mengangkat Isa ke langit. Sebab, jika di artikan demikian, berarti Allah ada di langit. Padahal dalam teologi Islam, Allah tidak berhajatkan tempat.
Jamaah Ahmadiyah memahami dan meyakini, kata rafa’a jika subjeknya adalah Allah, dan obyeknya manusia, seperti pada An-Nisa 58 itu, artinya akan selalu mengangkat harkat derajat, bukan mengangkat jasad.
Rasulullah SAW., di riwayatkan pernah bersabda : Idza tawa dha’al-‘abdu rafa’ahullaahu ilas-samaa-is-saabi’ah” – apabila seorang hamba merendahkan dirinya, maka Allah akan mengangkat derajatnya hingga ke langit ke tujuh (Kanjul Umal, Alaudin Alhindi, Muassasatur Risalah, Beirut, 1989, Jld III, hal 110, Hadits no. 5820)
Di dalam shalat, pada saat duduk di antara dua sujud, terdapat sebuah doa : “Rabighfirlii, warhamni, wahdini, warfa’ni,…..”, tentu tidak seorang pun punya asosiasi pikiran ketika ia mengucap doa “warfa’nii”, ia memohon kepada Allah agar di angkat jasad kasarnya. Semua Mushalli pada saat mengucap doa “warfa’nii” – wahai Allah, angkatlah aku, asosiasinya pastilah hanya bermohon di angkat harkat derajatnya, bukan di angkat jasad kasarnya.
Contoh-contoh ini memberi kesimpulan, kalimat “bal rafahullaahu ilaihi” (An-Nisa, 4:58), berarti : Akan tetapi Allah telah mengangkat (harkat/derajat) Nabi Isa kepada-Nya. Yaitu, dengan cara, seperti dijelaskan pada An-Nisa 157, sebelumya, tidak membunuhnya dan tidak pula mematikannya di atas salib, akan tetapi ia disamarkan kepada mereka (orang-orang Yahudi), seperti telah mati di atas salib.
Orang-orang Yahudi menangkap dan menggantung Nabi Isa as., di palang salib, dengan tujuan, untuk membuktikan bahwa Nabi Isa as., adalah orang terkutuk dan Nabi Palsu. Jika dia mati di palang salib berarti dia orang terkutuk dan nabi palsu, dan jika dia hidup berarti dia benar utusan Allah. Di dalam Kitab Taurat memang tertulis hukum: “orang yang tergantung itu kutuklah bagi Tuhan Allah”. (Ulangan, 21:23).
Oleh sebab itu, mengangkat harkat/derajat Nabi Isa as., dengan cara menyelamatkan beliau dari kematian hina di palang salib, menjadi perlu dan harus bagi Allah SWT. Sebab, jika Allah SWT, membiarkan Nabi Isa as, mati di palang salib, maka tuduhan orang-orang Yahudi yang mengatakan, beliau adalah orang terkutuk dan nabi palsu, akan menjadi terbukti dan sempurna.
Adalah tidak mengherankan, jika pada ayat lain dalam Al-Quan, kita menemukan Firman Allah, yang berbunyi sbb :

              •                 

“Ingatlah, ketika Allah berfirman: "Hai Isa, Sesungguhnya Aku akan mematikan engkau secara wajar, dan meninggikan derajat engkau di sisi-Ku, dan akan membersihkan engkau dari tuduhan orang-orang kafir, dan akan menjadikan orang-orang yang mengikut engkau di atas orang-orang kafir hingga Hari Kiamat. Kemudian kepada-Ku-lah kamu kembali, lalu Aku akan menghakimi di antaramu tentang apa yang kamu perselisihkan”. (Ali Imran, 3:55)

Dan, Nabi Isa as., sendiri, seperti dikutip Al-Quran, berkata :
         
“Dan selamat-sejahtera atasku pada hari aku dilahirkan, dan selamat-sejahtera atasku pada hari aku wafat, dan selamat-sejahtera atasku pada hari aku dibangkitkan, hidup kembali". (Maryam, 19:33)

Wafat Secara Wajar Dalam Usia 120 Tahun
Jamaah Ahmadiyah memahami dan meyakini, setelah selamat dari peristiwa salib, kondisi fisik kembali normal, Nabi Isa as., kemudian melanjutkan missi risalah-nya : berdakwah kepada suku-suku Israel, yang merupakan ruang-lingkup tanggungjawab dakwahnya. Nabi Muhammad SAW, diriwayatkan pernah bersabda :

“Allah SWT, telah mewahyukan kepada Isa : Pindahlah engkau dari tempat ini ke tempat yang jauh, supaya orang jangan tahu di mana engkau, dan supaya orang tidak memberi kesusahan kepada engkau”. (Kanjul Umal, Jld 2:34)

“Al-Masih terus berjalan, bila malam ia makan daun-daunan di hutan, dan minum air tawar yang jernih”. (Riwayat Jabir Jld 2:71)

“Allah cinta kepada orang gharib”. Orang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW: “Apakah arti orang gharib?” Beliau menjawab: “Ialah orang yang lari membela agama, seperti halnya Isa bin Maryam”. (Kitab Abdullah Ibnu Umar Jld 6:51)

Di dalam beberapa Kitab Tafsir juga terdapat keterangan mengenai perjalanan Nabi Isa as., setelah selamat dari peristiwa salib, diantaranya :

“Isa bin Maryam tidak pernah tinggal menetap di suatu tempat, beliau selalu berjalan”. (Kitab Tafsir Ruhul-Maani, Jld 1:592)

“Bahwa beliau banyak berjalan, sebab itu beliau disebut Al-Masih”. (Kitab Tafsir Fathul-Bayan, Jld 2:42 & Kitab Tafsir Lawamiut-Tanzil, Jld 2:364)

“Dikatakan Isa itu Al-Masih, karena ia banyak berjalan di bumi tanpa menetap lama di suatu tempat”. (Kitab Lisanul-Arab:431)

“Bahwa Isa bin Maryam disebut Al-Masih, karena beliau banyak berjalan. Beliau selalu berjalan dari satu negeri ke negeri lainnya, dan di mana beliau tiba di waktu malam, di situlah beliau tidur.Beliau berjalan kaki, tidak pernah berkendaraan”. (Kitab Tarikh bahasa Parsi:130-131)

Al-Quran menjelaskan, Nabi Isa as., diutus Allah hanya untuk Bani Israel (Ali-Imran, 3:48), dan Nabi Isa as., juga mengakui bahwa ia hanya diutus Allah kepada Bani Israel. Ia berkata :

“Maka jawab Yesus, katanya: Tiadalah aku di suruhkan kepada yang lain hanya kepada segala domba yang sesat dari antara bani Israil”. (Matius 15:24)

Kepada murid-muridnya, Nabi Isa as., juga menyuruh menyampaikan ajarannya itu hanya kepada bani Israil :

“Maka kedua belas orang inilah disuruhkan oleh Yesus dengan pesannya demikian : “Janganlah kamu pergi ke negeri orang kafir dan jangan kamu masuk ke negeri orang Samaria, melainkan pergilah kamu kepada segala domba kaum Israil yang sesat itu”. (Matius 10:5-6)

Pada zaman Nabi Isa as., Bani Israil yang berada di negeri tumpah darahnya hanya ada dua kabilah. Padahal semuanya ada 12 kabilah. Yang sepuluh kabilah lagi terpencar di negeri-negeri sebelah timur, yakni : di Syria, Irak, Iran, Afghanistan, India dan Pakistan. Bani Israil terpencar sejak di kalahkan Raja Nebukadnesar.
Karena Nabi Isa as., di utus Allah untuk Bani Israil, adalah wajar jika beliau pergi menemui dan berdakwah kepada 10 kabilah Israil yang terpencar di negeri-negeri sebelah timur itu. Di dalam Injil-nya ia berkata :

“Ada lagi padaku domba yang lain, yang bukan masuk kandang domba ini, maka sekalian itu juga wajib aku bawa, dan domba-domba itu kelak mendengar akan suaraku, lalu akan menjadi sekawan dan gembala seorang saja”. (Yahya 10:16)

Jamaah Ahmadiyah memahami dan meyakini, setelah Nabi Isa as., tunai melaksanakan missi risalah-nya, berdakwah kepada seluruh suku-suku/kabilah bani Israil, sebagi wujud fana yang terikat oleh hukum : Kullu nafsin dzaaiqatul maut (Ali Imran, 3:185) dan Kullu syai-in haalikun illaa wajhah (Al-Qashash, 28:88), akhirnya beliau wafat secara wajar, dalam usia 120 tahun, dan berkubur di bumi ini.
Pendirian dan Pemahaman Jamaah Ahmadiyah ini didasarkan pada :

1) Firman Allah :

           •                   
“Dan, Muhammad tidak lain melainkan seorang rasul. Sesungguhnya telah berlalu (mati), rasul-rasul sebelumnya. Jadi, jika ia mati atau terbunuh, akan berpalingkah kamu atas tumitmu? Dan, barangsiapa berpaling atas tumitnya, maka ia tidak akan memudharatkan Allah sedikitpun. Dan, Allah pasti akan memberi ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur”. (Ali Imran, 3:144)

2) Firman Allah :

        ••                                    •                     •                
“Dan (Ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, adakah engkau berkata kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?". Ia menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak layak bagiku mengatakan apa yang bukan hakku, sekiranya aku telah mengatakannya tentu Engkau mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang terkandung dalam pikiranku, dan aku tidak mengetahui apa yang ada dalam pikiran Engkau. Sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha mengetahui segala yang ghaib-ghaib; Tidak pernah aku mengatakan kepada mereka selain apa yang telah Engkau perintahkan kepadaku, yaitu: "Beribadahlah kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu", dan aku menjadi saksi atas mereka, selama Aku berada di antara mereka, akan tetapi setelah Engkau mewafatkan daku, maka Engkau-lah yang menjadi pengawas mereka, dan Engkau adalah Saksi atas segala sesuatu”. (Al-Maidah, 5:116-117)

3. Sabda Rasulullah SAW., :

“Fatimah binti Muhammad ra., meriwayatkan, Rasulullah SAW, bersabda : “Sesungguhnya Jibril sekali setiap tahun datang memeriksa Qur’an; pada tahun ini ia datang kepadaku dua kali; ia mengtakan kepadaku bahwa usia Isa bin Maryam 120 tahun”. (Rowahut- Tabroniyu wal- Hakim; Kanzul- Umal, Alaudin Alhindi, Muassasatur-Risalah, Beirut, 1989, Jld XI:479, & Hujajul- Karomah).

Di Desa Kanyar, Srinagar, Kasymir, perbatasan antara India dan Pakistan, hingga saat ini terdapat sebuah kuburuan yang sangat terpelihara dan di pelihara penduduknya, bernama: kuburan Nabi Yuz Asyaf.
Penduduk setempat mengakui kuburan tersebut adalah kuburan seorang nabi yang datang dari negeri asing. Dan penduduk setempat juga mengakui, Nabi Yuz meninggalkan suatu kitab ajaran agama, bernama Al-Busyro.
Dengan ciri-ciri dan tanda-tanda tersebut, Jamaah Ahmadiyah memahami dan meyakini, kuburan Nabi Yuz Asyaf yang terletak di Desa Kanyar, Srinagar, Kasymir, India, tersebut, adalah kuburan Nabi Isa as.
Kata Yuz, berasal dari kata Yozua (bahasa Ibrani). Yang maksudnya Yesus. Sebutan Yesus bukan asli bahasa Ibrani, melainkan bahasa latin (Griek).
Kata Nabi, adalah bahasa Arab dan bahasa Ibrani. Nabi Yuz dikatakan datang dari negeri asing, artinya ia bukan asli orang Kasymir.
Nabi Yuz meninggalkan suatu kitab ajaran agama, bernama Al-Busyro, berarti : kabar suka. Adalah sama dengan Injil, yang juga berarti : kabar suka.
Pemahaman dan keyakinan Jamaah Ahmadiyah, bahwa setelah selamat dari peristiwa salib, Nabi Isa as., pergi ke timur mencari suku-suku Israil, menunaikan missi-risalah-nya, dan kemudian menetap di Kasymir hingga akhir hayatnya, selaras dengan petunjuk Al-Quran. Allah SWT, berfirman :

   •        

“Dan Kami jadikan anak Maryam dan ibunya suatu Tanda, dan kami beri mereka perlindungan pada tanah yang tinggi dengan lembah-lembah hijau dan sumber-sumber air yang mengalir”. (Al-Mu’minun, 23: 50)

Tanah dataran tinggi, dengan lembah-lembah hijau dan sumber-sumber air yang mengalir, yang di ilustrasikan Al-Quran Surah Al-Mu’minun ayat 50 tersebut, sangat cocok dengan keadaan dataran tinggi Kasymir yang subur. Karena kesuburannya, maka kawasan ini menjadi rebutan antara India dan Pakistan, hingga saat ini.
Para Sahabat Rasulullah SAW, Sepakat :
Nabi Isa as., Telah Wafat
Tertulis di dalam tarikh, ketika Rasulullah SAW., dikabarkan wafat, umat Islam di landa kegelisahan yang amat hebat. Sebagian mempercayai berita kewafatan Rasulullah SAW., dan sebagian lagi tidak mempercayai berita kewafatan Rasulullah SAW., tersebut.
Umar ibnu Khaththab ra., termasuk di antara yang tidak mempercayai berita kewafatan Rasulullah SAW., tersebut. Sambil menghunus sebilah pedang, ia berdiri dan berkata : “Siapa saja yang mengatakan Rasulullah SAW., wafat, maka pedang Umar-lah bagiannya. Rasulullah SAW., tidak wafat. Rasulullah SAW., hanya sedang dipanggil Allah, seperti halnya Musa as, dahulu dipanggil Allah, dan kembali setelah empat puluh hari”, teriak Umar ibnu Khaththab ra,.
Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, sedang berada di luar kota Madinah saat berita kewafatan Rasulullah SAW., itu beredar. Seorang sahabat menyusul dan mengabarkannya. Mendengar berita kewafatan Rasulullah SAW., Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, segera kembali, dan langsung melihat jasad Rasulullah SAW,. Ia membuka kain yang menutup tubuh suci Rasulullah SAW., dan melihatnya. Di ketahuilah oleh beliau, bahwa Rasulullah SAW., benar-benar telah wafat.
Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, kemudian mengabarkan berita kewafatan Rasulullah SAW., tersebut kepada para sahabat yang hadir, yang sedang dilanda kegelisahan hebat, termasuk kepada Umar ibnu Khaththab, yang menghunus pedang. Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, berdiri berpidato, lalu membacakan kalam Ilahi, dari Surah Ali Imran, 3:144 :

           •                   

“Dan, Muhammad tidak lain melainkan seorang rasul. Sesungguhnya telah berlalu (mati), rasul-rasul sebelumnya. Jadi, jika ia mati atau terbunuh, akan berpalingkah kamu atas tumitmu? Dan, barangsiapa berpaling atas tumitnya, maka ia tidak akan memudharatkan Allah sedikitpun. Dan, Allah pasti akan memberi ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur”. (Ali Imran, 3:144)

Mendengar penjelasan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., Umar ibnu Khaththab ra,. yang sejak awal menghunus pedang dan mengancam akan membunuh siapa saja yang mengatakan Rasulullah SAW., telah wafat, kakinya mulai gontai. Pedangnya jatuh. Dan, Umar ibnu Khaththab ra., pun pingsan.
Kisah ini mengisyaratkan, para sahabat Rasulullah SAW., sepakat : Nabi Isa as. telah wafat. Jika dikalangan para sahabat berkembang kepercayaan Nabi Isa as., masih hidup, pastilah mereka akan menolak keterangan Abu Bakar Ash-Ashiddiq ra., yang mengabarkan kewafatan Rasulullah SAW., dengan mengatakan : “Tidak Abu Bakar, masih ada nabi yang masih hidup, nabi Isa as., masih hidup”.
Kenyataannya, Umar yang di kenal tegar dan gagah berani itu pun, gontai. Pedang terhunus Umar jatuh. Umar pingsan. Umar merasa baru mendengar ayat itu, dan merasa, seolah-olah ayat itu baru di turunkan pada hari itu.

Anggota Keluarga Rasulullah SAW, Sepakat :
Nabi Isa as., Telah Wafat
Selain ijmak para sahabat, anggota keluarga Rasulullah SAW., (ahlulbait) pun sepakat : Nabi Isa a.s., telah wafat. Hal ini terbukti dari riwayat yang dituturkan oleh Imam Hasan r.a., seperti tercantum di dalam “Thabaqat Ibn Sa’ad”, saat mengisahkan peristiwa wafatnya Khalifah Ali r.a. Beliau berkata :

“Wahai sekalian manusia, malam ini telah wafat seorang yang sebagian amal perbutannya tidak pernah di capai orang-orang sebelumnya dan tidak pula akan di capai oleh orang-orang yang akan datang kelak. Rasulullah s.a.w mengutus beliau ke medan perang, maka Jibril menjaga di sebelah kanannya dan Mikail di sebelah kirinya. Walhasil, beliau tidak pernah kembali tanpa membawa kemenangan. Beliau meninggalkan peninggalan (warisan) sebesar tujuh ratus dirham saja. Dengan uang itu beliau bermaksud membeli seorang budak belian (untuk di merdekakan). Beliau wafat pada malam ketika Isa Ibnu Maryam pada malam yang sama rohnya di angkat ke langit, yakni, pada malam tanggal dua puluh tujuh Ramadhan” (Thabaqat Ibn Sa’ad, jilid III)

Riwayat ini menunjukan, para anggota keluarga (ahlulbait) Rasulullah s.a.w. sepakat : Nabi Isa a.s. telah wafat. Sebab, sekiranya pada diri beliau-beliau tidak ada gagasan semacam itu, maka Imam Hasan r.a. tentu tidak akan berkata bahwa Khalifah Ali ra., wafat pada malam yang bersamaan dengan ketika roh Nabi Isa a.s. di angkat ke langit.

Jika Nabi Isa as. Telah Wafat, Lalu Siapa dan Nabi Isa as., Mana Yang Dijanjikan Akan Datang Oleh Rasulullah SAW?
Jika Nabi Isa as. telah wafat, lalu siapa dan Nabi Isa as., mana Yang Dijanjikan Akan Datang Oleh Rasulullah SAW., (Al-Masih al-Mau’ud) itu? Inilah pertanyaanya.
Jamaah Ahmadiyah memahami dan meyakini, Nabi Isa as., Yang Dijanjikan Akan Datang oleh Rasulullah SAW (Al- Masih al-Mau’ud), itu, bukan Nabi Isa as, Israili (yang pernah diutus Allah SWT kepada Bani Israil), melainkan orang lain dari kalangan ummat Islam.
Keyakinan dan Pemahaman Jamaah Ahmadiyah ini di dasarkan pada Sabda Nabi Muhammad SAW, sbb :

“Bagaimanakah keadaanmu bila Ibnu Maryam turun di tengah-tengahmu, dan menjadi imam bagimu dari antara kamu?” (Bukhari, Kitabul Anbiya, Bab Isa Ibnu Maryam)

Berdasar Sabda Nabi Muhammad SAW., tsb, Jamaah Ahmadiyah memahami dan meyakini, Isa ibnu Maryam Yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Rasulullah SAW., itu berasal dari dalam lingkungan umat Islam, akan jadi imam umat Islam dan dari antara umat Islam.
Bagi yang pernah belajar mendalami tasawwuf Islam, sedikit saja, keyakinan dan pemahaman yang di anut Jamaah Ahmadiyah ini, sebenarnya tidaklah mengherankan, tidak aneh, tidak perlu di perselisihkan dan di perdebatkan. Di dalam Al-Quran, orang-orang kafir di tamsilkan sebegai istri Nabi Nuh dan Nabi Luth (At-Tahriim, 66:10). Dan orang-orang beriman di tamsilkan sebagai istri Fir’aun dan Maryam putri Imran (At-Tahriim, 66:11-12)
Artinya, ketika siapa pun dari orang-orang yang beriman dari antara orang-orang Islam, ummat Nabi Muhammad SAW., ini, mencapai derajat kerohanian Maryam, yaitu : ahshonat far jaaha – menjaga, memelihara kesuciannya, dan menutup segala celah dosa (66:12, 21:91), maka dalam bahasa Al-Quran ia disebut Maryam. Dan tatkala Allah SWT., meniupkan ruh-Nya : fa nafahnaa fiihi mir-ruuhinaa - ilham-ilham-Nya, kasyaf-kasyaf-Nya, ru’ya-ru’ya-Nya (66:12, 21:91), kepadanya, maka dalam bahasa Al-Quran ia di sebut : Ibnu Maryam.
Oleh karena itu, maka sungguh tidaklah mengherankan jika Rasulullah SAW., mengkhabarghaibkan kedatangan seseorang yang akan mereformasi dan mengantarkan Islam dan umat Islam pada kemenangan dan kejayaannya untuk kedua kalinya dan untuk selama-lamanya pada akhir zaman, dengan nama : Ibnu Maryam, tapi dari dalam lingkungan umat Islam, akan jadi imam umat Islam dan dari antara umat Islam.

Bukan Nama Diri, Melainkan Gelar Yang Disandang Oleh Seseorang
Jamaah Ahmadiyah memahami dan meyakini, Al-Masih Yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Rasulullah SAW., (Al-Masih al-Mau’ud) itu, bukanlah nama diri (nama orang), melainkan predikat atau gelar yang disandang oleh seseorang.
Disebut Al-Masih karena ia memiliki watak, karater, sifat, dan tugas seperti Isa Al-Masih as, atau memiliki spirit Isa Al-Masih as., sehingga ia bergelar Isa Al-Masih as,. Dan, disebut Al-Mau’ud, karena ia memiliki kriteria dan datang tepat pada waktunya sesuai dengan nubuwwat Nabi Muhammad SAW,.
Pemahaman dan keyakinan Jamaah Ahmadiyah ini didasarkan pada :

1) Firman Allah :
          
“Dan, apabila Ibnu Maryam disebut sebagai misal, tiba-tiba kaum engkau hangar-bingar mengajukan sanggahan terhadapnya”. (Az-Zuhruf, 43:57)

2) Sabda Rasulullah SAW, :

“Bagaimanakah keadaanmu bila ibnu Maryam turun di tengah-tengahmu, dan menjadi imam bagimu dari antara kamu?” (Bukhari, Kitabul Anbiya, Bab Isa Ibnu Maryam)

Nubuwwat Al-Quran dan Rasulullah SAW., tersebut mengisyaratkan, Al-Masih Yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Rasulullah SAW., (al-Masih al-Mau’ud) itu, bukan nama orang, melainkan predikat atau gelar yang di sandang seseorang.
Al-Quran menyebutnya sebagai matsalan – perumpamaan (43:57), sedangkan Hadits menyebutnya, berasal dari dalam lingkungan kamu, akan jadi imam kamu dan dari antara kamu (umat Islam) (Bukhary).
Jika yang dinubuwwatkan akan datang itu adalah Isa ibnu Maryam yang dahulu, Rasulullah SAW., pasti akan berkata : Min Bani Israil, bukan Min-kum, karena Isa ibnu Maryam yang dahulu berasal dari Bani Israil.

Al-Masih al-Mau’ud dan Imam Mahdi Satu Orangnya
Jamaah Ahmadiyah memahami dan meyakini, Al-Masih al-Mau’ud dan Imam Mahdi itu, bukan dua person yang berbeda, melainkan satu orangnya.
Pemahaman dan keyakinan Jamaah Ahmadiyah ini didasarkan pada :

1) Terminologi :
Al-Masih al-Mau’ud dan Imam Mahdi itu, dalam pemahaman dan keyakinan Jamaah Ahmadiyah, bukan nama orang, melainkan gelar yang disandang oleh seseorang. Semacam Nabi dan Rasul, dia bukan nama orang, melainkan pangkat atau gelar yang di sandang oleh seseorang.

2) Sabda Rasulullah SAW, :

“Sudah dekat masanya, siapa yang di panjangkan umurnya di antaramu, akan berjumpa dengan Isa ibnu Maryam-Imam Mahdi “Hakaman ‘Adalan” – hakim yang adil”. (Musnad Ahmad bin Hanbal, Jld II:411)

“Laa Mahdiya illaa ‘Iisa” – Tidak ada Mahdi kecuali Isa”. (Sunan Ibnu Majah, Darul Fikr, t,t, Jld II:362)

Dua sabda Rasulullah SAW., ini memberikan petunjuk, Isa dan Mahdi itu, bukan dua orang yang berbeda, melainkan satu orang yang sama. Isa itu Mahdi, dan Mahdi itu adalah Isa. “Laa Mahdiya illaa ‘Iisa” – Tidak ada Mahdi kecuali Isa”, kata Nabi.
Penjelasan Sabda Nabi Muhammad SAW., ini tidaklah mengherankan. Di atas telah dikemukakan, Isa dan Mahdi itu bukan nama orang, melainkan gelar/predikat yang disandang oleh seseorang. Semacam Nabi dan Rasul, dia bukan nama orang, melainkan pangkat atau gelar yang disandang oleh seseorang. Seseorang menyandang dua gelar, bahkan tiga gelar, sudah biasa baik dalam kehidupan beragama atau pun lebih-lebih urusan dunia.

Isa ibnu Maryam-Imam Mahdi Yang Dijanjikan Itu Telah Datang
Jamaah Ahmadiyah memahami dan meyakini, Isa ibnu Maryam-Imam Mahdi Yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Rasulullah SAW., (Al-Masih al-Mau’ud dan Al-Mahdi al-Mau’ud) itu, telah datang, di awal abad XIV H, lalu.
Dan, Jamaah Ahmadiyah memahami dan meyakini, orang yang menyandang predikat atau gelar Al-Masih al-Mau’ud dan Al-Mahdi al-Mau’ud itu, adalah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah, yang lahir di Qadian, India, pada tahun 1835 M (bertepatan dengan tahun 1306 H), dan wafat di Lahore serta di kebumikan di Qadian tahun 1908 M (bertepatan dengan tahun 1379 H).
Jamaah Ahmadiyah mengetahui, memahami dan meyakini Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, sebagai Al-Masih al-Mau’ud dan Al-Mahdi al-Mau’ud, pertama berangkat dari pendakwaan/pengakuan beliau sebagai Al-Masih al-Mau’ud dan Al-Mahdi al-Mau’ud, yang diumumkannya pada 1891M.
Selanjutnya, Jamaah Ahmadiyah mengkaji Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW., (Hadits), apakah pendakwaan/pengakuan Pendiri Jamaah Ahmadiyah itu memenuhi kriteria nubuwwat Nabi Muhammad SAW., sebagai Al-Masih al-Mau’ud dan Al-Mahdi al-Mau’ud, ataukah tidak.
Pengkajian yang mendalam, ternyata menunjukan, ia memenuhi kriteria nubuwwat Nabi Muhammad SAW., sebagai Al-Masih al-Mau’ud dan Al-Mahdi al-Mau’ud itu.
Dengan latar pengkajian inilah, maka Jamaah Ahmadiyah memahami dan meyakini Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, adalah benar sebagai Al-Masih al-Mau’ud dan Al-Mahdi al-Mau’ud (Al-Masih dan Al-Mahdi Yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Rasulullah SAW).

Tugas Al-Masih al-Mau’ud dan Al-Mahdi al-Mau’ud
Yang Telah Di Laksanakan Oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad
Di dalam Hadits terdapat banyak riwayat, yang mengemukakan ciri-ciri atau kriteria tugas bagi seorang Al-Masih al-Mau’ud dan Al-Mahdi al-Mau’ud, diantaranya :

1) Mematahkan Salib :

“Rasulullah SAW, bersabda : “Demi Allah yang diri saya berada di tangan-Nya, sungguh Isa bin Maryam benar-benar akan turun diantara kamu sebagai hakim yang adil, kemudian akan mematah salib, membunuh babi, menghabisi peperangan, dan melimpahlah harta benda,……” (Bukhari-Muslim).

Hadits ini telah digenapi oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah. Beliau bukan saja telah mematahkan salib, tapi juga telah memangkas akar kepercayaan agama salib (Kristen), dengan mengemukakan bukti-bukti akurat, bahwa Nabi Isa as., benar di salib, tetapi, tidak mati di atas salib. Beliau hanya pingsan saja, keadaannya yang di tampakan seperti telah mati di atas salib. Setelah siuman, kondisinya pulih, beliau kemudian menyempurnakan missi risalah-nya, berdakwah kepada suku-suku Israil, dan akhirnya wafat dalam usia 120 tahun, dan berkubur di Srinagar, Kasymir, India.
Mematahkan salib, dalam pemahaman dan keyakinan Jamaah Ahmadiyah, bukan berarti mematahkan secara fisik setiap palang salib, atau membakar gereja-gereja. Dalam persepetif Jamaah Ahmadiyah, mematahkan salib berarti, mematahkan doktrin atau dogma agama salib, yang meyakini kematian Nabi Isa as., di atas salib sebagai penebus dosa umat manusia. Mematahkan salib, sifatnya metafor, bukan fisik.

2) Membunuh Dajjal :

“Rasulullah SAW, bersabda : “Tidak ada orang yang kuasa membunuh Dajjal kecuali Isa bin Maryam”. (At-Thayalisi dan Sunan-nya :327)

Tugas membunuh Dajjal, telah dan sedang di lakukan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad di seluruh penjuru dunia, melalui pengambilan sumpah setia (bai’at), bahwa ia tidak akan mempersekutukan Allah, tidak akan bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan muhrim, aniaya, fasik, huru-hara, berontak dan tidak akan dikalahkan oleh hawa nafsunya. Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu, ditambah shalat tahajud. Akan mendahulukan agama dari pada kepentingan dunia.
Dajjal bukan nama orang atau nama wujud. Dajjal adalah nama sifat, yang dapat di sandang oleh seseorang atau suatu kaum, dan dapat di sandang oleh siapa saja – orang Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, bahkan oleh orang Islam sendiri. Dajjal juga adalah sikap hidup yang lebih mengutamakan urusan dunia dan melupakan akhirat. Itu sebabnya, Dajjal, di dalam Hadits oleh Rasulullah SAW., disebut pece bermata satu, dan di keningnya terdapat tulisan k-f-r (kafir).
Itulah sebabnya membunuh Dajjal dilakukan dengan cara mengambil sumpah setia (bai’at), karena membunuh Dajjal bukan membunuh fisik/wujud seseorang atau suatu kaum, tapi membunuh sifat seseorang atau suatu kaum yang memiliki sifat-sifat Dajjal.

3) Membunuh Dajjal di Bab Lud

“Rasulullah SAW, bersabda : “Ibnu Maryam akan membunuh Dajjal di Bab Ludd”. (Tirmidzi/Musnad Ahmad)

Sejarah mencatat, pertama kali, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah mengambil sumpah setia (bai’at), dari orang-orang yang mau menjalankan pola kehidupan Islami dan menghidupkan agama, menegakkan agama dan memenangkan agama (Islam) di atas semua agama (Yuhyiddiina wa yuqimusyari’ah, liyudhhirahu ‘alad-diini kullihi), dilakukan pada 23 Maret 1889 di Ludhuiana, India.
Bab, berarti : pintu, membuka untuk pertama kalinya. Ludd, nama tempat, kependekan dari Ludhiana. Di Bab Ludd inilah memang untuk pertama kalinya, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah, membunuh Dajjal (baca: pola sikap hidup yang lebih mengutakaan dunia dari akhirat), melalui pengambilan sumpah setia (bai’at), dari 40 orang yang berniat mati dari urusan dunia, dan hidup untuk Allah dan Rasul-Nya, untuk urusan agama dan akhirat.

4) Turun Di Sebelah Timur Damaskus :

“Rasulullah SAW, bersabda : “Isa bin Maryam akan turun di Menara putih di sebelah timur Damaskus”. (Riwayat Tabrani dalam Ad-Durul Mantsur 2/245)

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah, lahir dan memproklamirkan diri sebagai Al-Masih al-Mau’ud dan al-Mahdi Mau’ud, di Qadian, India, yang lokasinya berada di wilayah pegunungan Himalaya.
Menara Putih, adalah puncak Himalaya yang senantiasa diselimuti oleh Salju. Di sebelah timur Damaskus, secara Geografis, Qadian dan India secara keseluruhan, berada persis di sebelah timur Damaskus.

5) Namanya : Ahmad

“Rasulullah SAW, bersabda : Ada dua kelompok di antara umatku yang dijaga Allah dari api neraka, kelompok yang menyerang (menyiarkan Islam) ke India, dan kelompok yang bersama Isa bin Maryam alaihis-salam, (pada akhir zaman)”. (Sunan An-Nasai 4/42, Musnad Ahmad 5/278)

“Dari Anas ra, berkata, berkata Rasulullah SAW, : Akan keluar para pejuang Islam dari tatar Hindustan, dan ia bersama Imam Mahdi, namanya Ahmad”. (Bukhari, di dalam Tarikhnya)

Tidak sulit untuk menangkap makna Hadits ini, apalagi sudah ada fakta. Pendiri Jamaah Ahmadiyah, sosok yang memproklamirkan diri sebagai Mujaddid abad XIV H (pada 1889M), Al-Masih al-Mau’ud dan Al-Mahdi al-Mau’ud (pada 1891), bernama Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Hadhrat biasa di berikan orang kepada wujud-wujud suci, atau pada ‘alim rabbani; Mirza adalah gelar yang biasa di berikan kepada kaum ningrat keturunan raja-raja Islam dinasti Moghul berasal dari Persia, Ghulam merupakan nama famili, dan Ahmad adalah nama diri. Jadi, nama asli beliau hanyalah Ahmad.
Beliau kini tengah memimpin Islam dan umat Islam menuju kemenangannya kedua kali dan untuk selama-lamanya. Beliau kini telah mengembangkan sayap dakwah Islam di 194 negara di seluruh dunia, dengan jumlah pengikut lebih dari 200 juta jiwa di seluruh dunia.
Dakwah beliau tak pernah berhenti dalam putaran waktu 24 jam di seluruh dunia. Via Satelite bisa diakses melalui saluran Muslim Televison Ahmadiyah Internasional (MTA), mengudara 24 jam non-stop tanpa iklan, dan menjangkau seluruh bulatan bola bumi. Melalui internet, bisa juga diakses melalui : www. muslim.tv, dan alislam.org.

Tanda Ajaib Samawi
Suatu metode, untuk mengetahui benar tidaknya Pendakwaan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Masih Mau’ud dan al-Mahdi al-Mau’ud, adalah dengan menggunakan timbangan tanda ajaib samawi, berupa gerhana bulan dan matahari dalam satu bulan di bulan ramadhan, seperti di nubuwwatkan Rasulullah SAW., dalam Hadits berikut ini :

“Sesungguhnya, bagi Mahdi kami ada dua tanda yang belum pernah terjadi sejak saat langit dan bumi diciptakan, yaitu : Gerhana bulan pada malam pertama bulan ramadhan, dan gerhana matahari pada pertengan bulan itu juga”. (Sunan Ad-Daruqutni)

Tahun 1891, Pendiri Jamaah Ahmadiyah, Hadhrat Mira Ghulam Ahmad, memproklamirkan diri sebagai Al-Masih dan Al-Mahdi yang dijanjikan kedatangannya oleh Rasulullah SAW,.
Sesuai dengan nubuwwat Hadits tersebut, para ulama Islam di daratan Hindustan menuntut tanda ajaib samawi dari Pendiri Jamaah Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, sesuai dengan nubuwwat Nabi Muhammad SAW., itu.
Tentu, tak seorang pun dapat membuat gerhana, tak terkecuali Pendiri Jamaah Ahmadiyah, Hadhrat Mira Ghulam Ahmad.
Namun, sungguh ajaib. Tahun 1894, tiga tahun setelah Pendiri Jamaah Ahmadiyah, Hadhrat Mira Ghulam Ahmad, memproklamirkan diri sebagai al-Masih al-Mau’ud dan al-Mahdi al-Mau’ud, gerhana bulan dan gerhana matahari itu terjadi, persis seperti di nubuwwatkan Nabi Muhammad SAW., yaitu di dalam satu bulan di bulan Ramadhan.
Banyak para ahli falaq juga menolak keterangan Hadits ini dan menganggapnya sebagai dhaif – lemah. Karena dalam teori falaq, tak mungkin gerhana bulan dan matahari akan terjadi pada satu bulan.
Apa pun kata para ahli falaq, kalau nubuwwat Hadits itu sudah terbukti, tentu tak seorang pun dapat mengingkari kebenarannya. Terjadinya gerhana bulan dan matahari di satu bulan di bulan ramadhan pada 1894, tentu menjadi bukti, dakwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, sebagai al-Masih Mau’ud dan al-Mahdi al-Mau’ud, adalah benar. Bulan dan Matahari pun berlomba, memberikan kesaksian.

Banyak Tanda Yang Bisa Ditampilkan
Sebenarnya, masih banyak tanda yang bisa ditampilkan, dari Hadits-Hadits Nabi maupun dari Al-Quran suci, yang mendukung kebenaran dakwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jamaah Ahmadiyah, sebagai al-Masih al-Mau’ud dan al-Mahdi al-Mau’ud. Namun, lima buah Hadits diatas, di tambah satu Hadits tentang tanda ajaib samawi, cukuplah sebagai bahan untuk memahami, kenapa Jamaah Ahmadiyah mepercayai dan meyakini Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Masih al-Mau’ud dan al-Mahdi al-Mau’ud (Al-Masih dan Al-Madi Yang Dijanjikan Kedatangannya Oleh Rasulullah SAW,.).
Jika semuanya dituliskan, tentu akan berkepanjangan dan halaman penjelasan ini tak memadai untuk mencantumkannya.

Doa “Alaihis-Salam (as)
Jamaah Ahmadiyah memberi embel-embel “alaihis-salam” (as), di belakang nama Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, bukan berarti Jamaah Ahmadiyah menganggap Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, seperti yang difahami umumnya umat Islam. Tidak, tidak demikian.
Jamaah Ahmadiyah memberi embel-embel “alaihis-salam” (as), tidak hanya kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad atau kepada para nabi yang lain, selain Rasulullah SAW,. Kepada Malaikat pun, Jamaah Ahmadiyah biasa memberi embel-embel “alaihis-salam” (as), apabila menyebut namanya. Misalnya, ketika menyebut nama Malaikat Jibril. Jamaah Ahmadiyah biasa mengakhirinya dengan alaihis-salam. Padahal, Jibril as., bukanlah seorang nabi. Ia adalah sorang malaikat, yang tentu lebih mulia dari seorang nabi.
Jamaah Ahmadiyah memberi embel-embel “alaihis-salam” (as), ketika menulis atau menyebut nama Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, motivasinya hanyalah mendoakan sosok yang sangat di hargai dan di hormati dan telah tiada, dengan harapan : semoga kedamaian dan keselamatan senantiasa menyertainya.
Hal yang lumrah sebenarnya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Misalnya, Al-marhum Buya Hamka, atau Al-maghfurullah Maulana Syekh, dll, yang fungsinya sama, yaitu : mendoakan.
Dan, Baginda Nabi Agung Muhammad SAW., di dalam Haditsnya yang diriwayatkan Anas ra., menyatakan :

“Siapa saja di antara kalian yang dapat berjumpa dengan Isa bin Maryam, maka sampaikanlah salam-ku kepadanya”. (Hakim dalam Mustadrak 4/454)

Jadi, Jamaah Ahmadiyah mengucapkan alaihis-salam (as), kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, yang di yakini Jamaah Ahmadiyah sebagai al-Masih al-Mau’ud dan al-Mahdi al-Mau’ud, hanyalah semata-mata melaksanakan pesan agung baginda Nabi Muhammad SAW,. tersebut.
Istilah “alaihissalam” (as), sesungguhnya juga bukan barang asing bagi umat Islam. Dalam setiap shalat, pada saat duduk attahiyyat, ummat Islam biasa mengucap doa salam, mula-mula untuk baginda Nabi Muhammad SAW., kemudian langsung untuk diri sendiri dan orang-orang shalih : “Assalamu’alaika ayyuhanabiyyu warahmatullaahi wa barakatuhu, assalamu’alaina wa ‘alaa ‘ibaadil-laahish-shaalihiin,……. - semoga kedamaian dan keselamatan senantiasa menyertaimu, wahai Nabi, dan semoga rahmat dan berkah Allah, juga senantiasa tercurah kepadamu, begitu pula semoga keselamatan dan kedamaian senatiasa menyertai kami, dan menyertai hamba-hama Allah yang shalih,……..”
Tetapi, jika umat Islam keberatan, dan jika umat Islam tidak membolehkan Jamaah Ahmadiyah menyampaikan doa kedamaian dan keselamatan kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, yang dalam keyakinan Jamaah Ahmadiyah sebagai Mujaddid abad XIV H, al-Masih Mau’ud dan al-Mahdi al-Mau’ud, Jamaah Ahmadiyah tidak keberatan untuk tidak mengucapkannya dan tidak menuliskan kata “alaihissalam” (as), di belakang namanya.
Semoga menjadi maklum dan menjadi bahan periksa. Wassalaamu ‘alaa manit-tabaa’al hudaa. Amiien, yaa Rabbal ‘aalamiin ! ***

Keterangan :
 Penjelasan ini tidak bermaksud mengangkat dan menonjolkan perbedaan pemahaman. Penjelasan ini juga tidak bermaksud mengoreksi pemahaman yang berkebang pada masyarakat Islam. Penjelasan ini hanya bermaksud memberikan gambaran, seperti inilah alur pemahaman dan keyakinan Jamaah Ahmadiyah
 Jamaah Ahmadiyah sangat menghargai dan menghormati perbedaan pemahaman dan perbedaan pendapat. Jamaah Ahmadiyah sangat menghargai pendapat yang mengatakan Nabi Isa as., masih hidup, dan sangat menghargai pendapat Nabi Isa as., akan datang, tapi belum waktunya datang. Jamaah Ahmadiyah percaya, seperti pernah disampaikan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW., : “Perbedaan pendapat adalah rahmat”.
 Jamaah Ahmadiyah tidak akan memaksakan pemahamannya kepada orang lain. Jamaah Ahmadiyah adalah organisasi yang sangat toleran, cinta damai, dan sangat menjunjung tinggi Laa ikraaha fid-diin (Al-Baqarah, 2:256). Motto hidup Jamaah Ahmadiyah adalah : Love For All Hatred For None – Cinta untuk semua, kebencian tidak untuk seorang pun.
 Penjelasan ini diharapkan menjadi tabayyun dan ta’aruf, sehingga ke depan tercipta suasana saling menghargai dan menghormati, dan bersatu meskipun di dalam perbedaan.
 Jamaah Ahmadiyah sangat menghargai dan menghormati kebijakan dan keputusan Allah SWT, sebagaimana yang tercantum di dalam Kitab Suci Al-Quran, sbb : “Dan, jika Allah menghendaki niscaya Dia akan menjadikan kamu semua satu umat, akan tetapi Dia hendak menguji kamu tentang apa yang di berikannya kepadamu. Maka, berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan” (Al-Maidah, 5:48)

Baginda Nabi Agung Muhammad SAW,. bersabda :

“Tidak akan binasa umatku, karena di awal ada aku, di tengah dan di akhir ada Mahdi dan Isa ibnu Maryam”.
(Annasai dalam Sunan-nya)


Mataram, 10 April 2009 M/14 Rabi’utsaani 1430 H
Pimpinan Wilayah Jamaah Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat



(IR. JAUZI DJAFAR) (DRS. UDIN AL-PANCORI)
Ketua Sekretaris

Tidak ada komentar:

Posting Komentar